MUTIARA WEDA: Dewambara Yoga
Yan tekaning pati iringen, pingsorakena kang ring rahi dengn mingsor, dudu tungtunge ring witning gulu, ping sorakena Sang Hyang Ongkara dadi tunggal haneng witning hati. Yan kawasa denta muktakena den mukta ngke, ring jroning aww. Aww ngaran hadapang. Ya
Saat ajal tiba, turunkanlah yang ada di dahi, turunkan Sang Hyang Ongkara hingga menyatu dengan pangkal hati. Jika ini bisa dikuasai, maka kelepasan langsung diperoleh, ada di alam yang terang benderang. Namun, jika tidak mampu menguasainya, biarkanlah kembali ke atas mengikuti susumna nadhi menuju ubun-ubun. Ini adalah jalan sadasiva. Lorong yang ada di dalam hati sesungguhnya satu dengan ruang angkasa sebagaimana orang lihat. Rongga di dalam hati adalah ruang angkasa yang tanpa batas dan tanpa
SALAH satu genre dari teks Saiva Nusantara adalah kamoksan atau kalepasan. Bicara kamoksan berarti bicara kematian. Agar orang setelah meninggal mampu mencapai kelepasan, sebagian besar teks kalepasan memberikan tekniknya. Ada jalan yang bisa ditempuh sehingga orang mencapai kalepasan, terbebas dari tunimbal lahir. Tentu ada syarat agar teknik ini bisa berjalan. Pertama, mereka mahir dalam olah spiritual pada masa hidupnya. Orang yang tidak pernah menjalani sadhana spiritual, teknik yang diberikan tidak akan bekerja, karena itu masih berupa imajinasi saja. Mereka yang telah tekun di dalam sadhana dan mampu berada dalam bhavana, yakni apa yang diimajinasikan telah menjadi kenyataan, maka teknik tersebut baru bisa bekerja. Kedua, orang yang mampu menerapkan teknik yoga ini adalah hanya ketika dia sudah mengetahui kapan akan meninggal. Ini juga syarat yang berat.
Dewambara Yoga ini diperuntukkan bagi mereka yang telah melewati dua syarat di atas, yakni bhavana dan memiliki pengetahuan akan waktu kematian. Jika kedua syarat tersebut telah dilalui, maka Dewambara Yoga baru bisa dikerjakan. Teks di atas menyebut bahwa saat ajal segera tiba, maka turunkan Sang Hyang Ongkara yang ada di antara kedua alis atau di dahi sampai ke pangkal hati. Satukan Ongkara dengan pangkal hati dan temukan ruang atau rongga yang ada di sana. Jika ruang itu ketemu, maka itulah ruang kesadaran semesta, ruang Siva. Jika ruang itu bisa ditemukan di pangkal hati, tentu ia akan langsung mencapai moksa, tidak lahir kembali.
Namun, terkadang, menurut teks di atas, menyatukan ongkara dengan pangkal hati itu sulit, apalagi berkejaran dengan waktu kematian. Jika gagal menemukan ruang tersebut, maka langsung balik ke atas. Ongkara kembalikan naik ke atas melalui susumna nadhi sampai di ubun-ubun dan lepas di sana. Di atas ubun ubun adalah ruang semesta. Jika ongkara tersebut bisa mencapai ubun-ubun dan kemudian menyatu dengan ruang semesta, maka ia mencapai kalepasan. Teks di atas menyebut ruang yang ada di pangkal hati maupun ruang yang ada di atas ubun-ubun adalah sama. Hanya jalannya saja yang berbeda.
Dewambara Yoga adalah yoga bagaimana atman mampu berada pada rongga yang ada di pangkal hati atau ruang yang ada di atas ubun-ubun lewat kendaraan Sang Hyang Ongkara. Bagaimana Yoga ini bisa bekerja pada diri seseorang? Bukankah ini hanya imajinasi? Bagaimana orang bisa membawa Ongkara yang ada di dahi ke dalam pangkal jantung? Bukankah Ongkara itu sendiri adalah imajinasi pikiran atau konstruk pikiran? Inilah kesusahannya, karena seluruh penjelasannya hanya berupa imajinasi. Namun, sesuai dengan syaratnya, jika orang mampu berada dalam kondisi bhavana, yakni sebuah model imajinasi, tetapi kemudian menjadi nyata. Dalam sakti Yoga, proses bhavana ini menjadi penting sekali.
Dalam tradisi di Bali, padanan untuk bhavana ini adalah pasupati. Agar benda-benda menjadi sakral, metaksu, memiliki rohnya, maka ada namanya proses pasupati. Model bhavana itu seperti demikian. Awalnya adalah imajinasi, tetapi melalui proses yoga yang panjang, maka imajinasi tersebut menjadi hidup, menjadi kenyataan. Demikianlah Dewambara Yoga ini dikerjakan. *
I Gede Suwantana
Komentar