Tumpek Landep, Hari Pemujaan Sang Hyang Pasupati Pemberi Anugerah Ketajaman Pikiran Umat Manusia
SEMARAPURA, NusaBali.com – Tumpek Landep yang jatuh pada Saniscara Kliwon Wuku Landep, Sabtu (11/9/2021), merupakan salah satu hari suci umat Hindu di Bali, sebagai hari pemujaan Sang Hyang Pasupati yang telah memberikan anugerah berupa ketajaman pikiran kepada umat manusia di bumi.
Masyarakat Hindu di Bali, memiliki adat dan budaya tersendiri, dalam melaksanakan upacara dan ritual pada perayaan hari-hari suci yang ada. Keberadaan adat dan budaya di Bali merupakan satu kesatuan yang utuh, dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Seperti dikatakan oleh I Gede Adhinata, yang merupakan seorang pemangku Pura Pajenengan Kawan Pulasari, Desa Tegak, Klungkung. “Ritual itu diibaratkan badan kasar manusia, sedangkan adat dan budaya merupakan jiwa yang menghidupi badan kasar itu sendiri,” ujar Jero Mangku Adhinata yang juga merupakan seorang guru Agama Hindu di SMKN 1 Klungkung, Sabtu (11/9/2021).
FOTO: Jero Mangko I Gede Adhinata, Pemangku Pura Pajenengan Kawan Pulasari, Desa Tegak, Klungkung – IST
Pada pelaksanaan hari Tumpek Landep, masyarakat Hindu di Bali melaksanakan upacara khusus yang ditujukan kepada senjata tajam, seperti pisau, blakas (alat potong tradisional masyarakat Bali), dan juga keris. Jero Mangku Adhinata kemudian menjelaskan bahwa di antara keberadaan senjata tajam tersebut, keris memiliki posisi yang istimewa terutama dalam kegiatan adat dan ritual keagamaan umat Hindu di Bali.
“Keris merupakan salah satu bentuk dari Yantra, suatu simbol yang menghubungkan diri kepada yang dipuja, dalam konteks ini yakni Sang Hyang Pasupati, sebagai dewa yang memberikan taksu kepada benda-benda yang akan disakralkan,” ujarnya.
Lebih lanjut Jero Mangku Adhinata menjelaskan bahwa sinkronisasi filosofi hari Tumpek Landep dengan diri manusia, atau mikrokosmos dalam konsep agama Hindu dikenal sebagai (Bhuana Alit), sesungguhnya sebagai momentum umat Hindu di Bali untuk selalu menajamkan pikiran (swabhawa landeping idep). Dengan maksud manusia diharapkan agar selalu dapat mengontrol Tri Kaya Parisudha (tiga perilaku manusia) pikiran, perkataan dan perbuatan. “Dari buah pikiran dipertajam untuk kepentingan umat manusia, demikian pula perbuatan dan perkataan yang dapat menentramkan pikiran dan batin orang lain,” tutur Jero Mangku.
Jero Mangku Adhinata pun menjelaskan bahwa keberadaan keris di Bali sangatlah penting, hampir sebagian besar upacara keagamaan di Bali mempergunakan keris di setiap kegiatannya. Mulai dari pelaksanaan upacara Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya dan Manusia Yadnya, yang mana dalam kegiatan upacara tersebut keris menjadi salah satu sarana pelengkap dari jalanya suatu prosesi upacara keagamaan Hindu di Bali.
“Salah satu contoh upacara tersebut yakni sesuai yang tertulis pada Lontar Bhama Kertih menyebutkan, dalam upacara Dewa Yadnya (Melaspas) harus menggunakan sebilah keris Carita Lanang untuk nyukjukin bangbang (menusuk-nusukan keris ke dalam lubang tanah), ini tiada lain memiliki nilai filosofi sebagai media pemersatu dua kekuatan yakni purusa (keris) dan pradana (lubang tanah),” jelasnya.
Selain itu menurut Jero Mangku Adhinata, keberadaan keris sesuai dengan keyakinan umat Hindu di Bali, yakni memiliki fungsi sebagai suatu benda magis, yang dapat digunakan untuk melindungi diri dari gangguan kekuatan negatif, dan dianggap dapat memberikan suatu keberuntungan.
Jero Mangku Adhinata pun mengungkapkan bahwa dirinya juga turut mengoleksi keris khas Bali, dan kini dirinya telah memilik total 20 keris. “Rencananya, astungkara akan menambah koleksi keris khas Bali lagi ke depannya, demi menjaga kelestarian keris Bali itu sendiri,” tutupnya. *rma
Komentar