nusabali

Apa Jadinya Kalau yang Biasa Ada, Ditiadakan?

  • www.nusabali.com-apa-jadinya-kalau-yang-biasa-ada-ditiadakan

"Change is not new, but what new is the degree of change," kata Nobert Wiener. Ia juga mengatakan bahwa perubahan itu sendiri akan berubah, tidak ada yang abadi.

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

ANDAIKAN silabus dan kurikulum disederhanakan, apakah pendidikan akan carut marut? Andaikan buku ajar dan ujian nasional ditiadakan, apakah kualitas pendidikan akan terancam. Andaikan inovasi dan invensi dalam pendidikan tidak ditemukan, apakah kemajuan tidak tergapai? Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan bukan untuk menafikan  upaya serius untuk membenahi kualitas pendidikan. Sesungguhnya, pesan yang ingin  disampaikan: apakah pendidikan akan semakin berkualitas kalau semua yang disebut di atas diadakan? Atau sebaliknya, apakah yang diadakan justru menambah panjang daftar permasalahan?

Tengara yang kedua sepertinya mendapat pembenaran. Misalnya, Kurikulum 2013 sudah diputuskan, namun ternyata kesiapan guru, bahan ajar, dan evaluasinya menjadi kendala besar. Akhirnya, kurikulum ini mendapat resistensi keras. Demikian juga nasib Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Ia menjadi plesetan lucu, antara lain, menjadi ‘Kurikulum Tidak Siap Pakai’. Lebih menyedihkan, KTSP diplesetkan menjadi ‘Kalau Tidak Selingkuh Poligamilah’. Pendidikan karakter direkonstruksi dan  diwajibkan untuk dikembangkan di semua jenjang pendidikan formal, nonformal, dan informal. Namun apa yang terjadi, moralitas anak bangsa ini semakin sulit dijelaskan dengan akal sehat.. Tawuran, seks bebas, psikotropika, dan perilaku menyimpang menjadi ikon sosio-budaya di kalangan remaja dan pemuda.
    
Seharusnya, pertanyaan-pertanyaan demikian tidak dijawab langsung hanya oleh para pendidik dan ahli pendidikan saja. Pertanyaan tersebut harus dicari jawabannya berdasarkan atas pandangan, pikiran, dan perasaan para pelaku penyimpangan. Kenapa anak nyontek dalam ujian? Jawaban sering bersifat klise, antara lain, karena anak malas atau anak mau mudahnya saja, atau ingin lulus ujian tanpa belajar. Kenapa di masa teknologi belum berkembang pesat, anak-anak justru belajar dengan serius, bersikap penuh disiplin, dan santun dalam berbahasa? Kenapa di masa lalu, aturan belum banyak diciptakan justru anak sangat disiplin dan tidak liar atau tidak terlibat tawuran bebas?  Walau ada masalah di atas, intensitasnya sangat terbatas.

Pertanyaan dan jawaban seperti di atas biasanya dilontarkan oleh para pendidik, cendekiawan atau pemerhati pendidikan. Namun apabila yang bertanya itu  peserta didik, pertanyaan-pertanyaan apa yang akan terlontar? Mungkin mereka bertanya, misalnya: Mengapa harus merancang kurikulum yang ribet? Mengapa ujian sekolah tidak dioptimalkan fungsi dan kegunaannya? Kenapa sarana dan prasarana pendidikan masih amat terbatas walau Indonesia sudah merdeka sejak 70 tahun yang lalu? Mengapa kompetensi guru tidak serta merta digugu dan ditiru, sesuai dengan falsafah Ki Hajar Dewantara? Kenapa panutan dalam pendidikan sulit dijumpai saat ini? Kenapa paradoks amat sering menghampiri dunia pendidikan?

Komentar