nusabali

Atom–Atom Kebudayaan Bali

  • www.nusabali.com-atom-atom-kebudayaan-bali

PublikasiI UNESCO, ‘Our Creative Diversity (1994-1995)’, menyimpulkan bahwa pembangunan yang bercerai dengan konteks manusia dan kebudayaan merupakan suatu perkembangan tanpa jiwa.

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD


Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya


Penggalan simpulan tersebut mungkin dapat menyadarkan krama Bali terhadap dilema yang sering dihadapi. Demikian juga, Marshal Shalins (1994) dalam makalahnya berjudul ‘A Brief Cultural History of Culture’, mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi, dengan segala bunga-bunganya, sesungguhnya bagian dari kebudayaan. Faktualnya, kebudayaan bukanlah ‘self-contained atoms; they work together, co-operate, compete and interact in many ways’. Analognya, kebudayaan Bali bukanlah atom-atom mandiri. Kebudayaan Bali merupakan ‘artikulasi kuat krama Bali beserta ekosistemnya’, meminjam istilah pakar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Dr I Nyoman Wijaya MA. Kebudayaan Bali tidak ditentukan oleh orang per orang atau kelompok. Cara operasinya bisa melalui kerja sama, kompetisi atau interaksi untuk menciptakan makna paras paros (kebersamaan), trepti (ketertiban), shantih (kedamaian), sukerta (kesejahteraan), dan jagadhita (kesejahteraan), dan lain sebagainya.

Di satu sisi, kebudayaan bukan alat untuk mencapai kemajuan material. Kebudayaan merupakan wahana pikiran, perkataan, dan perilaku. Tujuan jangka panjangnya bukan pertumbuhan ekonomi semata. Tetapi, ‘the flourishing of human existence in all its forms and as a whole’, bersemainya eksistensi krama Bali dalam segala bentuk secara keseluruhan’, pungkas Amartya Sen (1994), dalam makalahnya ‘Culture, Economics and Development’ (1995).

Di sisi lain, ada pandangan berbeda dengan di atas. Pandangan klasiknya adalah ‘ways of living together’, cara-cara hidup bersama untuk menciptakan harmoni sosial. Dengan itu, pembangunan dimaknai sebagai perluasan peluang dan pilihan, ‘the widening of human opportunities and choices’. Ringkas kata, studi kebudayaan dan pembangunan merupakan kajian tentang cara-cara hidup bersama yang mempengaruhi perluang dan pilihan. Dalam konteks ini, kebudayaan bukanlah entitas statis atau sesuatu yang tidak dapat berubah. Dalam era globalisasi, mempengaruhi atau dipengaruhi oleh budaya lain, baik lewat konflik, tekanan atau kesadaran adalah suatu fenomena lumrah. Intinya, sebuah kebudayaan, misalnya kebudayaan Bali, akan selalu merefleksikan sejarah, moralitas, pranata sosial, sikap budaya, pergerakan sosial, konflik, pergulatan, dan konfigurasi politik internal maupun eksternalnya. Misalnya, pada era pertanian, tanah adalah aset budaya; pada era industri pariwisata, tanah adalah komoditas. Pada era digital, tanah merupa

kan peluang untuk meraup harta; pada era nano, tanah merupakan sengketa dan harmoni sosial?

Kebudayaan sebagai ‘qualifier’, seperti Ajeg Bali, Bali Lestari, Bali Seribu Pura, the Living Paradise, dan sejenisnya perlu dipahami dengan hati-hati. Kata-kata ‘ajeg, lestari, seribu pura atau sorga dunia’ mengisyaratkan pemaknaan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan. Misalnya, eco-tourism, wisata alam untuk meraup dolar atau euro yang banyak. Wisata alam hanya sebatas promosi, tetapi realitanya adalah eksploitasi. Wisata spiritual banyak diminati wisatawan, sehingga kesucian ekosistem ke-beragamaan Hindu bisa direlatifkan?

Sebaliknya, kata-kata tersebut dimaknai sebagai larangan untuk perkembangan, apalagi perubahan. Memang, alam dengan segala isinya diciptakan oleh Sang Causa Prima, dan tidak seorang pun berani mengubahnya. Mereka berdalih memang tidak mengubah alam, tetapi memperoleh ganjaran positif dari alam secara konstruktif, konstitutif, dan kreatif. Cara memperoleh ganjaran positif, mereka definisikan sebagai kebudayaan. Jadi, kebudayaan diumpamakan sebagai air mancur kemajuan dan kreativitas. Krama Bali sering berhadapan dengan pilihan sulit. Misalnya, wacana Bali Nirwana Resort (BNR), awalnya ditantang dan ditentang, tetapi akhirnya dilelang dan dipajang. Saat ini, reklamasi teluk Benoa, dikutuk dan dihadang, bagaimana akhirnya, tidak ada yang pasti.

Bali tidak terdiri atas eka-budaya, ‘one culture’. Bali terdiri dari berbagai ‘soroh’, agama dan keyakinan, latar belakang sosial ekonomi, adat istiadat, karakter, moral, norma, nilai, dialek atau cara-cara pandang kehidupan itu sendiri. Bali sebagai entitas multi-budaya, ‘multi culture’ dapat memperoleh keuntungan atau menuai risiko dari pluralisme. Karenanya, kebijakan pemerintah daerah, desa adat, dan Parisadha Hindu Dharma amat penting. Sesungguhnya, ketiganya tidak bisa menentukan sepenuhnya kebudayaan Bali. Mereka justru ditentukan oleh kebudayaan itu sendiri. Apakah mereka akan memaknai kebudayaan sebagai pelestarian dalam konteks, ‘entre-en-soi (being in itself), entre-pur-soi (being for itself) dan entre-pour-autres (being for others)’, menurut Prof I Wayan Ardika (2016), pakar Fakultas Ilmu Budaya Unud, dalam modul pembelajaran berjudul ‘Harmoni Sosial, Komunikasi Lintas Budaya’? Dalam era ‘ethnic cleansing’, fanatisme dan praduga SARA sedapat mungkin dicuci, sehingga kebencian tergantikan oleh respek atau kegalauan tertukar oleh kedamaian. Semoga.

Komentar