nusabali

MUTIARA WEDA : Pagerwesi

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-pagerwesi

Seperti halnya orang desa menonton turis asing lewat melalui jalanan desa, seperti itu pula orang bijaksana menyaksikan parade keseharian dunia di depannya.

Asankitā’pi samprāptā grāma yathā dhavagaih

Preksyate tadvad-eva jnair bhogasrir-avalokyate
(Mahopanisad 5.72)


Konsep yang diberikan oleh Upanisad tentang bagaimana mestinya berada di jalur spiritual sangat gampang. Contoh-contoh yang diberikan pun tidak menyulitkan pemahaman kita. Apa yang sering kita alami, sering lihat, sering dengar dan bahkan sering kita kerjakan sehari-hari bisa dijadikan peragaan. Sehingga spiritualitas itu menjadi sangat sederhana. Bahkan saking sederhananya, kita menganggapnya biasa dan tidak terlalu bermakna. Sering kita menjadi abai dengan semua itu.

Seperti misalnya teks di atas. Apa yang dicontohkan terhadap cara berpikir orang bijaksana sangat sederhana, tampak tidak menarik dan sepenuhnya berhubungan dengan kehidupan propan sehari-hari. Seperti apa orang bijaksana itu? Teks di atas mencontohkan “seperti halnya orang desa menonton turis asing lewat melalui jalanan desa”. Memang dimana letak ‘serem’nya? Bukankah orang bijaksana itu hebat, orang yang sangat terkontrol, memiliki kekuatan super-power, orang yang selalu berada di planet lain walaupun badannya masih menyentuh bumi? Kenapa dicontohkan seperti orang desa lagi menyaksikan orang lain yang sedang lewat?

Tapi, disinilah uniknya teks Upanisad. Untuk menyingkap rahasia di atas rahasia, analogi yang sangat sederhana diperlukan, sebab sesuatu yang sangat rahasia itu sederhana. Semakin sederhana analogi itu, semakin dalam rahasia yang dicoba untuk disingkap. Untuk bisa memasukinya, kita hanya memerlukan cara berpikir yang agak sedikit berbeda. Kita tidak diajak untuk melihat bentuk yang dianalogikan itu, tetapi proses kerja yang mendasari bagaimana analogi itu bekerja. Sehingga, di dalam dunia spiritual, transformasi kesadaran merupakan hal yang signifikan, bukan transformasi bentuk. Bentuknya akan tetap “seperti halnya orang desa menonton turis asing lewat melalui jalanan desa,” tetapi kesadaran yang mendasari bagaimana ‘menonton touris asing’ itu yang mengalami perluasan.  

Seperti halnya juga orang Bali yang melaksanakan dan memaknai hari raya Pagerwesi yang dirayakan hampir setiap 6 bulan (210 hari) sekali. Teks Upanisad di atas tidak merujuk pada bentuk bagaimana hari raya itu dilaksanakan, kemeriahan acaranya, mahalnya sarana yang digunakan maupun antusiasme masyarakat mengerjakannya. Namun, lebih daripada itu adalah, bagaimana kita mampu mengambil momentum perayaan tersebut sebagai tonggak atas transformasi kesadaran kita, sebagaimana perayaan tersebut ditujukan. Bisa dikatakan bahwa perayaan Pagerwesi itu pada prinsipnya adalah equivalen dengan apa yang dinyatakan oleh teks Upanisad di atas.

Kita diingatkan kembali dengan perayaan itu untuk memagari diri kita oleh pagar yang sangat kuat (pagerwesi; pager = pagar, wesi = besi) agar kita tidak larut di dalam kehidupan duniawi. Kita senantiasa merasa menderita, tidak bahagia, dan sejenisnya oleh karena kita terikat dengan keduniawian. Dengan memagari diri dari keterikatan duniawi, kita akan mampu menyaksikan seperti halnya orang desa menonton turis asing lewat melalui jalanan desa. Apapun yang terjadi di dunia ini, apapun yang lewat di hadapan kita, pada prinsipnya bukan bagian dari kita, sehingga kita tidak perlu larut di dalamnya. Kita hanya menyaksikan saja semua yang terjadi. Dengan itu, kita tidak lagi terjebak di dalam penderitaan yang tiada akhir. Drama kehidupan ini telah kita pahami dengan baik.

Jadi, merayakan hari raya Pagerwesi artinya kita diajak agar senantiasa memagari diri supaya tetap menjadi penonton atas semua kejadian di dunia ini. Namun, walaupun demikian, bukan berarti kita memisahkan diri dari kehidupan. Kita tetap berada di dalam lakon kehidupan itu, tetapi secara penuh menyadari bahwa lakon kehidupan, apakah sedih atau gembira, susah atau senang, hanyalah di atas panggung drama kehidupan.  

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar  

Komentar