Tolak Bayar ke BUPDA, Krama Liligundi Bongkar Meteran Air
Buntut Kruh Perarem Syarat Bendesa
AMLAPURA, NusaBali
Krama Desa Adat Liligundi, Desa Bebandem, Kecamatan Bebandem, Karangasem mulai membuktikan ancaman yang dituangkan dalam 12 butir pernyataan sebagai bentuk protes atas ditetapkannya perarem soal syarat calon bendesa adat.
Mereka mulai membongkar meteran air ‘Manik Toya Anyar’ yang dikelola Badan Utsawa Padruen Desa Adat (BUPDA), di rumah masing-masing, Minggu (22/8). Pembongkaran meteran air di rumah-rumah masing-masing ini sebagai bentuk menolak dapat pelayanan air bersih dari Desa Adat Liligundi. Mereka menolak bayar air yang dikelola BUPDA, karena selama ini pertanggungjawabannya dianggap tidak jelas.
Salah satu krama yang kemarin melakukan pembongkaran meteran air adalah I Komang Subakti, di rumahnya kawasan Banjar Liligundi Kaler, Desa Adat Liligundi. "Saya bongkar meteran air ini, karena tidak lagi mau dilayani Desa Adat Liligundi. Saya tetap menginginkan dapat air tanpa melalui meteran," jelas Komang Subakti, Minggu kemarin.
Menurut Komang Subakti, selama ini dia bayar air yang dikelola BUPDA sebesar Rp 75.000 per bulan. Disebutkan, air yang dijual Rp 5.000 per meter kubik itu jauh lebih mahal di bandingkan milik PT Perumda Tirta Tohlangkir Kabupaten Karangasem, yang hanya Rp 1.000 per meter kubik.
Paparan senada juga dilontarkan I Nengah Agus, krama Desa Adat Liligundi lainnya. Nengah Agus mengaku selama ini tiap bulan bayar air Rp 80.000. Sedangkan rekannya, I Gede Budiana, mengaku bayar air rata-rata Rp 70.000 per bulan.
Kini, krama pilih bongkar meteran air, sebagai bentuk akumulasi kekecewaan ke-pemimpinan Bendesa Adat Liligundi, I Ketut Alit Suardana, atas ditetapkannya perarem yang dinilai bertentangan dengan awig-awig. Salah satunya, tentang syarat calon bendesa yang mesti tamatan SMP. Padahal, dalam awig-awig Desa Adat Liligundi Pasal 29 ayat (4), pemilihan bendesa adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penunjukkan prajuru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur perarem. Dalam awig-awig diatur syarat calon bendesa harus wikan mamawos kalih nyurat aksara Bali utawi latin. Tapi, tidak disebutkan wajib berijazah minimal SMP.
Perarem Desa Adat Liligundi Nomor 05 Tahun 2020 ditetapkan melalui paruman 12 Februari 2020 di Pura Desa Liligundi. Sedangkan Majelis Desa Adat (MDA) Kabaupaten Karangasem mengeluarkan Surat Nomor 39/MDA-Kr.Asem/III/2020, per 11 Maret 2020, yang ditandatangani Bendesa Madya I Wayan Artha Dipa.
Surat MDA Kabupaten Karangasem itu isinya adalah meminta agar panitia pembentukan perarem kembali berpedoman kepada awig-awig Desa Adat Liligundi dan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019. Juga ditekankan agar menghormati hak-hak masyarakat secara baik dan benar.
Sementara, terkait protes atas penetapan perarem calon bendesa, 151 krama deklarasi untuk memboikot semua kegiatan Desa Adat Liligundi, di Bale Banjar Liligundi Kaler, Jumat (20/8) pagi. Deklarasi dikoordinasikan oleh I Komang Wenten, salah satu tokoh krama Desa Adat Lilidundi. Kelian Pecalang Desa Adat Liligundi, I Made Sukadana, juga hadir.
Ada 12 item pernyataan penolakan yang dibacakan juru bicara aksi, I Komang Wenten, dalam deklarasi boikot semua kegiatan Desa Adat Liligundi kemarin. Pertama, menolak bayar upeti pelaba pura. Kedua, menolak membayar pengopog (krama Desa Adat Liligundi yang bertempat tinggal di luar desa bayar sesabu, Red). Ketiga, menolak pembayaran penyamping. Keempat, tidak akan mencari upasaksi saat upacara pawiwahan (pernikahan).
Kelima, tidak melakukan permakluman saat hendak menguburkan jenazah jika terjadi kematian. Keenam, tidak mencari upasaksi dari prajuru adat saat menggelar upacara Panca Yadnya. Ketujuh, menolak bayar urunan. Kedelapan, menolak hadirkan teruna-teruni yang ikut Sekaa Teruna-teruni (STT).
Kesembilan, menolak hadirkan krama yang ikut sekaa gong. Kesepuluh, melakukan penyambungan langsung saluran air tanpa ada meteran. Kesebelas, menolak pembagian pipil banten (pembagian membuat banten) ketika ada piodalan. Keduabelas, menolak segala bentuk petedunan, kecuali untuk bahas isi perarem.
Sementara itu, Bendesa Adat Liligundi, I Ketut Alit Suardana, mengatakan selama ini pengelolaan air ‘Manik Toya Anyar’ dilakukan BUPDA. Dari pengelolaan air itu, rata-rata pemasukan mencapai Rp 13 juta per bulan, dengan biaya operasional Rp 8,5 juta hingga Rp 9 juta terutama untuk bayar pulsa listrik.
