nusabali

Guru Terancam Kehilangan Hak Sertifikasi

  • www.nusabali.com-guru-terancam-kehilangan-hak-sertifikasi

Rasio yang ditetapkan pemerintah cenderung tidak bisa dilaksanakan di daerah-daerah terpencil yang jumlah penduduknya sedikit.

PGRI Bali Minta Kaji Ulang Rasio Rombel dan Jumlah Guru

DENPASAR, NusaBali
Ketua PGRI Provinsi Bali, Dr I Gede Wenten Aryasudha mendukung langkah komisi X DPR RI yang meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan rasio rombongan belajar (rombel) dan guru. Pasalnya, kebijakan tersebut menyebabkan guru kehilangan hak sertifikasinya.

Kebijakan yang berlaku sampai saat ini perbandingan guru dengan jumlah siswa, yakni untuk TK 1:20, SD 1:20, SMP 1:20, SMA 1:20 serta SMK 1:15. Menurut Wenten, rasio ini cenderung tidak bisa dilaksanakan di daerah-daerah terpencil yang jumlah penduduknya sedikit. "Kami sudah mengusulkan ke pemerintah pusat (Kemendikbud) melalui organisasi PGRI untuk merubah kebijakan rasio menjadi 1:8 atau maksimal 1:10. Bahkan dengan rasio ini, sampai saat ini masih terkesan kekurangan guru," kata Wenten di Denpasar, Minggu (5/2).

Menurutnya, kebijakan rasio rombel di SMP, SMA/SMK lebih rumit dibandingkan SD. Sebab di SD dihitung berdasarkan status guru kelas, sementara di jenjang SMP ke atas, dihitung dari guru mata pelajaran. "Misalkan di suatu sekolah ada siswa dua kelas, jumlah siswanya 40 per kelas sesuai Standar Minimal Pelayanan (SPM). Sementara guru mata pelajaran ada 10, sehingga rasionya menjadi 1:4. Jika tidak dihitung begitu, otomatis sertifikasinya terhambat," jelasnya.

Disinggung mengenai pendidikan gratis di sekolah negeri, Wenten mengaku mengapresiasi langkah pemerintah, karena sekolah gratis merupakan impian masyarakat. Kendati demikian, Wenten menyampaikan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional masih memungkinkan menerima sumbangan masyarakat. Untuk itu, ia mengimbau setiap kebijakan segera disertai payung hukum, demi kenyamanan kepala sekolah menjalankan tugasnya.

Hal senada diungkapkan Anggota Komisi IV DPR Kota Denpasar, AA Ngurah Gede Widiada, di sela sosialisasi di SMAN 8 Denpasar, belum lama ini. Dia berharap pemerintah melakukan kajian matang dan tidak terlalu cepat gonta-ganti kebijakan tentang pendidikan. "Isu kebijakan terlalu cepat, ada full day school, beberapa saat lagi ada moratorium Ujian Nasional, sekarang larangan menerima sumbangan. Saya sendiri kadang bingung kebijakannya terlalu cepat. Jepang saja yang APBN-nya tinggi, sekolahnya masih bayar kok," katanya.

Tokoh Puri Peguyangan ini berharap, pemerintah menyesuaikan kemampuan tentang kebutuhan operasional pendidikan. Ia tidak ingin kebijakan sekolah gratis menyebabkan penurunan kualitas akibat kekurangan biaya operasional sekolah. Sebaiknya, menurut dia, langkah sumbangan sukarela bagi orangtua yang memiliki kemampuan atau masyarakat yang kaya diizinkan memberi sumbangan. Namun kepada siswa yang miskin, harus digratiskan. * cr63

Komentar