Koster Tuntaskan Tanah Sumberkelampok
'Total 1.613 Sertifikat Hak Milik Dibagikan, Ini Hari Bersejarah bagi Warga'
Warga Desa Sumberkelampok, Kecamatan Gerokgak berjuang selama 61 tahun sebelum sertifikat hak milik atas tanah yang ditempati dan digarapnya dibereskan Gubernur Koster
SINGARAJA, NusaBali
Gubernur Bali Wayan Koster kembali serahkan 813 bidang Sertifikat Hak Milik (SHM) tanah seluas 397,6 hektare kepada warga Desa Semberkelampok, Kecamatan Gerokgak Buleleng pada Buda Umanis Kulantir, Rabu (22/9) siang. Gubernur Koster sebut ini sebagai hari bersejarah, karena warga Desa Sumberkelampok baru mendapatkan sertifikat kepemilikan hak atas tanah garapan secara gratis sehingga memiliki kepastian masa depan, setelah berjuang selama 61 tahun.
Acara penyerahan sertifikat tanah di Wanitan Desa Sumberkelampok, Rabu kemarin, dihadiri pula Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama, Kapolda Bali Irjen Pol Putu Jayan Danu Putra, Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali I Ketut Mangku, dan pejabat terkait lainnya. Presiden Jokowi juga sempat memberikan pengarahan secara virtual.
Ini merupakan pembagian sertifikat tanah Tahap II bagi warga Desa Sumberkelampok. Sebelumnya, Gubernur Koster juga sudah menyerahkan 800 bidang sertifikat tanah di Gedung Serba Guna Desa Sumberkelampok, 18 Mei 2021 lalu. Yang diserahkan Tahap I kala itu adalah sertifikat untuk tanah pekarangan.
Gubernur Koster menyebutkan, 813 setrtifikat tanah yang dibagikan Tahap II kepada warga Ddesa Sumberkelampok, Rabu kemarin, terdiri dari 685 bidang tanah garapan dan 128 bidang tanah pekarangan. Menurut Gubernur Koster, pembagian sertifikat tanah sebagai penyelesaian sengketa agraria ini merupakan hari bersejarah dan membahagiakan bagi warga Desa Sumberkelampok. Pasalnya, warga setempat baru mendapat hak kepemilikan tanah secara gratis yang dibiayai APBN, setelah berjuang selama 61 tahun sejak 1960.
Gubernur Koster menyebutkan, warga Desa Sumberkelampok telah menempati tanahnya secara turun temurun sejak tahun 1923, saat perabasan hutan untuk menjadi kawasan perkebunan oleh Pemerintah Belanda (Eigendom Verpoonding). Namun, warga belum memiliki tanda bukti kepemilikan yang sah atas tanah yang ditempati dan digarap seluas 612,93 hektare.
Selama menggarap dan menguasai tanah tersebut, kata Gubernur Koster, warga belum memiliki bukti hak kepemilikan atas tanah yang ditempati sebagai tempat tinggal dan lahan garapan. Kondisi ini terus berlanjut, karena ketika warga mengajukan permohonan hak milik, belum ada kesepakatan dengan Pemprov Bali. Karenanya, warga Sumberkelampok tidak memiliki kepastian hukum atas tanah yang ditempati dan digarapnya.
Hal ini mengakibatkan nasib warga semakin tidak jelas, mengingat sejak tahun 1993 masa pengelolaan tanah oleh Yayasan Kebaktian Proklamasi telah berakhir. “Setelah mempelajari dokumen riwayat tanah dan melakukan pembahasan dengan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali, saya dapat mempertimbangkan permohonan warga untuk memperoleh hak atas tanah yang ditempati dan digarap melalui kebijakan Reforma Agraria,” jelas Gubernur Koster.
Menurut Koster, ada 4 faktor yang dijadikan dasar pertimbangan untuk memenuhi permohonan warga Sumberkelampok. Pertama, secara faktual warga Sumberkelampok telah menempati dan menggarap tanah secara turun temurun sejak tahun 1923. Kedua, warga Sumberkelampok telah berjuang untuk memperoleh hak atas tanah yang ditempati dan digarap sejak tahun 1960.
Ketiga, secara faktual telah terbentuk Desa Adat Sumberklampok sejak tahun 1930. Keempat, kata Koster, secara faktual telah terbentuk Desa Dinas Sumberklampok sejak tahun 1967 dan kemudian menjadi desa dinas yang definitif pada 2000.
“Kemudian, saya mengundang Kepala Desa (Perbekel Sumberkelampok I Wayan Sawitra Yasa, Red), Bandesa Adat Sumberkelampok, dan tokoh-tokoh masyarakat Desa Sumberklampok (Tim Sembilan) untuk melakukan pertemuan guna membahas komposisi pembagian tanah antara Pemprov Bali dan pihak warga,” kenang Koster.
Setelah melalui diskusi yang mendalam lewat pertemuan yang berlangsung Agustus 2019 itu, Gubernur Koster akhirnya menyepakati komposisi pembagian yang diinginkan oleh pihak warga Sumberkelampok, yakni 30:70. Dalam format ini, 30 persen lahan (seluas 154,23 hektare) untuk Pemprov Bali dan 70 persen lahan (seluas 359,87 hektare) untuk warga Desa Sumberkelampok.
