Pinjol Ilegal Kian Meresahkan
Soroti literasi fintech masih rendah, YLKI ingatkan masyarakat hati-hati
JAKARTA, NusaBali
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati ketika mengakses teknologi finansial atau fintech. Maraknya praktik pinjaman online (pinjol) ilegal yang makin meresahkan belakangan ini, menurut Tulus, tak lepas dari kegagalan pemerintah mengantisipasi perkembangan pesat ekonomi digital tapi di saat yang sama literasi digital masyarakat masih rendah.
Akibatnya, kata Tulus, tak sedikit korban pinjol terbelit utang yang sangat besar nilainya. Masyarakat yang tidak melek aturan fintech bisa mudah tergoda dengan sejumlah penawaran dan kemudahan oleh pinjol ilegal tanpa memperhatikan risiko yang bisa muncul di kemudian hari.
Padahal, konsumen yang bertransaksi digital lewat fintech ataupun e-commerce, telah secara sadar memberikan sejumlah data, yang bisa jadi di antaranya adalah data pribadi.
"Ini efeknya tidak main-main," kata Tulus dalam diskusi yang digelar virtual, Jumat seperti dilansir Tempo. Dari laporan ke YLKI selama ini, menurut Tulus, banyak temuan bahwa kebanyakan masyarakat tidak membaca syarat dan ketentuan yang berlaku dengan teliti. "Sehingga terjebak berbagai aturan yang terjadi di kemudian hari, yang sangat merugikan dirinya," ucapnya.
Tulus menjelaskan, rendahnya literasi yang kemudian membuat masyarakat gampang tergoda terhadap penawaran pinjaman dengan syarat mudah dan tanpa jaminan. Masyarakat juga tidak sadar saat bertransaksi pinjol bahwa data pribadinya dijadikan jaminan.
Selama tiga tahun terakhir, kata Tulus, data pengaduan di YLKI didominasi oleh masalah jasa keuangan, khususnya masalah pinjaman online. Sebanyak 70 persen dari pengaduan terkait pinjol merupakan pengaduan atas pinjol ilegal, sisanya merupakan pengaduan atas pinjol legal yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut Tulus, pemberantasan pinjol ilegal harus dilakukan secara masif dan sinergis antara Satgas Waspada Investasi, Kepolisian, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Literasi digital ekonomi masyarakat juga menjadi kunci yang harus terus didorong selaras dengan masifnya laju perkembangan digital ekonomi.
"Poinnya literasi yang jadi kata kunci. Masyarakat kita ketika dibombardir dengan digital ekonomi, sebenarnya belum siap. Pemerintah juga lupa atau kurang aware terhadap proses perlindungan konsumen. Pinjol ini memang di OJK sudah banyak aturan, tapi apakah cukup, ini yang belum menjawab persoalan," kata Tulus.
YLKI juga mendorong adanya Undang-Undang yang mengatur perlindungan data pribadi untuk melindungi konsumen dari dampak negatif digital ekonomi. Tulus menilai belum adanya Undang-Undang terkait data pribadi menjadi ironi di tengah upaya pemerintah yang membuka lebar pengembangan digital ekonomi yang menggunakan basis data pribadi.
Sementara tu, Ketua Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam L. Tobing menyatakan, per Juli 2021, pihaknya telah menghentikan 3.365 entitas pinjol ilegal. Dalam menawarkan pinjaman, pelaku pinjol ilegal bisanya memberlakukan suku bunga tinggi, fee besar, denda tidak terbatas, hingga meneror dan mengintimidasi peminjam yang belum membayar utangnya.
Tongam menyebutkan syarat pemberian pinjaman oleh pinjol ilegal yang sangat mudah seperti fotokopi KTP dan foto diri sering kali menjadi pemikat masyarakat. "Yang paling mengerikan mereka selalu meminta masyarakat peminjam untuk mengizinkan akses ke semua data dan kontak HP. Ini malapetakanya di sini. Oleh karena itu, masyarakat harus hati-hati, jangan sekali-sekali memberikan izin ini," katanya.
