200 Pedagang di Pantai Kuta Mulai Berjualan
Desa Adat Kuta Sediakan 400 Kuota Saja Selama Masa Uji Coba
Pedagang yang boleh berjualan di Pantai Kuta merupakan warga asli Kuta. Selain itu juga wajib memiliki sertifikat vaksinasi lengkap dan menggunakan aplikasi PeduliLindungi.
MANGUPURA, NusaBali
Para pedagang di Pantai Kuta tampak antusias sejak pantai kembali dibuka untuk umum. Meski demikian, belum semua pedagang beroperasi. Dari catatan Desa Adat Kuta dari 400 kuota yang disediakan, baru sekitar 200 pedagang yang mulai beroprasi.
“Pedagang yang sudah membuka lapak di pantai baru sekitar 200 orang. Hal ini dikarenakan belum adanya pergerakan signifikan dari wisatawan yang berkunjung,” kata Bendesa Adat Kuta I Wayan Wasista, Jumat (10/9).
Wasista mengatakan, sejak Pantai Kuta mulai diujicoba, berbagai upaya dilakukan mengantisipasi berbagai kemungkinan termasuk kerumunan. Untuk itu, Desa Adat Kuta membatasi kuota pedagang yang berjualan. Jika sebelum pandemi, ada sekitar 1.000 pedagang yang berjualan di Pantai Kuta. Namun, saat ini hanya diberikan kuota 400 pedagang saja. “Kami khawatir dengan pembukaan akses ini menimbulkan kerumuman. Makanya, kami benar-benar batasi dan seleksi bagi pedagang yang berjualan,” tegas Wasista.
Saat ini dibikin aturan untuk pedagang yang berjualan di Pantai Kuta. Salah satunya merupakan warga asli Kuta yang menggantungkan hidupnya dari jualan di pantai. Selain itu, juga wajib memiliki sertifikat vaksinasi lengkap dan menggunakan aplikasi PeduliLindungi. Dengan demikian, pergerakan pedagang bisa dipantau. “Kalau yang belum lengkap atau belum memiliki sertifikat vaksinasi, tentu kita tidak izinkan. Bagi mereka yang sudah lengkap saja dan kuotanya hanya 400 pedagang,” beber Wasista.
Meski sudah menyediakan kuota 400 pedagang, Wasista tidak memungkiri baru ada sekitar 200 pedagang yang beroperasi di sepanjang Pantai Kuta yang memiliki bentangan kurang lebih 4 kilometer. Hal ini karena kondisi Pantai Kuta masih sepih pengunjung.
“Kondisinya memang sudah dibuka. Tapi, toh saat dibuka pengunjung juga belum terlalu banyak. Inilah yang kemungkinan besar banyak pedagang memilih untuk belum buka lapak,” kata Wasista.
Sementara, salah seorang pedagang Ni Nengah Asi, 45, mengaku membuka lapak dagangan di Pantai Kuta, karena sudah lama tidak jualan di pantai, sehingga saat ada pembukaan objek wisata, dirinya dan beberapa rekannya langsung berkoordinasi dengan Desa Adat Kuta untuk mulai berjualan. Meski sudah berjualan selama dua hari, belum terlalu banyak wisatawan yang datang dan berbelanja. “Belum terlalu ramai. Kami hanya buka saja. Ya, siapa tahu ada wisatawan yang datang dan berbelanja,” katanya.
Hal sedana juga disampaikan Erika, pedagang lainnya. Wanita yang menyediakan jasa pijat di Pantai Kuta itu terpaksa harus berjalan dari barat (perbatasan Legian) hingga ke selatan (Centro) untuk mencari tamu dan menawarkan jasa pijat. Namun, selama dua hari ini, tidak ada tamu yang menggunakan jasanya. Bahkan, saat dirinya menurunkan harga dari Rp 100.000 ke Rp 20.000, tetap tidak ada tamu. “Sudah cari dari ujung ke ujung dan turun harga juga. Tapi masih belum dapat. Semua wisatawan yang ada baru domestik semua,” katanya. *dar
“Pedagang yang sudah membuka lapak di pantai baru sekitar 200 orang. Hal ini dikarenakan belum adanya pergerakan signifikan dari wisatawan yang berkunjung,” kata Bendesa Adat Kuta I Wayan Wasista, Jumat (10/9).
Wasista mengatakan, sejak Pantai Kuta mulai diujicoba, berbagai upaya dilakukan mengantisipasi berbagai kemungkinan termasuk kerumunan. Untuk itu, Desa Adat Kuta membatasi kuota pedagang yang berjualan. Jika sebelum pandemi, ada sekitar 1.000 pedagang yang berjualan di Pantai Kuta. Namun, saat ini hanya diberikan kuota 400 pedagang saja. “Kami khawatir dengan pembukaan akses ini menimbulkan kerumuman. Makanya, kami benar-benar batasi dan seleksi bagi pedagang yang berjualan,” tegas Wasista.
Saat ini dibikin aturan untuk pedagang yang berjualan di Pantai Kuta. Salah satunya merupakan warga asli Kuta yang menggantungkan hidupnya dari jualan di pantai. Selain itu, juga wajib memiliki sertifikat vaksinasi lengkap dan menggunakan aplikasi PeduliLindungi. Dengan demikian, pergerakan pedagang bisa dipantau. “Kalau yang belum lengkap atau belum memiliki sertifikat vaksinasi, tentu kita tidak izinkan. Bagi mereka yang sudah lengkap saja dan kuotanya hanya 400 pedagang,” beber Wasista.
Meski sudah menyediakan kuota 400 pedagang, Wasista tidak memungkiri baru ada sekitar 200 pedagang yang beroperasi di sepanjang Pantai Kuta yang memiliki bentangan kurang lebih 4 kilometer. Hal ini karena kondisi Pantai Kuta masih sepih pengunjung.
“Kondisinya memang sudah dibuka. Tapi, toh saat dibuka pengunjung juga belum terlalu banyak. Inilah yang kemungkinan besar banyak pedagang memilih untuk belum buka lapak,” kata Wasista.
Sementara, salah seorang pedagang Ni Nengah Asi, 45, mengaku membuka lapak dagangan di Pantai Kuta, karena sudah lama tidak jualan di pantai, sehingga saat ada pembukaan objek wisata, dirinya dan beberapa rekannya langsung berkoordinasi dengan Desa Adat Kuta untuk mulai berjualan. Meski sudah berjualan selama dua hari, belum terlalu banyak wisatawan yang datang dan berbelanja. “Belum terlalu ramai. Kami hanya buka saja. Ya, siapa tahu ada wisatawan yang datang dan berbelanja,” katanya.
Hal sedana juga disampaikan Erika, pedagang lainnya. Wanita yang menyediakan jasa pijat di Pantai Kuta itu terpaksa harus berjalan dari barat (perbatasan Legian) hingga ke selatan (Centro) untuk mencari tamu dan menawarkan jasa pijat. Namun, selama dua hari ini, tidak ada tamu yang menggunakan jasanya. Bahkan, saat dirinya menurunkan harga dari Rp 100.000 ke Rp 20.000, tetap tidak ada tamu. “Sudah cari dari ujung ke ujung dan turun harga juga. Tapi masih belum dapat. Semua wisatawan yang ada baru domestik semua,” katanya. *dar
1
Komentar