nusabali

Kado Pernikahan Orang Bali

  • www.nusabali.com-kado-pernikahan-orang-bali

Orang Bali zaman dulu tidak mengenal kado. Tidak kado pernikahan, tak pula kado ulang tahun. Tapi tak berarti hari lahir tidak diperingati.

Aryantha Soethama


Pengarang

Tidak pula berarti pernikahan tanpa kado menjadi hambar. Dua hari penting itu justru menjadi hari suci bagi orang Bali, karena harus dilakoni dengan menghaturkan sesaji dan guyuran doa-doa.

Hari lahir diingat dengan otonan, dan sesaji pun dihaturkan. Pernikahan tidak dianggap sah tanpa doa dan mantra serta banten. Kendati perayaan digelar dengan pesta sesama kerabat dan keluarga, pernikahan tetap dikenang karena tradisi dan ritual yang menyertainya. Tidak karena kado yang diterima pengantin. Lebih setengah abad silam, orang Bali menilai kado sebagai sesuatu yang ‘ganjil’. Hanya kaum bangsawan, kelas menengah dan atas yang menikah, menyelenggarakan resepsi, menerima kado.

Tapi zaman berubah jauh, dan orang Bali menikah menerima kado. Hadiah itu macam-macam, dibungkus dengan kertas kado yang cantik-cantik, sehingga tampilannya menjadi sumringah, mengesankan pemberian tulus dan riang gembira. Banyak yang memberi pakaian, handuk, peralatan dapur, kain atau buku. Jika seorang rekan melepas masa lajangnya, mereka sibuk mencari kado, dan bingung memikirkan kado apa gerangan bagus diberikan buat kawan dekat yang menikah.

Lama-lama menjinjing kado untuk pengantin jadi merepotkan. Tahun 1980-an masih banyak orang datang menjinjing kado kompor ke tempat pengantin. Ada yang membawa barang elektronik seperti tape recorder atau televisi. Yang memboyong barang-barang berat itu tentu harus mengajak sopir. Kalau tidak mereka meminta kerabat tuan rumah mengambilnya di mobil. Di hari pernikahan alangkah berjibun barang-barang di rumah pengantin yang menerima kado dari ratusan undangan.

Karena repot menjinjing barang, kado pun diganti dengan uang dimasukkan ke amplop, dicemplungkan ke kotak yang diletakkan dekat meja tempat undangan menulis nama di buku tamu. Kartu undangan pernikahan pun berisi permakluman ‘tidak menerima kado’. Itu artinya pengantin tidak menerima barang, cukup uang. Kalimat ‘tidak menerima kado’ itu kemudian dinilai kurang santun, seakan tuan rumah sangat berharap akan uang (padahal memang benar begitu). Untuk menyamarkan hasrat akan uang itu, kartu undangan pun akhirnya diisi gambar celengan.

Semua orang tahu gambar itu pertanda pengantin tidak menerima kado, cukup diberi amplop, berisi uang tentu. Padahal beberapa kali terjadi pengantin yang benar-benar cuma menerima amplop, tanpa berisi uang. Jika ini terjadi, para pengumpul amplop tuan rumah tertawa terbahak-bahak. “Nih lihat nih, kosong melompong,” ujar seseorang yang bertugas membuka amplop. “Ah, itu pasti tamu jahil,” ujar yang lain. Pernah pula terjadi amplop yang berisi fotokopi duit, bahkan cuma selembar kertas ditulisi nilai nominal uang. “Ah, kalau yang ini pasti manusia iri dan dengki,” komentar seseorang. Yang lain menimpali, “Mungkin dia cemburu, kok keluarga kita dapat pasangan. Kalau aku tahu siapa orangnya, kubalas nanti dengan memberi amplop berisi daun kering.”

Ketika kado masih berupa barang, si pemberi biasanya mengisi tulisan ‘Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta kalian abadi’. Ucapan ini disertai nama pemberi kado. Jadi, si pengantin tahu siapa yang memberi kompor, piring, gelas, handuk atau sepatu dan sandal. Kalau uang dalam amplop tidak disertai nama, mungkin karena uang yang dimasukkan ke amplop sedikit, rata-rata Rp 50 ribu.

Seorang wanita, baru dua tahun menamatkan kuliah, bekerja di sebuah bank pasar, pertama kali datang ke pernikahan temannya bingung harus memasukkan uang berapa ke amplop. Kawan yang akan diajaknya ke acara pernikahan tertawa, “Segitu aja kok bingung, masukkan sesukamu. Kamu ceplosin sepuluh ribu juga gak ada yang tahu.” Mereka lagi bersiap-siap kondangan berangkat dari tempat kos.

Sepuluh ribu? Ia berpikir sejenak, ini namanya aku menistakan karibku yang menikah, kata hatinya. Ia masukkan dua lembar seratus ribu ke amplop. Temannya, wanita pegawai negeri sipil, mendelik. “Kok banyak amat, cukup seratus saja kamu kasih, sini selembar untukku,” pintanya. Wanita karyawati bank pasar itu tersenyum. Tetap saja ia masukkan dua ratus ribu ke amplop, kemudian ia ambil selembar lima puluh ribu dari dompetnya, ia serahkan kepada temannya yang PNS itu.

Seorang wanita tamat SMA setahun lalu asal Flores melihat adegan tersebut. Ia baru dua bulan menyewa kamar di tempat kos itu. “Kalau di tempat asal di Flores, sama juga dengan di Bali sini, memasukkan uang dalam amplop untuk hadiah pernikahan. Tapi ada juga bedanya,” ujar wanita kurus berambut keriting itu.

“Pasti bedanya uang dalam amplop sedikit ya, cari uang dari mana banyak-banyak buat kado di tempat asalmu?” tanya wanita PNS itu lantang.

“Tidak begitu, mbok,” ujar wanita berkulit gelap itu. “Di tempat saya, amplop-amplop itu ditulisi nama, sehingga kita tahu siapa memberi berapa. Nanti kalau keluarga itu punya hajatan, kami akan memberinya sebanding.”

“Hahaha...biar bisa balas dendam ya?” ujar si wanita PNS.

Si wanita karyawati bank tercenung. Ada juga benarnya kalau amplop berisi nama, tapi banyak juga jeleknya, seakan si pengantin dengan yang diundang melakukan kegiatan jual-beli. Yang paling baik tentu seperti orang Bali zaman dulu, hidup tanpa kado. Mereka tulus, tidak menjadikan meminta dengan memberi sebagai kegiatan transaksi. *

Komentar