nusabali

Aksi dan Perilaku

  • www.nusabali.com-aksi-dan-perilaku

Menurut Talcott Parsons, aksi bukanlah perilaku. Aksi merupakan tanggapan mekanis terhadap suatu stimulus.

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD


Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

    
Sedangkan, perilaku merupakan proses mental aktif dan kreatif. Menurut Parsons, tindakan individual bukanlah yang utama, melainkan norma dan nilai sosial yang mengatur perilaku tersebut. Jadi, beberapa aksi yang merobek Bali ditengara  merupakan respons mekanis semata. Misalnya, aksi menafikan hidup seseorang di Desa Batuan bukanlah perilaku yang melibatkan proses mental secara aktif. Mereka yang terlibat mungkin hanya solider kepada teman, bukan sengaja berperilaku membunuh orang.   

Menggunakan kacamata Parsons, aksi ditengara dipengaruhi oleh tiga sistem. Yaitu, sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian masing-masing individu. Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan perannya. Dalam setiap sistem sosial, individu menduduki suatu status. Ia berperan sesuai dengan norma yang dibuat oleh sistem tersebut. Ia juga berperilaku sesuai dengan tipe kepribadiannya. Menurut Hinkle (2004), aksi manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subjek. Misalnya, tindakan orang-orang bermigrasi ke Bali merupakan tindakan yang muncul dari kesadarannya untuk memperbaiki kualitas hidup.

Tetapi, tidak semua aksi muncul dari kesadarannya sebagai subjek. Kadangkala, seseorang bertindak karena situasi eksternal. Ia dalam posisi sebagai objek yang dibatasi  oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya. Misalnya, seseorang ikut protes atau demo ini dan itu, bukan karena ia mengerti melainkan ia hanya sebatas ikut dalam aksi. Dalam bertindak, ia tidak menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, atau perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan. Ukuran-ukuran atau prinsip-prinsip moral yang digunakan mengikuti acuannya yang bersifat subjektif (Ritzer, 2003). Misalnya, seorang bertindak sebagai preman. Ia bertindak demikian, karena untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Seperti, kebutuhan makan, minum, keselamatan, perlindungan, kebutuhan untuk dihormati, kebutuhan akan harga diri, dan lain sebagainya. Jadi tujuan yang hendak dicapai seorang preman merupakan landasan dari segenap perilakunya.

Sering dijumpai krama Bali memperlakukan individu lainnya dengan makna subjektif. Demokrasi politik, sosial, atau budaya tidak jarang dilihat sebagai perpaduan antara kebebasan dan definisi sendiri. Realitas sosial dan budaya sering dianggap sebagai sesuatu yang statis, bukan sebagai proses dinamis. Akibatnya, makna-makna yang terbentuk merupakan hasil interaksi simbolik individu-individu di dalamnya. Misalnya, banyak protes berlangsung di Bali, dikarenakan telah melanggar bhisama. Namun, dalam perjalanannya protes itu hilang, karena penolakan itu lebur oleh interpretasi dinamis. Demikian halnya, dengan protes reklamasi Teluk Benoa, apakah akan lebur karena adanya ‘interaksi simbolis’ individu yang menolak atau menerima? Mungkin saja itu terjadi.

Kemenjadian tersebut bisa terjadi oleh tiga premis. Blumer (2004) menyebutnya (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasar makna yang ada pada mereka, (2) makna tersebut berasal dan hasil interaksi sosialnya dengan orang lain, (3) makna tersebut disempurnakan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran di saat proses interaksi berlangsung. Jadi, dalam melakukan interaksi secara langsung maupun tidak langsung individu dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran.

Tindakan penafsiran simbol oleh individu di sini diartikan memberikan arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Karena itulah individu yang terlibat dalam interaksi ini tergolong aktor sadar dan reflektif karena bertindak sesuai dengan apa yang telah ditafsirkan. Konsep inilah yang disebut Blumer dengan self-indication, yaitu proses komunikasi yang sedang berjalan (Poloma, 2004: 261). Dalam perspektif konstruktivisme, Bali memiliki pengetahuan yang merupakan produk interaksi dengan dunianya. Ketika proses berinteraksi tindakan para agen selalu bersifat inter-subjektif. Tri Hita Karana juga tidak lepas dari cara masing-masing individu  mempersepsikan situasi di ruang dan waktu. Dalam interaksi itulah masing–masing mendefinisikan dunianya yang merupakan definisi dalam menentukan tindakan atau implementasi dari definisi situasi. Semoga jelas beda makna antara aksi dan perilaku krama Bali dari sejak dulu sampai saat ini. Semoga pemahaman akan perbedaan ma

kna ini dapat mereduksi konflik atau perbedaan penafsiran yang mengarah pada ketidak-rukunan antar dan inter krama Bali. *

Komentar