Antara Kewajiban Niskala dan Ancaman
Krama Mayadnya di Tengah Rajaman Covid-19
Denda dan sanksi tidak ada dalam SE. Tetapi, ke depannya ini menjadi catatan untuk pihak yang melanggar.
DENPASAR,NusaBali
Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 Jawa-Bali, menjadikan pelbagai aktivitas adat dan keagamaan di Bali terpaksa dibatasi. Tujuannya, tiada lain untuk mencegah penularan Covid-19. Namun, ada saja kelompok masyarakat ‘memaksa’ beraktivitas adat dan keagamaan hingga rentan berbuah klaster penularan pandemi.
Guna mengantisipasi kerumunan, Majelis Desa Adat Provinsi Bali dan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, telah mengeluarkan surat edaran (SE). Dengan SE ini, masyarakat harus dibatasi beraktititas baik adat dan keagamaan. Pembatasan itu untuk tidak melibatkan orang banyak. Namun, bagaimana menyiasati mayadnya di tengah pandemi kian gawat. Di lain sisi, gelar yadnya itu sudah disiapkan sejak lama karena sebagai kewajiban dalam beragama, misal ngaben, palebon, dan sebutan lain.
Petajuh Agung (Wakil Ketua) Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali I Made Wena mengatakan MDA tak pernah melarang upacara di Bali, meskipun pada masa Pandemi Covid-19. Apalagi yang sudah terlanjur direncanakan, kata dia, memang tidak bisa ditunda atau dibatalkan. "Ini tidak mempertentangkan antara tidak ada dan ada. Atau antara boleh dan tidak boleh. Poinnya dilaksanakan dengan membatasi pesertanya. Mungkin ini yang perlu dipahami dulu," jelasnya kepada NusaBali, Rabu (18/8)
Menurut Wena, umat Hindu di Bali kalau menyiapkan upacara biasanya sejak 2 - 3 bulan sebelumnya. Jelas hal ini tidak bisa ditunda, karena sudah direncanakan. "Cuman yang belum merencanakan, sebaiknya menunda dulu merancang upacara. Kan ada di Bali namanya maku agem (berjanji akan melaksanakan yadnya, Red). Kalau sudah maku agem sulit dibatalkan. Tetapi bukan berarti pesertanya harus banyak. Tolong, surat edaran dari lembaga (MDA dan PHDI Bali,Red) juga diperhatikan dan dipahami dengan seksama. Tidak ada pelarangan orang mayadnya," tegas mantan Ketua Bawaslu Bali ini.
Bagaimana dengan masyarakat yang tetap melaksanakan upacara, misalnya ngaben, walaupun sudah diminta ditunda sementara, Made Wena menegaskan, sebenarnya sudah ada poin dalam SE PHDI, bisa dilaksanakan dengan makingsan di pertiwi (dikubur) atau makingsan di gni (pembakaran jenazah, Red). Namun prosesinya tidak melibatkan orang banyak. ‘’Makingsan di gni atau makingsan di pertiwi kan tahapan upacara yang tingkatannya alit (kecil,red). Sudah ada diberikan kemudahan, tidak dilarang," ujar pria yang juga penggiat pemilu ini.
Bagaimana soal sanksi kalau tetap ada pelanggaran SE MDA dan PHDI? Jelasnya, kalau pemantauan dan pengawasan majelis di kabupaten/kota bersama desa adat yang bertindak, maka bisa dilakukan pembinaan terhadap desa adat setempat. Denda dan sanksi tidak ada dalam SE. Tetapi, ke depannya hal ini menjadi catatan untuk pihak yang melanggar di desa adat. Mereka pasti juga akan berkepentingan dengan majelis dan pemerintah. Disitu masyarakat adat sering menggunakan konsep desa mawacara sebagai alasan. Tetapi, mereka juga harus ingat Bali mawacara, dimana hal itu menjadi kewenangan MDA. ‘’Contohnya, ketika satu nanti ada persoalan di desa adat, mereka perlu bantuan MDA, disanalah kami punya kesempatan untuk nglemekin (beri nasihat, Red). Jadi semua harus saling menghormati, tidak mementingkan kepentingan sendiri," ujar Wena.
Kata Made Wena, MDA memberikan peringatan supaya krama tidak hanya bisa menuntut saja. Ketika untuk kepentingan Bali, seperti adanya upaya pencegahan penularan wabah di masa pandemi Covid-19, harus juga bersama-sama membantu pemerintah. Jangan cuek karena merasa punya aturan atau adanya desa mawacara. ‘’Kalau hukum dan sanksi sekala dalam SE, memang tidak ada. Yang ada itu sanksi niskala, nanti," ujar pria asal Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Badung ini.
