nusabali

Dibidik, Konservasi Lontar Satu Rumah

  • www.nusabali.com-dibidik-konservasi-lontar-satu-rumah

Di Karangasem banyak penekun sastra Bali dan Jawa Kuno, gemar sebagai pengumpul naskah, menyimpan dan mengupacarainya.

Giat Penyuluh Bahasa Bali Mengkonservasi Lontar


AMLAPURA, NusaBali
Banyak lontar atau naskah kuno belum ditemukan di Karangasem. Setidaknya setiap balian (dukun), mengoleksinya. Biasanya lebih banyak tersimpan di geria (pasraman sulinggih) atau di puri (rumah raja).

Aset berupa lontar di Bali timur ini kini tengah gencar diungkap 75 Penyuluh Bahasa Bali di Karangasem, dikoordinasikan I Wayan Jatiyasa.

Penyuluh Bahasa Bali tersebut memburu lontar bukan untuk dimiliki, hanya untuk diketahui keberadaan lontar, diinventaris, dicatat, selanjutnya turut memeliharanya. Tujuan utamanya, menyelamatkan lontar, melalui program konservasi.

Penyuluh mesti kerja keras  menginvestigasi, mencari tahu tempat pegiat sastra yang mengoleksi naskah kuno tersebut. Sebab, selama ini tidak ada persatuan pemilik lontar, keberadaannya tersembunyi.

Di Karangasem sendiri banyak penekun sastra Bali dan Jawa Kuno memiliki kegemaran sebagai pengumpul naskah, menyimpan dan mengupacarainya setiap hari Saraswati, Saniscara/Sabtu Umanis Watugunung. Sebab, naskah itu sebagai sumber ilmu pengetahuan, sehingga keberadaannya disakralkan.

Lontar di Karangasem sesuai hasil investigasi tahun 2003 oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Karangasem, jenis daun yang digunakan, lontar taluh karena memiliki serat yang tidak mudah patah atau robek saat ditulis.  Sedangkan jenis naskah lontar ada banyak macamnya yakni  lontar embat-embatan yakni naskah lontar yang tersimpan dengan cara dirangkai yakni digantung. Lontar cakepan, merupakan beberapa naskah yang terdiri beberapa daun lontar digabung jadi satu. Lontar kropak tersimpan dalam kropak dan sebagainya.

Sedangkan isi naskah lontar tradisional di antaranya tatwa (tutur) tentang filsafat keagamaan, itihasa tentang karya sastra berupa gaguritan, kidung, kakawin, parwa, babad, karya sejarah dan sebagainya. Naskah lontar usadha berisi tentang ilmu pengobatan tradisional. Naskah lontar wariga tentang perbintangan tradisional, sedangkan naskah lontar berisi mantra menyangkut mantra-mantra atau doa-doa identik dengan nyanyian rohani.

Semua naskah lontar tersebut penulisannya menggunakan aksara Bali purwa dresta yang berlaku turun temurun. Masyarakat Karangasem sendiri juga memiliki tradisi belajar nyastra, dengan falsafah, bernyanyi Sambil Belajar, Belajar Sambil Bernyanyi (malajah sambil magending, magending sambil malajah). Sehingga proses belajar begitu mengalir, tanpa ada beban, setiap bait aksara Bali dinikmati, apalagi ada pesan pesan kehidupan. Terlebih lagi masyarakat yang belajar, sering proses belajar tersebut dijadikan hiburan, terutama dalam hal menikmati sesuai guru lagu.

Tapi fokus Penyuluh Bahasa Bali pimpinan Wayan Jatiyasa, langkah awalnya menginventarisasi lontar, terlepas dari asal usul, cara pembuatannya, dan teknik penyimpanannya selama ini. Strateginya dengan cara mendekati pemilik lontar, melakukan komunikasi sosial dengan tujuan menyelamatkan lontar yang hampir punah, dimakan biota serangga, jamur, hewan pengerat, dan pollutan (gas udara).

Setelah lontar dikeluarkan pemiliknya, barulah ditunjukkan cara menyelamatkan lontar dengan melalui program konservasi. Tahapan konservasi, dengan membersihkan setiap lembar gunakan minyak sereh, agar tidak mudah termakan rayap, hingga teknik penyimpanannya.

