Pemerintah Bentuk Badan Cyber Nasional
Kerugian kejahatan cyber perbankan rugikan negara Rp 500 miliar/tahun
JAKARTA, NusaBali
Pemerintah akan membentuk Badan Siber Nasional (BSN) untuk menangkal serangan dunia cyber. Seskab Pramono Anung menyebut draf peraturan presiden untuk lembaga ini sudah diserahkan ke Presiden Joko Widodo.
Pengamat siber dan ahli digital forensik Ruby Alamsyah berpendapat bahwa saat ini terdapat satu urgensi bagi pemerintah untuk segera membentuk BSN. Tidak hanya untuk menangkal penyebaran berita hoax, BSN juga diharapkan bisa meningkatkan keamanan teknologi informasi seiring meningkatnya serangan siber di dunia perbankan.
"Sangat urgen Indonesia mempunyai badan cyber security terutama yang bergerak di bidang perbankan. Sangat besar kerugian terkait cyber crime oleh pelaku lokal atau negara asing," ujar Ruby seperti dilansir kompas, Senin (9/1).
Ruby menjelaskan, sejak beberapa tahun belakangan, pemerintah sudah melihat adanya peningkatan serangan yang menggerus transaksi perbankan. Serangan tersebut menargetkan perusahaan-perusahaan besar, baik swasta maupun milik pemerintah.
Dia menyebut ada pihak-pihak tertentu yang berupaya membobol rekening perusahaan yang tercatat di bank-bank tertentu.
Dia mencontohkan kasus yang cukup banyak terjadi yakni ATM scamming. Pelaku masuk ke dalam sistem perbankan dan memindahkan sejumlah uang ke satu rekening tanpa bisa dideteksi oleh pihak bank. Umumnya pelaku ATM scamming berasal dari dalam dan luar negeri.
Menurut praktisi digital forensik yang tergabung dalam Tim Desk Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional Kemenko Polhukam itu, kerugian yang timbul mencapai Rp 500 miliar per tahun dari serangan tersebut.
"Kami sudah pernah bicara dengan BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), ada pihak asing yang menggunakan dan menggerus transaksi perbankan. Satu rekening bisa dibobol hingga milyaran rupiah. Kami sudah mengendusnya 1 atau 2 tahun belakangan," ucapnya.
Selain serangan terhadap dunia perbankan, Ruby juga menuturkan, fenomena perang siber (cyber war) seperti yang terjadi antara Rusia dan Amerika saat pemilu presiden beberapa waktu lalu, berpotensi terjadi di Indonesia.
Ruby menceritakan, penyebaran berita hoax yang disebut berpengaruh terhadap kemenangan Trump justru bermula dari penyebaran malware di masyarakat Amerika Serikat.
Malware tersebut awalnya mengambil data pribadi dan data perbankan secara ilegal. "Cyber war antara Rusia dan USA kami sinyalir juga terjadi di Indonesia ada laporan dari FBI dan CIA," kata Ruby.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Ruby berharap Badan Siber Nasional memiliki kewenangan yang komprehensif.Artinya, badan itu tidak sekadar menjalankan fungsi koordinasi antara badan siber yang sudah ada di beberapa Kementerian/Lembaga.
Selain itu, Badan Siber Nasional harus memiliki kewenangan memblokir, menganalisis, memonitor, dan memberi masukan kepada instansi pemerintah lainnya.
"Saya harap Basinas menjadi badan yang beranggotakan multi-stakeholder dan fokus juga pada keamanan teknologi perbankan. Fungsinya komprehensif dan koordinatif. Jika hanya untuk meredam berita hoax, menurut saya salah kaprah," tuturnya. *
Pemerintah akan membentuk Badan Siber Nasional (BSN) untuk menangkal serangan dunia cyber. Seskab Pramono Anung menyebut draf peraturan presiden untuk lembaga ini sudah diserahkan ke Presiden Joko Widodo.
Pengamat siber dan ahli digital forensik Ruby Alamsyah berpendapat bahwa saat ini terdapat satu urgensi bagi pemerintah untuk segera membentuk BSN. Tidak hanya untuk menangkal penyebaran berita hoax, BSN juga diharapkan bisa meningkatkan keamanan teknologi informasi seiring meningkatnya serangan siber di dunia perbankan.
"Sangat urgen Indonesia mempunyai badan cyber security terutama yang bergerak di bidang perbankan. Sangat besar kerugian terkait cyber crime oleh pelaku lokal atau negara asing," ujar Ruby seperti dilansir kompas, Senin (9/1).
Ruby menjelaskan, sejak beberapa tahun belakangan, pemerintah sudah melihat adanya peningkatan serangan yang menggerus transaksi perbankan. Serangan tersebut menargetkan perusahaan-perusahaan besar, baik swasta maupun milik pemerintah.
Dia menyebut ada pihak-pihak tertentu yang berupaya membobol rekening perusahaan yang tercatat di bank-bank tertentu.
Dia mencontohkan kasus yang cukup banyak terjadi yakni ATM scamming. Pelaku masuk ke dalam sistem perbankan dan memindahkan sejumlah uang ke satu rekening tanpa bisa dideteksi oleh pihak bank. Umumnya pelaku ATM scamming berasal dari dalam dan luar negeri.
Menurut praktisi digital forensik yang tergabung dalam Tim Desk Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional Kemenko Polhukam itu, kerugian yang timbul mencapai Rp 500 miliar per tahun dari serangan tersebut.
"Kami sudah pernah bicara dengan BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), ada pihak asing yang menggunakan dan menggerus transaksi perbankan. Satu rekening bisa dibobol hingga milyaran rupiah. Kami sudah mengendusnya 1 atau 2 tahun belakangan," ucapnya.
Selain serangan terhadap dunia perbankan, Ruby juga menuturkan, fenomena perang siber (cyber war) seperti yang terjadi antara Rusia dan Amerika saat pemilu presiden beberapa waktu lalu, berpotensi terjadi di Indonesia.
Ruby menceritakan, penyebaran berita hoax yang disebut berpengaruh terhadap kemenangan Trump justru bermula dari penyebaran malware di masyarakat Amerika Serikat.
Malware tersebut awalnya mengambil data pribadi dan data perbankan secara ilegal. "Cyber war antara Rusia dan USA kami sinyalir juga terjadi di Indonesia ada laporan dari FBI dan CIA," kata Ruby.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Ruby berharap Badan Siber Nasional memiliki kewenangan yang komprehensif.Artinya, badan itu tidak sekadar menjalankan fungsi koordinasi antara badan siber yang sudah ada di beberapa Kementerian/Lembaga.
Selain itu, Badan Siber Nasional harus memiliki kewenangan memblokir, menganalisis, memonitor, dan memberi masukan kepada instansi pemerintah lainnya.
"Saya harap Basinas menjadi badan yang beranggotakan multi-stakeholder dan fokus juga pada keamanan teknologi perbankan. Fungsinya komprehensif dan koordinatif. Jika hanya untuk meredam berita hoax, menurut saya salah kaprah," tuturnya. *
Komentar