nusabali

Orang Bali Menelepon

  • www.nusabali.com-orang-bali-menelepon

Mereka yang menelepon di tahun 1960-1970-an pasti mengenal telepon engkol, pesawat telepon portabel warna hitam. Jika hendak menelepon harus melalui sentral. “Halo, sentral, tolong sambung ke telepon seratus delapan belas,” begitu misalnya permintaan disampaikan ke petugas sentral telepon yang lazimnya terletak di pusat kota.

Aryantha Soethama
Pengarang

Si operator akan menghubungkan ke nomor tujuan, sesuai permintaan. Tentu, kalau mau, si operator bisa nguping pembicaraan. Karena itu, yang rahasia banget, jarang diomongin di telepon, karena takut disadap. Paling orang-orang menyampaikan, “Nanti kita ketemu di rumahmu ya, jam tujuh malam,” begitu misalnya. Yang disampaikan pendek-pendek, seperlunya.

Orang Bali baru merasa nyaman menelepon setelah mengenal telepon otomatis, yang nomornya diputar di pesawat telepon. Yang hendak diajak bicara bisa langsung, tidak lagi melalui operator seperti telepon engkol. Telepon otomatis putar ini kemudian berganti dengan telepon tombol yang dipencet-pencet.

Jika orang Bali menelepon di zaman dulu itu, di zaman telepon engkol, telepon putar, atau telepon pencet, tak ada salam pembuka ‘Om swastiastu’ seperti telepon sentuh masa kini. Mereka juga tidak menyampaikan ucapan selamat siang, pagi atau malam. Yang disampaikan, misalnya, cuma, ‘Halo Made’ atau ‘Halo’ saja. Salam pembuka ‘Swastiastu’ baru dikenal luas tahun 1980-an, berbarengan dengan sapaan ‘Suksma’ untuk menyampaikan terima kasih. Masa-masa itu masyarakat Bali pemeluk Hindu di rantau mulai melangsungkan simakrama atau merayakan dharma santhi berkenaan dengan hari raya Nyepi.

Orang Bali di Bali kemudian getol menganjurkan agar jika menerima telepon atau menelepon mengawali dengan salam pembuka ‘Om swastiastu’, sering juga disampaikan ‘Swastiastu’ saja. Sapaan ini juga dianjurkan jika bertemu atau bertamu masuk pekarangan orang lain. Mungkin karena orang Bali banyak yang kalem, sapaan Swastiastu disampaikan pelan, lirih, agar tampil teduh. Lambat laun, karena saking lirihnya, ‘Swastiastu’ jadi nyaris tak terdengar. Sekarang banyak orang berteriak melontarkan sapaan Swastiastu, sehingga terkesan sangat akrab dan penuh gairah.

Apalagi jika disampaikan sambil naik motor, pakai helm full face di tengah ingar bingar raungan deru motor dan mobil di jalan raya, orang-orang berteriak “Swastiastuuuuu....!” sambil wussss..... berlalu kencang.

Orang Bali juga dianjurkan menyampaikan ‘Om santih, santih, santih Om’ jika menutup pembicaraan di telepon. Karena sapaan penutup ini dirasakan agak panjang dan mengulang, sering diringkas menjadi ‘Om santih’ saja, bahkan cukup ‘Santih’. Tak sedikit yang mengucapkannya ‘Santi’. Banyak yang tak begitu peduli akan perbedaan pengucapan ini, karena yang penting bagi mereka adalah maksud yang hendak disampaikan berarti ‘semoga selalu dalam damai’. Di televisi berulang-ulang diiklankan, menerima telepon dan menelepon dianjurkan diawali dengan sapaan ‘Om swastiastu’. 

Ada iklan disiarkan stasiun televisi di Bali tentang bocah yang menyapa ‘Om swastiastu’ ketika menerima telepon dari orang dewasa yang hendak bicara dengan ayah si bocah. Ini dinilai pemirsa sebagai pendidikan watak, cocok dengan jargon revolusi mental yang ramai belakangan ini.

Selanjutnya...

Komentar