Menurut Made Wena, secara sekala aturan sudah diterapkan pemerintah maka harus diikuti. Supaya yadnya yang dilaksanakan menjadi Satwika Yadnya (yadnya yang ikhlas sesuai ajaran agama Hindu, Red). "Jangan terus kaku dengan mula keto (memang begitu, Red). Susah kalau masih berpikiran mula keto. Ini ujian dan cobaan oleh Ida Sanghyang Widhi Wasa, bahwa kita tidak hanya mayadnya berdasar momo (nafsu, Red). Mayadnya supaya kelihatan wah dan heboh, janganlah begitu. Disini juga kita diuji untuk menerapkan Yadnya yang Satwika atau keikhlasan. Tidak Rajasika Yadnya yang tujuannya pamer, atau Tamasika Yadnya, untuk mendapatkan keuntungan," tegas Wena. Jelas dia, jadi dilematis antara kewajiban agama dan risiko kesehatan jika berupcara saat pandemi. *suk
Guna mengantisipasi kerumunan, Majelis Desa Adat Provinsi Bali dan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, telah mengeluarkan surat edaran (SE). Dengan SE ini, masyarakat harus dibatasi beraktititas baik adat dan keagamaan. Pembatasan itu untuk tidak melibatkan orang banyak. Namun, bagaimana menyiasati mayadnya di tengah pandemi kian gawat. Di lain sisi, gelar yadnya itu sudah disiapkan sejak lama karena sebagai kewajiban dalam beragama, misal ngaben, palebon, dan sebutan lain.
Petajuh Agung (Wakil Ketua) Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali I Made Wena mengatakan MDA tak pernah melarang upacara di Bali, meskipun pada masa Pandemi Covid-19. Apalagi yang sudah terlanjur direncanakan, kata dia, memang tidak bisa ditunda atau dibatalkan. "Ini tidak mempertentangkan antara tidak ada dan ada. Atau antara boleh dan tidak boleh. Poinnya dilaksanakan dengan membatasi pesertanya. Mungkin ini yang perlu dipahami dulu," jelasnya kepada NusaBali, Rabu (18/8)
Menurut Wena, umat Hindu di Bali kalau menyiapkan upacara biasanya sejak 2 - 3 bulan sebelumnya. Jelas hal ini tidak bisa ditunda, karena sudah direncanakan. "Cuman yang belum merencanakan, sebaiknya menunda dulu merancang upacara. Kan ada di Bali namanya maku agem (berjanji akan melaksanakan yadnya, Red). Kalau sudah maku agem sulit dibatalkan. Tetapi bukan berarti pesertanya harus banyak. Tolong, surat edaran dari lembaga (MDA dan PHDI Bali,Red) juga diperhatikan dan dipahami dengan seksama. Tidak ada pelarangan orang mayadnya," tegas mantan Ketua Bawaslu Bali ini.
Bagaimana dengan masyarakat yang tetap melaksanakan upacara, misalnya ngaben, walaupun sudah diminta ditunda sementara, Made Wena menegaskan, sebenarnya sudah ada poin dalam SE PHDI, bisa dilaksanakan dengan makingsan di pertiwi (dikubur) atau makingsan di gni (pembakaran jenazah, Red). Namun prosesinya tidak melibatkan orang banyak. ‘’Makingsan di gni atau makingsan di pertiwi kan tahapan upacara yang tingkatannya alit (kecil,red). Sudah ada diberikan kemudahan, tidak dilarang," ujar pria yang juga penggiat pemilu ini.
Bagaimana soal sanksi kalau tetap ada pelanggaran SE MDA dan PHDI? Jelasnya, kalau pemantauan dan pengawasan majelis di kabupaten/kota bersama desa adat yang bertindak, maka bisa dilakukan pembinaan terhadap desa adat setempat. Denda dan sanksi tidak ada dalam SE. Tetapi, ke depannya hal ini menjadi catatan untuk pihak yang melanggar di desa adat. Mereka pasti juga akan berkepentingan dengan majelis dan pemerintah. Disitu masyarakat adat sering menggunakan konsep desa mawacara sebagai alasan. Tetapi, mereka juga harus ingat Bali mawacara, dimana hal itu menjadi kewenangan MDA. ‘’Contohnya, ketika satu nanti ada persoalan di desa adat, mereka perlu bantuan MDA, disanalah kami punya kesempatan untuk nglemekin (beri nasihat, Red). Jadi semua harus saling menghormati, tidak mementingkan kepentingan sendiri," ujar Wena.
Kata Made Wena, MDA memberikan peringatan supaya krama tidak hanya bisa menuntut saja. Ketika untuk kepentingan Bali, seperti adanya upaya pencegahan penularan wabah di masa pandemi Covid-19, harus juga bersama-sama membantu pemerintah. Jangan cuek karena merasa punya aturan atau adanya desa mawacara. ‘’Kalau hukum dan sanksi sekala dalam SE, memang tidak ada. Yang ada itu sanksi niskala, nanti," ujar pria asal Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Badung ini.
Menurut Made Wena, secara sekala aturan sudah diterapkan pemerintah maka harus diikuti. Supaya yadnya yang dilaksanakan menjadi Satwika Yadnya (yadnya yang ikhlas sesuai ajaran agama Hindu, Red). "Jangan terus kaku dengan mula keto (memang begitu, Red). Susah kalau masih berpikiran mula keto. Ini ujian dan cobaan oleh Ida Sanghyang Widhi Wasa, bahwa kita tidak hanya mayadnya berdasar momo (nafsu, Red). Mayadnya supaya kelihatan wah dan heboh, janganlah begitu. Disini juga kita diuji untuk menerapkan Yadnya yang Satwika atau keikhlasan. Tidak Rajasika Yadnya yang tujuannya pamer, atau Tamasika Yadnya, untuk mendapatkan keuntungan," tegas Wena. Jelas dia, jadi dilematis antara kewajiban agama dan risiko kesehatan jika berupcara saat pandemi. *suk
1
Komentar