Langkah itu dilakukan segenap Penyuluh Bahasa Bali di bawah Koordinator I Wayan Jatiyasa didampingi Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kecamatan Abang I Nyoman Sukadana. Mereka mengkonservasi 174 cakep (bendel) lontar di Banjar Sadimara, Desa Ababi, Kecamatan Abang, milik Jro Mangku Komang Warta, acaranya berlangsung, Kamis (9/2).

Kebetulan Mangku Warta terbuka kepada setiap orang yang datang, terkait belajar membaca lontar, apalagi berniat menyelamatkan keberadaan lontar yang sebagian telah termakan rayap tersebut. Maka, rombongan Penyuluh Bahasa Bali, sambil membersihkan setiap lembar daun lontar sambil menggali isi lontar, berikut asal usul lontar dan memikirkan cara penyimpanan selama ini. Di samping itu, selama konservasi, sesekali sambil membaca isi lontar.

I Wayan Jatiyasa mengingatkan para penyuluh, melakukan konservasi, mesti bersabar. Sebab, membersihkan dengan menggosok setiap baris di setiap lembar daun lontar menggunakan minyak sereh tidak mudah. Selain, tangan ikut kotor, dan mengeluarkan debu, sehingga perlu menjaga kualitas nafas dengan masker. “Kami juga dapat kabar, ada penggemar lontar di Amlapura mengoleksi satu rumah, kami masih melakukan pendekatan untuk penyelamatan,” jelas I Wayan Jatiyasa.

I Wayan Jatiyasa mengakui, untuk mengkonservasi secara utuh tidaklah mudah. Memerlukan tenaga banyak dan waktu cukup, di samping dukungan fasilitas yang memadai. Sebab, membersihkan 50 cakep lontar membutuhkan satu liter minyak sereh. Sementara hanya bermodal 1 liter minyak sereh, sedangkan lontar di Banjar Sadimara saja, ada 174 cakep, berarti masih kurang banyak minyak sereh. Belum lagi minyak kemiri untuk mewarnai lontar yang setengah jadi.

Mesti demikian, tetap bertekad mengkonservasi seluruh lontar di Karangasem untuk melestarikan karya sastra, dan menyelamatkan naskah-naskah agar tidak cepat rusak.

Berbeda dengan penulis lontar I Nyoman Merta, dari Lingkungan Paya, Kelurahan Padangkerta, Kecamatan Karangasem, menulis sambil menghayati dan mengamalkan isinya. “Kan bagus, ada yang melakukan konservasi, ada yang menulis lontar. Sama-sama menikmati karya sastra tradisional,” kata I Nyoman Merta yang juga Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga Kecamatan Karangasem.

Terpenting lagi, lanjut I Nyoman Merta, sama-sama melestarikan lontar di Karangasem melalui tugas masing-masing. Selain I Nyoman Merta, masih ada warga penulis lontar aktif seperti I Nyoman Degeng dari Banjar Kuum, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Ida I Dewa Gede Catra dari Jalan Untung Surapati Gang Plamboyan No 2 Amlapura dan lain-lainnya.

Ida I Dewa Gede Catra sendiri, sebagai penulis juga mengoleksi 69 cakep lontar. Tercatat, menyimpan lontar tertua ditulis tahun 1846 Masehi judul Tatwa Gana Gita dengan panjang 42 cm, jumlah halaman 49 lembar yang menguraikan tentang Igama mengenai jalan mencapai kesuksesan, Agama dan Ugama sebagai pegangan hidup, melalui jalan dharma.

Ida I Dewa Gede Catra juga memiliki lontar paling tebal dengan 291 halaman, panjang 50 cm, dengan judul Geguritan Wana Parwa, disusul lontar 230 halaman berjudul, Dwi Joda, lontar 237 halaman dengan judul Boma.

Sedangkan Ida Pedanda Istri Rai dari Griya Jelantik, Banjar/Desa Culik, Kecamatan Abang memiliki 40 cakep lontar, dengan lontar paling tebal 176 halaman, panjang 47 cm berjudul Kidung Malat, disusul lontar dengan 132 halaman panjang 59 cm, berjudul Adi Parwa. Sedangkan Ida Pedanda Gede Ketut Telaga dari Griya Demung, Banjar/Desa Culik, Kecamatan Abang mengoleksi 52 cakep lontar, disusul I Gusti Agung Bagus Cakra dari Puri Kelodan Karangasem mengoleksi 76 cakep, dan Anak Agung Bagus Ngurah Agung dari Puri Gede Karangasem mengoleksi 65 cakep. *nantra

Komentar