Awal-awal Menegangkan, Kini Jadi Biasa
Perjuangan Menguburkan Jenazah Covid-19 di TPU Mumbul
MANGUPURA, NusaBali
Saat awal wabah global Covid-19 mencuat di Bali, Maret 2020, tentu muncul cerita-cerita unik dari sisi pemakaman jenazah yang terkonfirmasi positif Covid-19. Salah satunya, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Mumbul, Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung.
Pernah ada anggota keluarga terpaksa berlarian meninggalkan peti jenazah yang sudah berada di bibir liang lahat. Kondisi itu akibat terlambatnya informasi yang diberikan pihak medis kepada keluarga itu, terkait kerabat mereka meninggal karena Covid-19. Humas Yayasan Purna Bakti Provinsi Bali Jufriadi ER Lakapu,49, menceritakan pada awal-awal Covid-19, pengelola TPU Mumbul, sempat mengalami dilema dalam menerima jenazah yang terkonfirmasi Covid-19. Pihak managemen TPU di bawah naungan Yayasan Purna Bakti ini berkoordinasi dengan sejumlah pihak, termasuk dari warga sekitar dalam memutuskannya. Dari hasil kesepakatan bersama dan dikuatkan dengan surat edaran Gubernur Bali, diputuskan TPU ini bisa menerima penguburan jenazah Covid-19.
“Awalnya dilema. Kami sampai minta masukan dari banyak pihak, termasuk bagaimana penanganan kalau ada jenazah terkonfirmasi Covid-19. Bagaimana standar kami di lapangan, bagaimana protokol dan lainnya,” ungkap Jufriadi, belum lama ini.
Setelah memutuskan untuk menerima jenazah Covid-19, pihaknya pun mempersiapkan sejumlah alat pelindung diri (APD) yang dianjurkan oleh pemerintah. Protokol juga yang harus dijalankan saat jenazah Covid-19 yang hendak dikuburkan. Namun, di saat persiapan sudah matang, hal tak terduga jutsru terjadi.
Jelas dia, pernah terjadi kejadian nyeleneh. Ada satu jenazah yang sebelumnya pasien salah satu rumah sakit, diangkut keluarga ke TPU ini. Pihak keluarga meyakini bahwa jenazah itu sebelumnya sakit biasa, sehingga tidak ada protap penguburan sebagaimana Covid-19. Namun, saat jenazah ada di bibir liang lahat dan melewati proses peribadatan, secara tiba-tiba petugas medis datang ke lokasi dan membawa surat bukti jenazah tersebut terkonfirmasi Covid-19. “Maka, semua orang di lokasi penguburan itu langsung kabur dan meninggalkan jenazah. Tidak ada yang berani mendekat dan membiarkan jenazah di peti, tetap di area pemakaman,” ungkap Jufriadi yang juga sopir ambulans ini.
Jufriadi ingat betul, kejadian itu pada 17 Agustus 2020 lalu. Jenazah yang ditinggal keluarga itu merupakan jenazah pertama yang terkonfirmasi Covid-19 dan dimakamkan TPU Mumbul. Setelah kepanikan terjadi, dia berkoordinasi dengan sejumlah instansi, termasuk Satgas Covid-19 untuk penanganan selanjutnya. Dari hasil koordinasi itu, disepakati jenazah langsung disemayamkan terlebih dahulu di rumah duka di area pemakaman. “Setelah keluarga kabur semua, kami yang tangani jenazah itu. Selama 24 jam, kami awasi dengan APD lengkap. Barulah keesokan harinya kami semayamkan sesuai standar. Kemudian seluruh lokasi langsung disemprot dengan cairan disiinfektan,” beber pria yang sudah bekerja di TPU Mumbul sejak tahun 2016 ini.
Setelah pemakaman jenazah pertama terkonfirmasi Covid-19 itu, dia selalu mengkonfirmasi ke pihak medis terkait penyebab kematian yang dikuburkan di TPU itu. Hal ini, lanjut Jufriadi, sebagai salah satu upaya pencegahan penyebaran wabah global itu. Menurutnya, dengan penerapan prokes ketat, bisa mencegah penularan, utamanya bagi 4 rekannya yang berada paaling depan dalam prosesi penguburan jenazah. “Kami di sini ada lima petugas pemakam jenazah Covid-19. Kadang kami evakuasi dari rumah sakit, terkadang juga tangani pemakaman saja. Jadi, semuanya selalu lengkap dengan APD dan selalu membersihkan area pemakaman usai proses penguburan,” ungkap Jufriadi.
Selama satu setengah tahun mengubur jenazah Covid-19 di TPU Mumbul, salah seorang anggotanya pernah terpapar Covid-19. Namun, setelah menjalani berbagai penanganan oleh pihak medis, akhirnya sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa. Dia tidak memungkiri, dalam penanganan ada kelengahan yang terjadi. Salah satu contoh, saat evakuasi jenazah terkonfirmasi Covid-19 dari salah satu RS di kawasan Sanur. Saat itu, pihaknya diminta untuk evakuasi dari rumah sakit tersebut menggunakan ambulans milik Yayasan Purna Bakti. Namun, saat tiba di rumah sakit itu, tidak ada troli yang bisa mengangkut jenazah dari lantai III. Maka jenazah tanpa peti itu diangkut hingga ke lantai I, lanjut dipetikan. “Kadang saya juga takut dengan kondisi itu. Namun, karena ini tanggung jawab, kami laksanakan tugas dengan baik dan jaga keselamatan diri. Kini kami jadi terbiasa,” kata pria kelahiran Kupang, Nusa Tenggara Timur ini.7dar
Komentar