OJK dan Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan patroli siber dan melakukan pemblokiran aplikasi secara masif terhadap pinjol ilegal, tetapi hingga saat ini masih marak. Tongam juga mengingatkan agar masyarakat untuk memahami semua persyaratan dan perjanjian yang disepakati ketika melakukan pinjaman melalui P2P lending. *
Akibatnya, kata Tulus, tak sedikit korban pinjol terbelit utang yang sangat besar nilainya. Masyarakat yang tidak melek aturan fintech bisa mudah tergoda dengan sejumlah penawaran dan kemudahan oleh pinjol ilegal tanpa memperhatikan risiko yang bisa muncul di kemudian hari.
Padahal, konsumen yang bertransaksi digital lewat fintech ataupun e-commerce, telah secara sadar memberikan sejumlah data, yang bisa jadi di antaranya adalah data pribadi.
"Ini efeknya tidak main-main," kata Tulus dalam diskusi yang digelar virtual, Jumat seperti dilansir Tempo. Dari laporan ke YLKI selama ini, menurut Tulus, banyak temuan bahwa kebanyakan masyarakat tidak membaca syarat dan ketentuan yang berlaku dengan teliti. "Sehingga terjebak berbagai aturan yang terjadi di kemudian hari, yang sangat merugikan dirinya," ucapnya.
Tulus menjelaskan, rendahnya literasi yang kemudian membuat masyarakat gampang tergoda terhadap penawaran pinjaman dengan syarat mudah dan tanpa jaminan. Masyarakat juga tidak sadar saat bertransaksi pinjol bahwa data pribadinya dijadikan jaminan.
Selama tiga tahun terakhir, kata Tulus, data pengaduan di YLKI didominasi oleh masalah jasa keuangan, khususnya masalah pinjaman online. Sebanyak 70 persen dari pengaduan terkait pinjol merupakan pengaduan atas pinjol ilegal, sisanya merupakan pengaduan atas pinjol legal yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut Tulus, pemberantasan pinjol ilegal harus dilakukan secara masif dan sinergis antara Satgas Waspada Investasi, Kepolisian, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Literasi digital ekonomi masyarakat juga menjadi kunci yang harus terus didorong selaras dengan masifnya laju perkembangan digital ekonomi.
"Poinnya literasi yang jadi kata kunci. Masyarakat kita ketika dibombardir dengan digital ekonomi, sebenarnya belum siap. Pemerintah juga lupa atau kurang aware terhadap proses perlindungan konsumen. Pinjol ini memang di OJK sudah banyak aturan, tapi apakah cukup, ini yang belum menjawab persoalan," kata Tulus.
YLKI juga mendorong adanya Undang-Undang yang mengatur perlindungan data pribadi untuk melindungi konsumen dari dampak negatif digital ekonomi. Tulus menilai belum adanya Undang-Undang terkait data pribadi menjadi ironi di tengah upaya pemerintah yang membuka lebar pengembangan digital ekonomi yang menggunakan basis data pribadi.
Sementara tu, Ketua Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam L. Tobing menyatakan, per Juli 2021, pihaknya telah menghentikan 3.365 entitas pinjol ilegal. Dalam menawarkan pinjaman, pelaku pinjol ilegal bisanya memberlakukan suku bunga tinggi, fee besar, denda tidak terbatas, hingga meneror dan mengintimidasi peminjam yang belum membayar utangnya.
Tongam menyebutkan syarat pemberian pinjaman oleh pinjol ilegal yang sangat mudah seperti fotokopi KTP dan foto diri sering kali menjadi pemikat masyarakat. "Yang paling mengerikan mereka selalu meminta masyarakat peminjam untuk mengizinkan akses ke semua data dan kontak HP. Ini malapetakanya di sini. Oleh karena itu, masyarakat harus hati-hati, jangan sekali-sekali memberikan izin ini," katanya.
OJK dan Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan patroli siber dan melakukan pemblokiran aplikasi secara masif terhadap pinjol ilegal, tetapi hingga saat ini masih marak. Tongam juga mengingatkan agar masyarakat untuk memahami semua persyaratan dan perjanjian yang disepakati ketika melakukan pinjaman melalui P2P lending. *
1
Komentar