Koster menegaskan, prosentase itu dihitung dari total tanah garapan saja seluas 514,10 hektare. Dengan demikian, warga Sumberkelampok memperoleh tanah dengan total luas 458,70 hektare (74,84 persen) yang terdiri dari tempat tinggal dengan luas 65,55 hektare, fasilitas umum dan jalan dengan luas 33,28 hektare, dan tanah garapan dengan luas 359,87 hektare).
“Menurut hemat saya, kebijakan ini sudah merupakan keputusan yang sangat arif dan bijaksana, dengan menunjukkan keberpihakan penuh kepada pihak warga Desa Sumberklampok,” tandas Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.
Kemudian, Koster meminta kepada BPN Provinsi Bali untuk melakukan proses pensertifikatan tanah, melalui kebijakan Reforma Agraria, agar menyelesaikan sertifikat secara cepat. “Saya melakukan komunikasi langsung dengan Bapak Menteri Agraria dan Tata Ruang RI (Sofyan Djalil, Red) mengenai proses pensertifikatan ini. Beliau sangat menyetujui kebijakan yang saya lakukan, karena sesuai dengan program Reforma Agraria yang dilaksanakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” papar Koster.
Kemudian, Kanwil BPN Provinsi Bali dengan sangat cepat menyelesaikan sertifikat tanah warga Sumberkelampok sesuai rencana, sehingga dalam Tahap II ini sudah bisa diselesaikan untuk tanah garapan sebanyak 813 bidang. Ini merupakan kelanjutan penyerahan 800 sertifikat tanah tempat tinggal yang sudah diserahkan pada tanggal 18 Mei 2001 lalu.
“Astungkara, hari ini sudah dapat diserahkan 813 sertifikat hak milik tanah garapan kepada warga Desa Sumberklampok. Jadi, semuanya sudah selesai. Apa yang diperoleh warga sudah sepatutnya disyukuri dengan penuh perasaan yang sedalam-dalamnya. Saya pun ikut berbahagia, karena dengan niat tulus dan lurus telah berhasil mengupayakan sampai akhirnya warga Desa Sumberklampok sudah memperoleh sertifikat hak milik secara gratis dibiayai penuh dari APBN. Saya berharap agar warga memanfaatkan tanah yang dimiliki dengan bijaksana,” tegas politisi senior yang sempat tiga periode duduk di Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Dapil Bali (2004-2009, 2009-2014, 2014-2018) ini.
Mewakili Peemprov Bali dan masyarakat Bali, Koster mengucapkan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada Menteri ATR dan Kakanwil BPN Provinsi Bali serta jajarannya, atas kebijakan dan kerja kerasnya dalam menyelesaikan sertifikat tanah warga Desa Sumberklampok. “Semoga kerja yang baik dan dharma bhakti ini akan memberi manfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan warga Desa Sumberkelampok serta kita semua,” katanya.
Sementara itu, Kakanwil BPN Provinsi Bali, Ketut Mangku, mengatakan Pemprov Bali dengan program Reformasi Agraria telah menyerahkan total 1.613 bidang sertifikat kepada warga Desa Sumberkelampok. Rinciannya, 800 bidang sertifikat tanah pekarangan telah diserahkan Tahap I pada 18 Mei 2021 lalu dan 813 bidang sertifikat tanah garapan yang diserahkan Tahap II per 22 September 2021.
“Kepada masyarakat Desa Sumberkelampok sudah disampaikan imbauan agar menjaga sertifikatnya. Jadi, sertifikat yang diterima jangan sampai dilepas. Sebab, dalam sertifikat sudah dicatat, peralihan hak harus atas seizin pejabat berwenang. Dalam sertifikat juga dicatat ada BPHTB terutang. Manakala ada peralihan, maka masyarakat harus selesaikan BPHTB terutang dimaksud,” pesan Ketut Mangku. *k23
Acara penyerahan sertifikat tanah di Wanitan Desa Sumberkelampok, Rabu kemarin, dihadiri pula Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama, Kapolda Bali Irjen Pol Putu Jayan Danu Putra, Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali I Ketut Mangku, dan pejabat terkait lainnya. Presiden Jokowi juga sempat memberikan pengarahan secara virtual.
Ini merupakan pembagian sertifikat tanah Tahap II bagi warga Desa Sumberkelampok. Sebelumnya, Gubernur Koster juga sudah menyerahkan 800 bidang sertifikat tanah di Gedung Serba Guna Desa Sumberkelampok, 18 Mei 2021 lalu. Yang diserahkan Tahap I kala itu adalah sertifikat untuk tanah pekarangan.
Gubernur Koster menyebutkan, 813 setrtifikat tanah yang dibagikan Tahap II kepada warga Ddesa Sumberkelampok, Rabu kemarin, terdiri dari 685 bidang tanah garapan dan 128 bidang tanah pekarangan. Menurut Gubernur Koster, pembagian sertifikat tanah sebagai penyelesaian sengketa agraria ini merupakan hari bersejarah dan membahagiakan bagi warga Desa Sumberkelampok. Pasalnya, warga setempat baru mendapat hak kepemilikan tanah secara gratis yang dibiayai APBN, setelah berjuang selama 61 tahun sejak 1960.
