Moderasi Kehidupan
Kata ‘moderasi’ laris manis terpakai dalam komunikasi, misalnya dalam beragama, berpolitik, atau bahkan pembelajaran.
Bersikap dan berperilaku moderat merupakan cara berpikir yang diterima akal dan pikiran! Segi positifnya, keterbukaan dan penerimaan mudah dimediasi, pemahaman akan kerumitan mudah dicerna, konflik terhindarkan, dan kebersamaan terjalin. Dalam era milenial, keragaman sering menghegemoni, akibatnya pemikiran modernis kadang dinafikan!
Hal yang amat sensitif adalah permasalahan agama. Di gumi Bali, konflik sering terpicu oleh kurang pemahaman tentang esensi tattwa, susila, dan acara. Dalam keragaman tradisi, krama Hindu cenderung meyakini tradisi leluhur, kelompok lain meyakini yang berbeda, sedangkan kelompok lain meyakini yang lainnya lagi! Keberagaman ini berpotensi menyiptakan variasi dalam bentuk, tetapi bukan variasi fungsi atau makna.
Krama Hindu Bali modernis memandang keberagaman tersebut sebagai logis dan kontekstual. Tetapi, bagi yang lain cenderung menyikapi hal tersebut sebagai keluar dari jalur tradisi! Di sinilah letak pentingnya moderasi beragama dengan mengedepankan sisi positif, mengendorkan sisi negatif, merengkuh keterbukaan dan kedamaian. Moderasi beragama dapat dipandang sebagai sebuah instrumen, agar krama Hindu Bali bisa keluar dari ‘kegelapan’ tri kaya parisudha! Konflik amat menggundahkan nurani, mengguncang kekerabatan, dan membusukkan pemikiran suci!
Krama Bali yang akan bertarung dalam pilkada mendatang dihimbau untuk mengedepankan kemaslahatan. Krama Bali harus didorong untuk “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, membuka diri dan berkontribusi pada kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya! Kemenangan dan peraihan kursi agar dimaknai sebagai tujuan antara, dan tujuan ultimatnya mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera dan bahagia, sakala-niskala. Bentuk sikap dan perilaku berpolitik moderat tercermin sebagai “yang menang melenggang, yang kalah menerima; yang berkuasa tidak lupa visi dan misi suci, yang kalah tidak menyiptakan kegundahan dan petaka! Singkat kata, melalui moderasi berpolitik maka yang kalah dan menang tidak menjarah krama dan gumi Bali, kesucian maupun keharmonisannya!
Bagaimana dengan moderasi dalam pembelajaran? Moderasi dalam pembelajaran menyinergikan pembelajaran luring, daring maupun guling. Penyiptaan hubungan harmonis antara peserta didik, pendidik, orangtua, dan masyarakat wajib diwujudkan. Harmonisasi hubungan antar agen pembelajaran dan pendidikan akan menyiptakan lingkungan yang damai, nyaman dan aman dari berbagai kendala dan gangguan. Salah satu prinsip dasar adalah menjaga keseimbangan, antara: tujuan dengan bahan, Juga, perlu dijaga agar pembelajaran bercorak aktif, kreatif, inovatif, kritis, kolaboratif dan komunikatif. Alexander Hendra menyebutkan, pembelajaran perlu membangun kesadaran dan budaya kreatif dalam menghadapi tantangan jaman yang berubah amat cepat.
Caranya, mungkin mengembangkan Merdeka Belajar. Ada dua pertanyaan singkat: 1) merdeka dari apa dan siapa, 2) merdeka untuk apa. Pertanyaan merdeka dari apa ditujukan pada penentuan tujuan. Apakah setiap sekolah bisa dan mampukah merumuskan tujuan? Kalaupun tidak mampu merumuskan sendiri, dapatkah mencari cara atau jalan untuk mencapai tujuan secara produktif? Sedangkan ‘merdeka dari siapa’ bermakna bebas dari perencanaan terpusat. Misalnya, kurikulum yang dirancang oleh Pusat. Ini terjadi mungkin karena alasan standarisasi atau ketidak-mampuan daerah dan lainnya.
Merdeka untuk apa bertanya tentang kedaulatan. Secara filosofis, kemerdekaan merupakan hak azasi manusia. Kalau tidak merdeka, maka hak manusia dibelenggu. Demikian juga hal dengan pembelajaran. Kalau aspek pembelajaran dikekang apa mungkin terjadi interaksi multi-arah? Apa mungkin terjadi demokratisasi dalam pembelajaran? Apa mungkin terjadi kolaborasi produktif? Dan, apa mungkin berpikir kritis dapat dihadirkan dalam pembelajaran? Jadi, belajarlah dulu tentang kemerdekaan tersebut sebelum merdeka belajar! Mendikbud RI, Nadiem Anwar Makarim menyampaikan kebijakan demikian yang dikenal ‘Merdeka Belajar’. Semoga. *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.
1
Komentar