nusabali

Tergerak Sekolahkan Kembali Anak Putus Sekolah di Karangasem

  • www.nusabali.com-tergerak-sekolahkan-kembali-anak-putus-sekolah-di-karangasem

Untuk anak putus sekolah yang lanjutkan kembali ke jenjang SMA, dibantu Rp 400.000 per bulan, sementara siswa jenjang SMP digelontor Rp 300.000 sebulan

I Kadek Agus Putra Wijaya, Guru Bidang Studi Fisika dari JB School Kuta, Badung

DENPASAR, NusaBali
Prihatin dengan banyaknya anak putus sekolah di wilayah Kecamatan Abang, Karang-asem, I Kadek Agus Putra Wijaya, 28, seorang guru bisang stury Fisika dari JB School Kuta, Kecamatan Kuta, Badung tergerak untuk menyekolahkan mereka kembali. Namun, dari puluhan anak putus sekolah yang ada di Kecamatan Abang, baru 3 orang di antaranya yang bisa dia bantu untuk diseklolahkan kembali, karena karena terbatasnya dana.

Berbagai upaya terus dilakukan Kadek Agus Putra Wijaya untuk bisa menyekolahkan kembali anak-anak putus sekolah di Karangasem tersebut. Upaya yang dilakukan Agus Putra Wijaya, mulai dari mengumpulkan sejumlah temannya untuk ikut peduli hingga mencarikan donatur. Dia pun berinisiatif mewadahi teman dan para donatur dalam sebuah organisasi dinamakan 'Genitri Bali'.

"Jujur, kalau saya sendiri jelas tidak akan mampu untuk membantu anak-anak putus sekolah ini. Sebab, saya bukan pengusaha sukses atau pemimpin perusahaan. Makanya, saya kumpulkan teman-teman yang peduli dan mencarikan donasi untuk anak-anak putus sekilah ini," jelas guru kelahiran Gianyar, 5 Agustus 1989, ini saat ditemui NusaBali di Denpasar, Senin (6/2).

Agus Putra Wijaya menjelaskan, Genitri Bali dalam filosofi Hindu adalah lambang dari ilmu pengetahuan yang tidak pernah putus. "Jadi, kami pun akan terus berusaha membantu agar anak-anak putus sekolah mampu tetap mengenyam pendidikan," ungkap alumnus Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Buleleng ini.

Menurut Agus Putra Wijaya, organisasi Genitri Bali baru didirikan tahun 2016 dan kini memiliki 58 anggota. Sejumlah donatur yang duwadahi Genitri Bali, antara lain, Ida Bagus Asmara Jaya, Herna Yunita, Ary Saputri, Tulus Budhi, PMR SMP Jembatan Budaya, Ni Kadek Ayu Merry Asih, Rika Juliantari, dan Agus Putra Wijaya sendiri. Sedangkan fasilitator Genitri Bali adalah I Wayan Suardana.

"Organisasi Genitri Bali memiliki dua program kerja. Pertama, program anak asuh. Kedua, gerakan Rp 2.000 untuk siswa Bali putus sekolah. Melalui program ini, diharapakan dapat membantu anak-anak yang putus sekolah," jelas guru Fisika asal Banjar Roban, Desa Bitera, Kecamatan Gianyar yang masih melajang di usia 28 tahun ini.

Berkat ketulusan dan bantuan para donatur, Genitri Bali kini telah mampu membantu 3 siswa putus sekolah untuk bersekolah kembali. Ddua (2) orang di antaranya siswa tamatan SD asal Banjar Batukeseni, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem, yakni Ni Ketut Dewi, 14, dan Ni Wayan Suci, 14. Sedangkan satunya lagi anak putus sekolah tamatan SMP, yaitu Yanti, 17, juga asal Banjar Batukeseni, Desa Bunutan, Kecamatan Abang.

"Ketiga anak putus sekolah ini kami dapatkan informasinya dari teman. Sampai di sana (Kecamatan Abang, Red) sejatinya masih banyak anak yang putus sekolah karena alasan faktor ekonomi," terang Agus Putra Wijaya.

Menurut Agus Putra Wijaya, Genitri Bali hanya bisa membantu sebagian kebutuhan para siswa putus sekolah yang disekolahkan kembali ini. Per orang hanya bisa diberikan motivasi dan uang saku dengan besaran berbeda setiap bulan. Untuk jenjang SMA, dibantu Rp 400.000 per bulan, sementara untuk jenjang SMP dibantu Rp 300.000 per bulan.

Sementara, faktor dominan sebagai penyebab anak putus sekolah di wilayah Kecamatan Abang, kata Agus Putra Wijaya, adalah keterbatasan dana dari keluarga mereka. Keterbatasan dana ini kemudian menghilangkan minat anak-anak tersebut untuk melanjutkan sekolah. Selain itu, ada faktor cara pandang yang kurang poisitif terhadap arti pendidikan bagi kehidupan.

"Masih ada anggapan sementara penduduk bahwa pendidikan tidak akan menjamin perbaikan taraf hidup. Hal itu berakibat mereka enggan menyekolahkan anaknya. Di samping itu, terdapat kenyataan bahwa akibat sosial ekonomi yang miskin, akan mendorong anak usia sekolah SD dan SLTP terpaksa bekerja membantu kehidupan keluarga," beber Agus Putra Wijaya, yang sempat mengikuti program ‘Sarjana Mendidik’ di Alor, NTT periode 2012-2013.

Bagi Agus Putra Wijaya, kepedulian terhadap anak putus sekolah tidak cukup hanya diungkapkan dengan rasa prihatin. Dia pun mengajak pihak-pihak terkait untuk ikut membantu, minimal memebrikan semangat buat melanjutkan sekolah hingga jenjang SMA. "Bersekolah adalah hak mereka. Ketika mereka putus sekolah, mereka belum siap untuk bekerja karena belum memiliki keahlian dan keterampilan kerja," katanya. * nvi

Komentar