"Sdedangkan bulan Agustus 2021 ini, pemasukan baru mencapai Rp 1,5 juta, sedangkan pengeluaran sebesar Rp 4 juta. Untuk menyedot air sumur kan menggunakan tenaga listrik," terang Alit Suardana saat dikonfirmasi terpisah, Minggu kemarin.
Jika pengelolaan air Manik Toya Anyar terus merugi, menurut Alit Suardana, maka dengan rasa berat hati nantinya akan tutup operasional. "Namanya perusahaan, kalau merugi terus, nanti akan kami tutup," tegas Alit Suardana. *k16
Salah satu krama yang kemarin melakukan pembongkaran meteran air adalah I Komang Subakti, di rumahnya kawasan Banjar Liligundi Kaler, Desa Adat Liligundi. "Saya bongkar meteran air ini, karena tidak lagi mau dilayani Desa Adat Liligundi. Saya tetap menginginkan dapat air tanpa melalui meteran," jelas Komang Subakti, Minggu kemarin.
Menurut Komang Subakti, selama ini dia bayar air yang dikelola BUPDA sebesar Rp 75.000 per bulan. Disebutkan, air yang dijual Rp 5.000 per meter kubik itu jauh lebih mahal di bandingkan milik PT Perumda Tirta Tohlangkir Kabupaten Karangasem, yang hanya Rp 1.000 per meter kubik.
Paparan senada juga dilontarkan I Nengah Agus, krama Desa Adat Liligundi lainnya. Nengah Agus mengaku selama ini tiap bulan bayar air Rp 80.000. Sedangkan rekannya, I Gede Budiana, mengaku bayar air rata-rata Rp 70.000 per bulan.
Kini, krama pilih bongkar meteran air, sebagai bentuk akumulasi kekecewaan ke-pemimpinan Bendesa Adat Liligundi, I Ketut Alit Suardana, atas ditetapkannya perarem yang dinilai bertentangan dengan awig-awig. Salah satunya, tentang syarat calon bendesa yang mesti tamatan SMP. Padahal, dalam awig-awig Desa Adat Liligundi Pasal 29 ayat (4), pemilihan bendesa adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penunjukkan prajuru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur perarem. Dalam awig-awig diatur syarat calon bendesa harus wikan mamawos kalih nyurat aksara Bali utawi latin. Tapi, tidak disebutkan wajib berijazah minimal SMP.
Perarem Desa Adat Liligundi Nomor 05 Tahun 2020 ditetapkan melalui paruman 12 Februari 2020 di Pura Desa Liligundi. Sedangkan Majelis Desa Adat (MDA) Kabaupaten Karangasem mengeluarkan Surat Nomor 39/MDA-Kr.Asem/III/2020, per 11 Maret 2020, yang ditandatangani Bendesa Madya I Wayan Artha Dipa.
Surat MDA Kabupaten Karangasem itu isinya adalah meminta agar panitia pembentukan perarem kembali berpedoman kepada awig-awig Desa Adat Liligundi dan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019. Juga ditekankan agar menghormati hak-hak masyarakat secara baik dan benar.
Sementara, terkait protes atas penetapan perarem calon bendesa, 151 krama deklarasi untuk memboikot semua kegiatan Desa Adat Liligundi, di Bale Banjar Liligundi Kaler, Jumat (20/8) pagi. Deklarasi dikoordinasikan oleh I Komang Wenten, salah satu tokoh krama Desa Adat Lilidundi. Kelian Pecalang Desa Adat Liligundi, I Made Sukadana, juga hadir.
Ada 12 item pernyataan penolakan yang dibacakan juru bicara aksi, I Komang Wenten, dalam deklarasi boikot semua kegiatan Desa Adat Liligundi kemarin. Pertama, menolak bayar upeti pelaba pura. Kedua, menolak membayar pengopog (krama Desa Adat Liligundi yang bertempat tinggal di luar desa bayar sesabu, Red). Ketiga, menolak pembayaran penyamping. Keempat, tidak akan mencari upasaksi saat upacara pawiwahan (pernikahan).
Kelima, tidak melakukan permakluman saat hendak menguburkan jenazah jika terjadi kematian. Keenam, tidak mencari upasaksi dari prajuru adat saat menggelar upacara Panca Yadnya. Ketujuh, menolak bayar urunan. Kedelapan, menolak hadirkan teruna-teruni yang ikut Sekaa Teruna-teruni (STT).
Kesembilan, menolak hadirkan krama yang ikut sekaa gong. Kesepuluh, melakukan penyambungan langsung saluran air tanpa ada meteran. Kesebelas, menolak pembagian pipil banten (pembagian membuat banten) ketika ada piodalan. Keduabelas, menolak segala bentuk petedunan, kecuali untuk bahas isi perarem.
Sementara itu, Bendesa Adat Liligundi, I Ketut Alit Suardana, mengatakan selama ini pengelolaan air ‘Manik Toya Anyar’ dilakukan BUPDA. Dari pengelolaan air itu, rata-rata pemasukan mencapai Rp 13 juta per bulan, dengan biaya operasional Rp 8,5 juta hingga Rp 9 juta terutama untuk bayar pulsa listrik.
"Sdedangkan bulan Agustus 2021 ini, pemasukan baru mencapai Rp 1,5 juta, sedangkan pengeluaran sebesar Rp 4 juta. Untuk menyedot air sumur kan menggunakan tenaga listrik," terang Alit Suardana saat dikonfirmasi terpisah, Minggu kemarin.
Jika pengelolaan air Manik Toya Anyar terus merugi, menurut Alit Suardana, maka dengan rasa berat hati nantinya akan tutup operasional. "Namanya perusahaan, kalau merugi terus, nanti akan kami tutup," tegas Alit Suardana. *k16
Komentar