Petani Gagal Nikmati Harga Cabai
Petani di Bangli tidak bisa menikmati untung dari harga cabai yang melonjak, karena tanaman cabai mereka terserang penyakit busuk buah.
BANGLI, NusaBali
Harga cabai yang melambung tidak membawa dampak berarti bagi kalangan petani di Bangli. Di tengah lonjakan harga cabai, tidak sedikit petani di Bangli justru merugi akibat gagal panen, karena cabai yang mereka tanam terserang penyakit busuk buah. Kalangan petani menyebut cabai terserang penyakit ‘antraks’.
I Komang Agus Arya, salah seorang petani cabai di Subak Tanggahan Talangjiwa, Desa Demulih, Kecamatan Susut, mengakui, harga cabai yang dibudidayakannya, lumayan menggiurkan. Di tingkat petani, harga cabai besar sekitar Rp 10 ribu per kilogram. Namun apes, karena didera hujan beruntun, cabai mengalami busuk buah hingga berakibat gagal panen. “Cabai jadi begini,” ucapnya sembari menunjukkan kondisi tanaman cabai yang ditanamnya, Minggu (8/1). “Kami petani menyebut kena sakit antraks,” ungkap Agus Arya.
Penyakit itu ditandai bercak hitam pada buah cabai. Hanya dalam satu hingga dua hari, cabai yang terkena bercak hitam itu membusuk atau kisut. “Tidak ada ulat, namun kena virus sehingga busuk,” imbuh Agus Arya. Untuk menghindari kerugian lebih banyak, petani terpaksa panen dini. Maksudnya buah cabai yang masih hijau langsung dipetik, tanpa menunggu sampai matang (merah). Harganya tentu saja lebih murah dari cabai yang siap panen. Jika harga per kilogram cabai besar yang matang Rp 10 ribu, sedang harga buah cabai yang masih muda hanya Rp 5.000 per kg. “Asal dapat jual saja, agar sedikit balik modal,” kata Agus Arya.
Hal senada disampaikan Sang Nyoman Pariawan, petani setempat. “Harga cabai memang mahal, tetapi cabai saya mati karena hujan,” tutur Sang Nyoman Pariawan, yang budidaya cabai keriting. Karena itulah, tingginya harga cabai keriting di pasaran yang sampai tembus di atas Rp 100 ribu per kg, namun petani seperti di Subak Tanggahan Talangjiwa, tidak menikmati harga cabai yang menggiurkan tersebut.
Kondisi serupa dirasakan petani cabai di kawasan pinggiran Danau Batur Kintamani. “Karena hujan, buah tanaman cabai berkurang,” ucap Ni Nengah Licin, petani setempat. Jadi meski pun harga cabai tinggi, namun karena panen berkurang, kenaikan harga tidak otomatis meningkatkan pendapatan petani. “Di sini juga ada yang menanam cabai kecil (keriting),” ungkap Nengah Licin. Dari penuturannya, di tingkat petani harga per kilogram cabai keriting di atas Rp 55 ribu.
Kadis Pertanian Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Bangli I Wayan Sukartana, belum bisa dikonfirmasi. Ponselnya menunjukkan nada sambung ketika dihubungi. Dikonfirmasi melalui SMS, Sukartana menyatakan belum bisa memberi penjelasan, karena masih menyetir dari Buleleng. Sementara dari pantauan, beberapa petani cabai sudah ada siap-siap membongkar tanaman cabai mereka, untuk diganti dengan tanaman lain yang lebih menjanjikan. Salah satunya jenis kacang panjang. * k17
Harga cabai yang melambung tidak membawa dampak berarti bagi kalangan petani di Bangli. Di tengah lonjakan harga cabai, tidak sedikit petani di Bangli justru merugi akibat gagal panen, karena cabai yang mereka tanam terserang penyakit busuk buah. Kalangan petani menyebut cabai terserang penyakit ‘antraks’.
I Komang Agus Arya, salah seorang petani cabai di Subak Tanggahan Talangjiwa, Desa Demulih, Kecamatan Susut, mengakui, harga cabai yang dibudidayakannya, lumayan menggiurkan. Di tingkat petani, harga cabai besar sekitar Rp 10 ribu per kilogram. Namun apes, karena didera hujan beruntun, cabai mengalami busuk buah hingga berakibat gagal panen. “Cabai jadi begini,” ucapnya sembari menunjukkan kondisi tanaman cabai yang ditanamnya, Minggu (8/1). “Kami petani menyebut kena sakit antraks,” ungkap Agus Arya.
Penyakit itu ditandai bercak hitam pada buah cabai. Hanya dalam satu hingga dua hari, cabai yang terkena bercak hitam itu membusuk atau kisut. “Tidak ada ulat, namun kena virus sehingga busuk,” imbuh Agus Arya. Untuk menghindari kerugian lebih banyak, petani terpaksa panen dini. Maksudnya buah cabai yang masih hijau langsung dipetik, tanpa menunggu sampai matang (merah). Harganya tentu saja lebih murah dari cabai yang siap panen. Jika harga per kilogram cabai besar yang matang Rp 10 ribu, sedang harga buah cabai yang masih muda hanya Rp 5.000 per kg. “Asal dapat jual saja, agar sedikit balik modal,” kata Agus Arya.
Hal senada disampaikan Sang Nyoman Pariawan, petani setempat. “Harga cabai memang mahal, tetapi cabai saya mati karena hujan,” tutur Sang Nyoman Pariawan, yang budidaya cabai keriting. Karena itulah, tingginya harga cabai keriting di pasaran yang sampai tembus di atas Rp 100 ribu per kg, namun petani seperti di Subak Tanggahan Talangjiwa, tidak menikmati harga cabai yang menggiurkan tersebut.
Kondisi serupa dirasakan petani cabai di kawasan pinggiran Danau Batur Kintamani. “Karena hujan, buah tanaman cabai berkurang,” ucap Ni Nengah Licin, petani setempat. Jadi meski pun harga cabai tinggi, namun karena panen berkurang, kenaikan harga tidak otomatis meningkatkan pendapatan petani. “Di sini juga ada yang menanam cabai kecil (keriting),” ungkap Nengah Licin. Dari penuturannya, di tingkat petani harga per kilogram cabai keriting di atas Rp 55 ribu.
Kadis Pertanian Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Bangli I Wayan Sukartana, belum bisa dikonfirmasi. Ponselnya menunjukkan nada sambung ketika dihubungi. Dikonfirmasi melalui SMS, Sukartana menyatakan belum bisa memberi penjelasan, karena masih menyetir dari Buleleng. Sementara dari pantauan, beberapa petani cabai sudah ada siap-siap membongkar tanaman cabai mereka, untuk diganti dengan tanaman lain yang lebih menjanjikan. Salah satunya jenis kacang panjang. * k17
Komentar