nusabali

Goesti Ketut Pudja Jadi Gambar Uang Rp 1.000

  • www.nusabali.com-goesti-ketut-pudja-jadi-gambar-uang-rp-1000

Pahlawan nasional asal Bali, Mr I Goesti Ketut Pudja, diabadikan sebagai gambar mata uang rupiah Tahun Emisi 2016 untuk uang logam pecahan Rp 1.000.

DENPASAR, NusaBali
Peluncuran uang rupiah berisi gambar pahlawan nasional kebanggan Bali ini diresmikan Presiden Jokowi, Senin (19/12), di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, yang disaksikan langsung melalui saluran situs sosial berbagi video Youtube di Kantor Perwakilan BI Provinsi Bali.

Selain I Goesti Ketut Pudja, ada 11 pahlawan lagi yang digunakan sebagai gambar mata uang rupiah Tahun Emisi 2016. Mereka masing-masing Dr Ir Soekarno (uang kertas pecahan tertinggi Rp 100.000), Mohammad Hatta (uang kertas pecahan tertinggi Rp 100.000), Djuanda Kartawidjaja (untuk uang kertas pecahan Rp 50.000), GSSJ Ratulangi (uang kertas pecahan Rp 20.000), Frans Kaisiepo (uang kertas pecahan 10.000), Idham Chalid (uang kertas pecahan 5.000), Mohammad Hoesni Thamrin (uang kertas pecahan Rp 2.000), Tjut Meutia (uang kertas pecahan Rp 1.000), Tahi Bonar Simatupang (uang logam pecahan Rp 500), Tjiptomangunkusumo (uang logam pecahan Rp 200), dan Herman Johanes (uang logam pecahan Rp 100).

Dalam uang kertas juga dicantumkan keragaman seni, budaya, dan kekayaan alam Indonesia. Uang rupiah Tahun Emisi 2016 juga dilengkapi dengan berbagai unsur pengaman yang bertujuan untuk melindungi uang dari unsur pemalsuan. Beberapa unsur pengaman, antara lain, cetakan terasa kasar bila diraba, gambar tersembunyi, gambar saling isi, tinta berubah warna, benang pengaman, gambar raster, mikroteks, dan anti copy.

Kepala Divisi Sistem Pembayaran, Manajemen Intern, Komunikasi dan Layanan Publik Kantor Perwakilan BI Provinsi Bali, Zulfan Nukman, mengatakan setelah diluncurkan Senin kemarin, maka uang kertas dan uang logam berisia gambar pahlawan nasional tersebut resmi digunakan sebagai alat pembayaran yang sah. "Untuk tahap awal, kami kenalkan dulu ke masyarakat. Melalui perbankan akan mengambil uang baru itu dan diedarkan ke masyarakat,” katanya.

Menurut Zulfan, uang baru berisi gambar pahlawan nasional tersebut telah berada di setiap perwakilan BI di daerah. Untuk daerah yang jauh dari pusat kota (remote area), merupakan sasaran utama BI dalam mengenalkan uang baru tahun Emisi 2016 tersebut.

Sedangkan Deputi Direktur Kepala Perwakilan BI Provinsi Bali, Azka Subhan, menyatakan uang rupiah Tahun Emisi 2016 memiliki desain utama gambar pahlawan, sebagai bentuk penghargaan atas jasa pahlawan nasional Indonesia, serta untuk menumbuhkan semangat kepahlawanan dan sikap keteladanan mereka. Menurut Azka, 12 pahlawan ini dipilih menghiasi uang kertas dan uang logam melalui proses pemilihan yang sangat ketat.

“Beberapa kriteria pahlawan yang dijadikan gambar, mulai dari pemilihan pahlawan yang sudah wafat. Dan, yang terpenting, pahlawan nasional ini dimungkinkan tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat dan tidak diragukan kepahlawannnya. Selain itu, juga melihat keterwakilan dari daerah-daerah asal para pahlawan,” ujar Azka.

I Goesti Ketut Pudja sendiri dikukuhkan sebagai pahlawan nasional, 8 November 2011 lalu. Putra terbaik Bali asal Desa Sukasada, Kecamatan Sukasada, Buleleng, kelahiran 19 Mei 1908, yang merupakan anak dari pasanhgan I Gusti Nyoman Raka dan Jero Ratna Kusuma ini ditetapkan sbagai pahlawan nasional di era Presiden SBY, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 113/TK/2011.

I Goesti Ketut Pudja yang notabene mantan Gubernur Sunda Kecil, merupakan satu dari lima pahlawan nasional asal Bali. Sedangkan empat pahlawan nasional asal Bali lainnya masing-masing Kolonel TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai (asal Puri Carangsari, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Badung), I Gusti Ketut Jelantik (asal Karangasem), Dr Anak Agung Gede Agung (asal Puri Agung Gianyar), I Gusti Ngurah Made Agung (Raja Badung VII 1902-1906 asal Puri Denpasar)---yang baru dikukuhkan 4 November 2015.

Mr Pudja---demikiaan sapaan akrab masyarakat Buleleng terhadap I Goesti Ketut Pudja---punya andil besar dalam merintis dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dialah tokoh moderat yang diyakini sebagai pencetus sila pertama dalam Pancasila (Dasar Negara Republik Indonesia), yakni ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Hal ini terkait dengan penyusunan Mukadimah UUD 1945 dalam sidang PPKI, di mana Mr Pudja memberikan jalan tengah.

