nusabali

MUTIARA WEDA : Tidak Menolak Tidak Pula Menerima

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-tidak-menolak-tidak-pula-menerima

Tidak menolak sesuatu, tidak pula menerimanya, tetap tinggal di dalam Sang Diri, yang merupakan kehadiran Abadi.

Mā kincit tyajā yā grhāna virama svastho yathāvasthitah

(Anuttarastika, 2)

Teks Siwaistik, seperti misalnya Siwa Sutra, mengandung ajaran tidak hanya tentang tata cara ritus pemujaan Siwa saja, tetapi juga tentang tattva dan aspek yoganya. Tattva yang diajarkan di dalam tradisi Siwa dikenal dengan sebutan tiga puluh enam (36) tattva, dimana prinsip Realitas Tertinggi yang dianut adalah Parama Siwa, yang disebut dengan prakasa-vimarsamaya. Sementara aspek Yoga, biasanya, berada di dalam tata cara ritual yang bersifat rahasia untuk menemukan kembali Realitas Sejati Sang Diri yang merupakan Parama Siwa itu sendiri.

Abhinavagupta, salah satu komentator teks Pratyabhija Sastra, teks filosofis Sivaistik, dalam salah satu komentarnya menyatakan bahwa orang yang telah mampu menemukan kembali Dirinya Yang Sejati (yang adalah Parama Siwa), ia secara otomatis memiliki kemampuan untuk berada di atas dualisme kehidupan. Abhinavagupta menguraikannya dengan ‘tidak menolak sesuatu, tidak pula menerimanya’. Ia tidak lagi terjebak pada nilai, tidak terjebak pada sebuah pilihan. Kebahagiaan abadi atau kesadaran Tertinggi akan bisa dicapai apabila seseorang mampu tidak menerima dan tidak menolak sesuatu secara bersamaan.

Pernyataan ini tampak aneh bagi kita, tetapi tidak bagi mereka yang telah mampu berada di dalam Diri Sejati. Anehnya terletak pada pengambilan sebuah sikap yang bertolak belakang secara bersamaan. Bila kita tidak menolak sesuatu, itu artinya kita menerima sesuatu itu, atau sebaliknya. Seperti misalnya, kalau seseorang memberikan kita sebuah hadiah, kemudian kita mengatakan ‘saya tidak menolaknya’. Itu artinya kita menerima hadiah itu. Demikian juga jika kita mengatakan ‘saya menolak itu’, artinya kita tidak menerimanya. Tetapi, apa yang dinyatakan oleh Abhinavagupta adalah sebaliknya, ‘tidak menolak, tetapi tidak pula menerimanya.’

Hal yang ingin disampaikan kepada kita dari teks di atas adalah bagaimana kita mampu menjadi saksi atau menjadi penonton terhadap semua kejadian yang sedang berlangsung di sekitar kita. Untuk bisa menjadi penonton, kita harus berhenti menjadi bagian atau menjadi pelaku dari seluruh atau sebagian dari drama kehidupan ini. Sepanjang kita menjadi pelaku (doer), sepanjang itu kita terjebak di dalam nilai, memilih salah satu (menolak atau menerima) sesuatu itu. Demikian pula, sepanjang kita terjebak dalam nilai, sepanjang itu kita tidak akan mampu berada dalam Realitas Diri Yang Sejati itu. Kita selamanya berada dalam samsara, penderitaan dunia yang tiada tepi.

Oleh karena itu, orang yang bahagia hidupnya, orang yang senantiasa melihat dari Keluhuran Diri, selalu memiliki karakter ini. Ia tetap berada di dalam dunia ini, tetapi ia tidak lagi menjadi pelaku kehidupan, melainkan hanya sebagai saksi kehidupan itu sendiri. Orang yang mampu menjadi penonton, menjadi saksi, tidak akan terpengaruh oleh suka dukanya kehidupan. Ia akan selamanya tenang, tak tergoyahkan dan berada di dalam pelukan Parama Siwa.

Bagaimana caranya agar kita bisa menjadi saksi dan bukan sebagai pelaku, sementara yang kita tahu bahwa kita sepanjang hidup adalah bagian dari kehidupan dan selalu menjadi pelaku kehidupan itu sendiri? Ini yang sulit dijawab, sebab ini adalah sebuah keadaan, sebuah konsekuensi dari kesadaran. Jika kita menyadari Diri Kita yang sejati, keadaan ini akan secara otomatis dialami. Tiba-tiba saja kita menyadari bahwa kita sebenarnya terpisah dengan arus dualisme kehidupan ini, dan hanya menyaksikan seluruh kejadian yang ada tanpa ikut terlibat di dalamnya. Jika kita mencoba untuk menjadi penonton, kemudian berperilaku ‘tidak menolak dan tidak menerima sesuatu’, sebenarnya bukan perilaku yang asli, melainkan perilaku tersebut dibuat-buat dan tetap berada di dalam arus kehidupan. Perilaku tersebut akan menjadi salah satu bentuk lain dari fenomena kehidupan biasa. Jadi, hal tersebut muncul dari kesadaran dan tidak bisa ditempelkan di dalam kehidupan kita.

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar   
     

Komentar