nusabali

Amnesty Pertimbangkan Psikologi 'Korban'

  • www.nusabali.com-amnesty-pertimbangkan-psikologi-korban

Anggota Komisi I DPR RI Efendi Simbolon meminta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhati-hati dalam mengeluarkan Amnesty kepada kelompok bersenjata sipil seperti Din Minimi.

JAKARTA, NusaBali
Pengampunan sebaiknya dilakukan dengan melihat dampak yang telah dilakukan kelompok bersenjata itu.“Pengampunan bisa diberikan dengan melihat apa yang telah dilakukan apakah sesuai? Haru dipertimbangkan pula dengan melihat korban, khususnya dari pihak TNI, Polri dan masyarakat yang mendukung NKRI sehingga pemerintah tak mudah memberi pengampunan tersebut,” ujar Effendi di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Kamis (4/8).

Menurut pria dari fraksi PDIP ini, kejahatan dari kelompok bersenjata yang sadis. Terlebih membiarkan korbannya meninggal dengan mengenaskan demi menunjukan kekuasaannya di daerah tersebut, harus tetap di proses secara hukum agar mendapat ganjaran yang setimpal dengan kejahatannya. Effendi khawatir bila semua diberi amnesty nanti bakal menyebabkan Indonesia menjadi negara kekuasaan.

“Kalau semua diberi amnesty, akan menjadi apa negara ini? Negara harus menghitung daya juang TNI, Polri dan masyarakatnya,” kata Effendi. Ia pun meminta amnesty jangan dijadikan komoditas politik oleh pemerintah, mengingat banyak kelompok bersenjata atau pemberontak di Indonesia.

"Tak  ada yang salah dengan pemberian amnesty tersebut, tapi kenapa lama? Itu berarti Presiden Jokowi ragu untuk mengambil keputusan. Sama dengan pemberontak di Papua, karena konsekuensi amnesty itu mengakui kesalahan," katanya.

Deputi II BIN Marzuki Thamrin menyatakan, amnesty sebagai antisipasi agar tidak banyak korban jiwa yang berjatuhan dan berapa banyak biaya untuk memburu pemberontak tersebut. “Kalau dibiarkan, berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh negara?,” imbuhnya. Ia berharap, adanya amnesty berdampak kepada pemberontak lain untuk menyerahkan diri kepada NKRI.

Menurut Marzuki, terkait amnesty BIN sudah meminta berbagai pertimbangan hukum kepada pihak terkait seperti Mahkamah Agung, Menkumham dan lain-lain. Proses memakan waktu lama, karena proses verifikasi data dengan Polri. Apalagi Aceh, merasa kecewa dengan perjanjian Helshinki. Dimana ayahnya yang tewas, ibunya yang janda dan anaknya yang yatim ternyata sampai hari ini tidak menerima uang yang dijanjikan.

Di Papua juga hampir sama. Persoalan mereka bukan untuk memisahkan diri dari Indonesia, melainkan masalah kesejahteraan. “Jadi, mereka itu bukan ingin memisahkan dari NKRI, tapi karena kesejahteraan,” katanya. k22

Komentar