nusabali

Simbol Pahit Manis Kehidupan yang Terkait Sejarah Desa Suwug

  • www.nusabali.com-simbol-pahit-manis-kehidupan-yang-terkait-sejarah-desa-suwug

Satu porsi hidangan Lawar Intaran berikut nasi dan lauk pauk lainnya harus disantap habis oleh masing-masing 40 KK ‘Saye Sekaa Petang Dasa’. Kalau tersisa, bisa dikenakan sanksi, karena dianggap melecehkan tradisi

Tradisi Ngelawar Intaran di Desa Pakraman Suwug, Kecamatan Sawan, Buleleng

SINGARAJA, NusaBali
Krama Desa Pakraman Suwug, Kecamatan Sawan, Buleleng kembali menggelar tradisi ritual ‘Ngelawar Intaran’ pada Saniscara Paing Ukir, Sabtu (11/2). Sesuai namanya, Ngelawar Intaran adalah ritual menyajikan masakan tradisional lawar dengan daun Intaran sebagai pengganti daging. Tradisi ritual ini sebagai simbolik pahit manisnya kehidupan, dikaitkan dengan sejarah kelahiran Desa Pakraman Suwug yang didirikan 40 KK.

Ngelawar Intaran ini merupakan tradisi ritual yang rutin dilaksanakan krama Desa Pakraman Suwug setahun sekali saat puncak karya pujawali di Pura Desa Pakraman Suwug, yang jatuh tepat Purnamaning Kawulu. Saat digelarnya tradisi Ngelawar Intaran ini, 40 KK ‘Saye’---yang kebagian tugas khusus menyiapkan adonan---sejak pagi sudah harus berkumpul di Pura Desa Pakraman Suwug. Mereka harus menyiapkan sejumlah adonan lawar daun Intaran dan masakan khas lainnya sebagai sarana pelengkap tradisi Ngelawar Intaran.

Bentuk hidangan Lawar Intaran yang disajikan sangat sederhana, berisi nasi yang ditakar menggunakan mangkok bulat dan diletakkan di tengah-tengah hidangan yang hanya beralaskan daun pisang. Bentuk bulat hidangan nasi tersebut merupakan simbol kebulatan tekat ‘Sekaa Petang Dasa’ (40 KK) pendiri Desa Pakraman Suwug.

Selanjutnya, di pinggir nasi berbentuk bulat itu juga ditata Lawar Intaran yang merupakan menu utama. Lawar Intaran ini tampak sama seperti lawar umumnya di Bali, namun tidak menggunakan daging dan darah. Sedangkan bumbu dan proses pembuatannya sama dengan lawar umumnya.

Lawar Intaran ini memiliki rasa yang khas: pahit dari daun Intaran bercampur manis dari air parutan kelapa. Selain Lawar Intaran, hidangan juga dilengkapi dengan sambal serondeng, kacang-kacanagn, ikan teri goreng, telor asin, garam, sambal pangi, juga lekesan dan kwangen (sarana upacara) yang diatur melingkari nasi. Di antara nasi, juga dilengkapi dengan unti (parut kelapa bercampur gula merah) yang rasanya manis. Dalam satu porsi hidangan, orang bisa merasakan beragam rasa: manis, pahit, hingga sepet.

Hidangan Lawar Intaran itu dibuat oleh ‘Sekaa Petang Dasa’, yakni 40 KK Desa Pakraman Suwug yang kebagian tugas smenjadi ‘Saye’. Hidangan Lawar Intaran ini disantap sebelum penyerahan ‘Saye Sekaa Petang Dasa’ yang bergantian setiap tahunnya.

“Jadi, dari 1.190 KK Desa Pakraman Suwug saat ini, mereka akan dibagi masing-masing 40 KK, lalu secara bergilir menjadi ‘Saye Sekaa Petang Dasa’, setiap tahunnya. Pergantian ‘Saye’ selalu dilakukan saat piodalan di Pura Desa Pakraman Suwug,” ungkap Kelian Desa Pakraman Suwug, I Wayan Nawa, kepada NusaBali diu sela pelaksanaan tradisi ritual Ngelawar Intaran, Sabtu lalu.

Sementara, begitu hidangan Lawar Intaran selesai, selanjutnya ‘Saye Sekaa Petang Dasa’ langsung naik ke Bale Agung yang berada di Nista Mandala Pura Desa Pakraman Suwug. Sebelum menyantap Lawar Intaran, mereka duduk berjejer melingkar di Bale Agung dan mengikuti seluruh rangkaian upacara. Hidangan Lawar Intaran baru bisa disantap detelah Jro Mangku Pura Desa selesai menghaturkannya di semua palinggih.

Nah, saat duduk di Bale Agung, ‘Saye Sekaa Petang Dasa’ juga diatur gerak hingga cara duduknya. Jika sudah naik ke Bale Agung, mereka tidak diperkenankan untuk turun lagi hingga prosesi upacara selesai. Hal ini merupakan aturan dalam matata linggih (tata krama). Hidangan yang sudah disediakan pun harus disantap habis. Kalau tidak, yang me-nyantapkan bisa dikenakan sanksi, karena dianggap melecehkan tradisi.

Setelah santap hidangan Lawar Intaran selesai, barulah dilanjutkan rangkaian upacara, yang disertai dengan pembacaan awig-awig desa. Acara puncak serah terima ‘Saye Sekaa Petang Dasa’ baru akan dilaksanakan pas tengah malam hingga dinihari. Krama ‘Saye Sekaa Petang Dasa’ demisioner mengakhir tugasnya sebagai barisan utama di setiap upacara yang dilaksanakan di Pura Tri Kahyangan selama setahun.

Menurut Bendesa Wayan Nawa, tugas mereka selanjutnya akan digantikan oleh ‘Saye Sekaa Petang Dasa’ yang baru. ‘Saye Sekaa Petang Dasa’ yang baru naik ini sebelumnya sudah menjalani upacara pembersihan diri dan natab Pawintenan Saraswati.

Bendesa Wayan Nawa memaparkan, tradisi ritual Ngelawar Intaran ini sudah diwarisi secara turun temurun sejak ratusan tahun silam. Ritual Ngelawar Intaran ini dilaksanakan sebagai simbol pahit manis kehidupan yang terakit erat dengan sejarah kelahiran Desa Pakraman Suwug.

Semua berawal saat 40 KK warga melarikan diri dari Kerajaan Menasa di Desa Sinabun, daerah perbatasan sebelah utara Desa Suwug. Pelarian itu dikarenakan adanya selisih paham para tokoh, sehingga 40 KK memutuskan untuk hijrah ke arah selatan menuju kawasan bukit. Hingga akhirnya mereka mulai membabat hutan dan menatanya menjadi desa baru yang kini dikenal sebagai Desa Suwug.

Sedangkan 40 KK pendiri Desa Suwug tersebut, kata Bendesa Wayan Nawa, kemudian disebut ‘Sekaaa Petang Dasa’. “Dalam perjalananya membangun Desa Suwug ini, mereka (40 KK) mengalami sejumlah halangan dan rintangan. Namun, semuanya dapat diatasi hingga sukses mendirikan sebuah desa baru,” papar Wayan Nawa.

Setelah berhasil, 40 KK tersebut lalu mengikrarkan sumpah. “Dalam mengikrarkan sumpahnya, mereka membuat hidangan Lawar Intaran sebagai perlambangan pahit manis kehidupan 40 KK selama membangun Desa Suwug,” tandas Wayan Nawa.  * k23

Komentar