Jangan Berlama-lama Berupacara
Lebih penting mana: berupacara, berdoa, atau bekerja? Orang Bali paham benar hal ini, mereka selalu berdoa dan melakukan ritual sebelum berkegiatan.
Sebelum berangkat kerja menjadi kuli dalam bisnis turisme misalnya, orang Bali berdoa. Dalam perjalanan menuju tempat orang piknik bermalam dan bersenang-senang seperti di Nusa Dua, Kuta, Jimbaran, Seminyak, Sanur, mereka melakukan sembah dan sujud di tempat-tempat suci di tepi jalan. Dari rumah mereka berbekal canang untuk dihaturkan di tempat-tempat keramat itu.
Penari, sekaa arja atau drama gong, menghaturkan sesaji di arena tempat mereka pentas. Mereka menghaturkan sembah dan permohonan agar pertunjukan mulus selamat dan penonton senang terhibur. Kalaupun doa sudah dilantunkan, sesaji sudah disuguhkan, terjadi juga bencana saat pentas, mereka yakin ada yang kurang. Mungkin doa yang tak lengkap atau sesaji yang tidak beres.
Di Bali tak ada kerja tanpa doa. Berdoa sebelum bekerja dilakoni oleh mereka yang miskin papa sampai yang kaya raya, oleh mereka yang berpendidikan rendah sampai tinggi. Semua doa-doa itu digelar tidak semata doa, selalu disertai upacara. Sekecil apa pun doa dilantunkan, sebisa mungkin harus disertai sarana upacara. Itu sebabnya dagang canang, penjual sesaji, bisa hidup, berkembang dan kaya. Siapa saja yang hendak berdoa, setidaknya menggunakan sesaji, di mana pun mereka berdoa. Mancing di sungai saja menghaturkan canang dulu.
Berdoa di rumah saban hari disertai canang. Hendak berangkat ke tempat kerja berbekal canang. Belakangan bahkan kehadiran canang itu sebagai pertanda ada orang berdoa. Ini yang membedakan orang Bali dengan bukan Bali. Maka menjadi tidak lazim, untuk tidak mengatakan ganjil, jika ada orang berdoa tanpa sarana. Kalau orang Bali, berdoa itu harus pakai sesaji. Seakan doa tanpa sesaji tidak sah.
Maka wajar muncul pendapat, membatasi orang Bali melakukan kegiatan upacara itu bisa berarti mengurangi mereka untuk berdoa. Jika ada yang berkomentar dan berharap, “Tolong, jangan melakukan upacara keagamaan berlama-lama,” itu bisa dianggap permintaan agar orang Bali mengurangi berdoa, atau berdoa cepat-cepat saja. Memangnya ada doa buru-buru?
Tentu tidak gampang mengajak orang Bali meringkas doa, atau memperpendek upacara keagamaan, padahal banyak yang mengeluh sering kali pendeta melantunkan mantra begitu lama, panjang-panjang, sampai krama yang hadir mengantuk, lama banget upacara tak kunjung usai. Beberapa orang mengeluh kalau muspa di pura kahyangan jagat ini atau pura itu, pendeta atau pemangku yang memimpin upacara mantranya lama amat. Ketika menghaturkan sembah, sampai pegal mencakupkan tangan di depan ubun-ubun. Beberapa bahkan menurunkan tangan sebelum lantunan doa dan mantra selesai.
Tapi banyak pula pendeta yang singkat padat ringkas kalau muput upakara, sehingga ia menjadi sulinggih yang disenangi. Seakan mantra yang dikumandangkan langsung ke tujuan, tidak belok sana belok sini, tidak bertele-tele. “Kalau nanti menikah pakai saja sulinggih ini (menyebut nama pedanda), beliau cepat-cepat menghaturkan mantra,” begitu saran beberapa orang kepada kerabatnya.
Kalau ditelisik, lama muput upakara para sulinggih tidak bisa persis sama. Berbeda dengan umat agama lain, yang kalau melangsungkan pernikahan misalnya, sudah jelas urutan upacaranya, tertulis di kertas, semua sama, rapi, rinci. Jika lama mengucapkan mantra diseragamkan, langsung semua orang Bali pasti geleng-geleng kepala. “Gak benar itu!” pasti begitu orang-orang berseru.
Tapi banyak orang Bali, terutama yang sudah lansia, punya pengalaman tentang upacara keagamaan yang belakangan memang terasa semakin panjang, lama, bahkan terasa alot, bukannya semakin ringkas. Dulu semasa kaum lansia ini belia, upacara keagamaan ringkas dan padat, sederhana. Sekarang banten makin banyak, hiasan-hiasan juga kian meriah, sehingga membuat upacara keagamaan tambah berdenyar-denyar, lebih gempita, kurang khusuk.
Mungkinkah lama upacara dan kumandang mantra bisa diringkas dan dipadatkan? Pertanyaan ini seakan punya kecenderungan gugatan: buat apa berlama-lama berdoa? Untuk apa berpanjang-panjang melakukan upacara? Bukankah yang terpenting adalah ketakwaan akan apa yang kita warisi?
Seseorang yang sering terlibat dalam upacara keagamaan berpendapat, tidak perlu melontarkan tuduhan kepada siapapun bahwa mereka berlama-lama berupacara.
Tidak juga perlu tidak suka pada seseorang yang doyan berlama-lama berdoa. Itu jalan hidup masing-masing. Tapi kalau memang benar-benar upacara keagamaan yang kelamaan menyebabkan kerumunan dan memperparah penyebaran wabah, nah itu baru perlu ditimbang-timbang.
Tentu bisa (dan harus ada upaya untuk itu) jika upacara keagamaan diringkas, tanpa harus memangkas mantra dan doa. Bisa kan? Agar banyak uang yang digelontorkan demi biaya sesaji bisa digunakan untuk hal-hal lain, buat ongkos sekolah anak-anak misalnya. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar