nusabali

Sesangi

  • www.nusabali.com-sesangi

Seorang kakek, nun dari ujung timur Bali, bercita-cita ngaturang bakti ke Pura Sakenan di Pulau Serangan.

Aryantha Soethama


Pengarang

Ia pensiunan guru SD, kini berkebun menggarap tegalan dirimbuni kelapa, pisang, dan jambu mete. Dari halaman rumahnya di Desa Banjar Bangle, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem, saban pagi ia menyaksikan matahari terbit dengan silhuet Gunung Rinjani di timur dan Gunung Agung di barat. Kepada alam ia berdoa agar diberi karunia tangkil ke Pura Sakenan. “Aku akan makemit di sana,” katanya dalam hati berulang-ulang.

Kepada cucunya ia utarakan niat yang nyaris menjadi tujuan dalam hidupnya itu. “Apa susahnya ke Sakenan sekarang?” ujar cucunya kelas dua SMA. “Ke Sakenan sekarang gampang, naik motor, beres. Nanti saya antar Kakek ke sana.”

Tapi, itu cuma janji tinggal janji. Semula ia berniat bersama istri ke Sakenan, tapi istrinya meninggal dua tahun lalu. Ia khawatir tak bakal sampai ke Sakenan jika memang tidak sungguh-sungguh diniatkan. Kepada cucunya yang lain, sedang menuntut ilmu di Universitas Udayana, ia utarakan niat itu. Si cucu bertanya, “Mengapa Kakek berniat benar ke Sakenen? Nanti saya antar kalau libur semester.”

Berceritalah si kakek mengapa ke Sakenan menjadi impiannya. “Kakek punya sesangi ke Sakenan, jika kamu bisa tamat SMA dan masuk universitas. Kakek senang jika kamu bisa menemani kakek ke Pulau Serangan.”

Ah, si cucu kaget, dan segera menyanggupi permintaan kakeknya. “Hari Kuningan nanti saya jemput Kakek. Kita naik motor saja ke Sakenan, dekat kok dari kos saya di Panjer.” Si cucu tinggal di Jalan Waturenggong Gang 11 Nomor 11, Denpasar Selatan, rumah kos yang ia yakini paling nyaman, dekat kampus pula, cuma sepuluh menit bermotor ke Sakenan.

Kini giliran Kakek yang kaget. “Naik motor ke Serangan? Bukankah kalau ke Sakenan naik perahu? Orang-orang berlayar di air payau, di sela-sela pohon bakau, kemudian menembus selat Badung, sampailah kita di Pantai Serangan.”

Si cucu menjelaskan, “Sekarang tak ada lagi perahu ke Sakenan. Semua naik motor dan mobil, Kek, sudah ada jembatan kuat, serba cepat. Kakek saya bonceng, peluk erat pinggang saya, sampai dah. Ekspres, Kek,” sahut si cucu.

Tapi, si kakek tetap ingin naik perahu, karena begitu sesanginya. Ia teguh pada pendirian. Susah payah mencari perahu, akhirnya mereka bertemu nelayan yang biasa menyewakan perahu buat orang-orang dari Denpasar mancing ke tengah laut. Kakek-cucu itu akhirnya mengikuti liuk-liuk aliran air payau di sela bakau, membelah Selat Badung, untuk sampai ke Sakenan. Mereka menikmati alangkah indah jalan tol di barat sana. Mereka menyaksikan bukan main ramai pamedek naik mobil-motor ngaturang bakti berseliweran ke Pura Sakenan. “Sesungguhnya lebih khusuk naik perahu, lebih dekat kita dengan alam, lebih bersahaja, lebih terasa matirtayatra,” ujar Kakek.

Bermalam di tempat kos cucunya Kakek berujar, jika kelak si cucu jadi sarjana, mau meneruskan kuliah ke S2, ia akan masesangi lagi. “Mau kamu kuliah S2 di Universitas Gadjah Mada?” tanya Kakek.

“Apa sesangi Kakek?” tanya si cucu.

“Kakek mau ngaturang bakti ke pura di Jogja. Kata orang ada banyak pura di sana.”

“Memangnya Kakek punya uang untuk membiayai saya? Kuliah di pascasarjana mahal lho, Kek.”

“Kalau diniatkan pasti ada biaya. Kakek akan menabung. Penjualan hasil tegal kita depositokan untuk biaya kuliahmu. Biar ada keturunan Kakek tamat S2. Itu rintisan jalan keturunan Kakek kelak ada yang S3. Karena itulah kakek masesangi.”

Sesangi, bahasa Bali yang berarti kaul, dilakukan sejak dulu kala hingga di abad modern, oleh orang-orang buta huruf hingga mereka yang bergelar doktor dan profesor. Dan orang Bali dikenal senang dan gampang menyatakan sesangi, mungkin karena mereka sangat dekat dengan agama, budaya, dan tradisi. Jika mereka masesangi, keinginan terwujud, maka itu menjadi kesempatan untuk menyampaikan syukur dan upacara selamatan pun digelar. Dalam ritual selamatan itu sesaji dihaturkan, orang-orang berdoa. Dan kesempatan menggelar pesta, makan-makan, menjadi sah dan direstui.

Sesangi dijalankan sesuai dengan zaman dan keadaan. Dulu orang Bali, yang sebagian besar petani, jika panen berhasil, masesangi menghaturkan itik panggang. Jika anak lulus masesangi menghaturkan babi guling. Ada orang Bali yang kehilangan dompet masesangi ngaturang tipat akelan misi taluh abungkul (menghaturkan enam ketupat dengan sebutir telur). Ketika dompet ditemukan di bawah meja, gara-gara pikun salah taruh, saking girang pesta digelar. Ada suguhan betutu, sayur pelecing, jus alpukat, dan berbotol bir. Teman-teman diundang. “Ini harus disyukuri, karena dompet ini berisi surat-surat berharga,” ujar yang sempat kehilangan dompet beralasan. Sesangi memang bisa menjadi alasan menggelar pesta. *

Komentar