Mr Pudja juga turut dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan di rumah Laksamana Maeda. Ketika teks Prokalamasi kemerdekaan itu dibacakan Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta (sekarang Jalan Prokalamasi), 17 Agustus 1945, Mr Pudja juga turut hadir di sana.

Saat usianya baru menginjak 37 tahun, Mr Pudja sudah mendapat kepercayaan mewakili Pemerintahan Sunda Kecil (Bali, NTB, dan NTT) dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta. Mr Pudja ditunjuk karena dianggap mengetahui banyak pemerintahan di wilayah Sunda Kecil. Sebab, Mr Pudja waktu itu sudah mengabdi pada Kantor Residen Bali dan Lombok yang berpusat di Kota Singaraja, sebagai Giyosei Komon – Penasihat Umum Kepala Pemerintahan Sunda Kecil.

Dalam buku biografinya yang dibuat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, sosok Mr Pudja tercatat sebagai putra Bali pertama yang meraih gelar Meester in de Rechten (Mr)---kalau sekarang, Sarjana Hukum (SH). Gelar tersebut dia raih setelah menamatkan pendidikan Rechtshoge School di Jakarta tahun 1934.

Sebelumnya, pada 1922, Mr Pudja menamatkan pendidikan pada Hollands Inlandsche School (HIS) di Pabean, Singaraja, Buleleng. Kemudian, dia sekolah di MULO (Mer Uitgebreid Lager Onderwijs)---setingkat SMP---di Kota Malang, Jawa Timur. Lalu, Mr Pudja melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare School)---setingkat SMA---di Kota Bandung, Jawa Barat, sebelum akhirnya kuliah di Rechtshoge School.

Setelah tamat Rechtshoge School dengan gelar Mr, maka Mr Pudja mengabdikan dirinya pada Kantor Residen Bal-Lombok di Singaraja, sebagai pengawas urusan tanah Kerajaan Badung, Tabanan, dan Klungkung. Pada waktu itu, Mr Pudja hanya mendapatkan gaji sebesar 50 Golden per bulan.

Waktu pendudukan tentara Jepang beralih dari angkatan darat ke angkatan laut, Mr Pudja diangkat sebagai Giyosei Komon Komom---Penasihat Umum Kepala Pemerintahan Sunda Keci hingga zaman kemerdekaan. Kerena diangap mengetahui banyak pemerintahan wilayah Sunda Kecil (Bali-NTB-NTT), maka Mr Pudja kemudian ditunjuk mewakili pemerintahan Sunda Kecil menghadiri rapat PPKI di Jakarta, Agustus 1945, beberapa hari jelang Proklamasi Kemerdekaan RI.

Mr Pudja aktif mengikuti rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu. Dia tercatat ikut dalam panitia kecil yang dipimpin Oto Iskandardinata dalam menyusun rancangan yang berisi hal-hal yang meminta perhatian mendesak. Di antara yang dihasilkannya adalah pembagian wilayah atas delapan provinsi, juga mengusulkan pembentukan tentara kebangsaan.

Sementara, dalam sebuah tulisan yang disusun Kurniawaty (pegawai Museum Perumusan Naskah Proklamasi), Mr Pudja aktif dalam pembahasan dan pengesahan UUD 1945. Bahkan, Mr Pudja dinyatakan termasuk paling aktif dalam perumusan Panitia Sembilan yang disebut sebagai Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.

Salah satu klausul dari Piagam Jakarta itu adalah masuknya pernyataan sila pertama yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Klausul tersebut kemudian dirombak oleh Mr Pudja bersama tokoh non Muslim terutama dari Indonesia bagian Timur.

Pada waktu pembahasan di sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Mr Pudja mengusulkan agar sila pertama dalam Pancasila berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. “Ya mungkin agar semua pemeluk agama di Indonesia bisa menerima,” ungkap Sekretaris LVRI Cabang Singaraja, Gede Darna, kepada NusaBali, beberapa waktu lalu.

Setelah menyatakan kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno kemudian mengangkat Mr Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil, yang waktu itu disebut Wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia Sunda Kecil dengan wilyah administrasi Bali, NTB, dan NTT yang berkedudukan di Kota Singaraja. Mandat sebagai Gubernur Sunda Kecil itu dipegang Mr Pudja pada 23 Agustus 1945. Kedatanga Mr Pudja ke Bali sekaligus membawa berita kepastian Kemerdekaan Indonesia.

Sebagai veteran pejuang, Mr Pudja juga pernah ditangkap tentara NICA dalam masa revolusi fisik (mempertahankan kemerdekaan periode 1945-1950). Bahkan, Mr Pudja mengalami penyiksaan oleh tentara NICA ketika ditangkap dan dipenjarakan bersama sejumlah tokoh lainnya.

Sebelum tertangkap, Mr Pudja dikejar-kejar tentara NICA---yang dibonceng penjajah Belanda pasca kemerdekaan---hingga lari kesana kemari. “Waduh waktu itu Bapak (Mr Pudja) sampai lari ke tengah tegalan di belakang rumah, karena dikejar-kejar tentara NICA,” kenang putri ketiga almarhum Mr Pudja, I Gusti Ayu Nyoman Arinti. Mr Pudja sendiri wafat pada 4 Mei 1977 di Jakarta, karena sakit. * in

Komentar