Gubernur Koster menyebutkan, warga Desa Sumberkelampok telah menempati tanahnya secara turun temurun sejak tahun 1923, saat perabasan hutan untuk menjadi kawasan perkebunan oleh Pemerintah Belanda (Eigendom Verpoonding). Namun, warga belum memiliki tanda bukti kepemilikan yang sah atas tanah yang ditempati dan digarap seluas 612,93 hektare.
Selama menggarap dan menguasai tanah tersebut, kata Gubernur Koster, warga belum memiliki bukti hak kepemilikan atas tanah yang ditempati sebagai tempat tinggal dan lahan garapan. Kondisi ini terus berlanjut, karena ketika warga mengajukan permohonan hak milik, belum ada kesepakatan dengan Pemprov Bali. Karenanya, warga Sumberkelampok tidak memiliki kepastian hukum atas tanah yang ditempati dan digarapnya.
Hal ini mengakibatkan nasib warga semakin tidak jelas, mengingat sejak tahun 1993 masa pengelolaan tanah oleh Yayasan Kebaktian Proklamasi telah berakhir. “Setelah mempelajari dokumen riwayat tanah dan melakukan pembahasan dengan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali, saya dapat mempertimbangkan permohonan warga untuk memperoleh hak atas tanah yang ditempati dan digarap melalui kebijakan Reforma Agraria,” jelas Gubernur Koster.
Menurut Koster, ada 4 faktor yang dijadikan dasar pertimbangan untuk memenuhi permohonan warga Sumberkelampok. Pertama, secara faktual warga Sumberkelampok telah menempati dan menggarap tanah secara turun temurun sejak tahun 1923. Kedua, warga Sumberkelampok telah berjuang untuk memperoleh hak atas tanah yang ditempati dan digarap sejak tahun 1960.
Ketiga, secara faktual telah terbentuk Desa Adat Sumberklampok sejak tahun 1930. Keempat, kata Koster, secara faktual telah terbentuk Desa Dinas Sumberklampok sejak tahun 1967 dan kemudian menjadi desa dinas yang definitif pada 2000.
“Kemudian, saya mengundang Kepala Desa (Perbekel Sumberkelampok I Wayan Sawitra Yasa, Red), Bandesa Adat Sumberkelampok, dan tokoh-tokoh masyarakat Desa Sumberklampok (Tim Sembilan) untuk melakukan pertemuan guna membahas komposisi pembagian tanah antara Pemprov Bali dan pihak warga,” kenang Koster.
Setelah melalui diskusi yang mendalam lewat pertemuan yang berlangsung Agustus 2019 itu, Gubernur Koster akhirnya menyepakati komposisi pembagian yang diinginkan oleh pihak warga Sumberkelampok, yakni 30:70. Dalam format ini, 30 persen lahan (seluas 154,23 hektare) untuk Pemprov Bali dan 70 persen lahan (seluas 359,87 hektare) untuk warga Desa Sumberkelampok.
Koster menegaskan, prosentase itu dihitung dari total tanah garapan saja seluas 514,10 hektare. Dengan demikian, warga Sumberkelampok memperoleh tanah dengan total luas 458,70 hektare (74,84 persen) yang terdiri dari tempat tinggal dengan luas 65,55 hektare, fasilitas umum dan jalan dengan luas 33,28 hektare, dan tanah garapan dengan luas 359,87 hektare).
“Menurut hemat saya, kebijakan ini sudah merupakan keputusan yang sangat arif dan bijaksana, dengan menunjukkan keberpihakan penuh kepada pihak warga Desa Sumberklampok,” tandas Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.
Kemudian, Koster meminta kepada BPN Provinsi Bali untuk melakukan proses pensertifikatan tanah, melalui kebijakan Reforma Agraria, agar menyelesaikan sertifikat secara cepat. “Saya melakukan komunikasi langsung dengan Bapak Menteri Agraria dan Tata Ruang RI (Sofyan Djalil, Red) mengenai proses pensertifikatan ini. Beliau sangat menyetujui kebijakan yang saya lakukan, karena sesuai dengan program Reforma Agraria yang dilaksanakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” papar Koster.
Kemudian, Kanwil BPN Provinsi Bali dengan sangat cepat menyelesaikan sertifikat tanah warga Sumberkelampok sesuai rencana, sehingga dalam Tahap II ini sudah bisa diselesaikan untuk tanah garapan sebanyak 813 bidang. Ini merupakan kelanjutan penyerahan 800 sertifikat tanah tempat tinggal yang sudah diserahkan pada tanggal 18 Mei 2001 lalu.
“Astungkara, hari ini sudah dapat diserahkan 813 sertifikat hak milik tanah garapan kepada warga Desa Sumberklampok. Jadi, semuanya sudah selesai. Apa yang diperoleh warga sudah sepatutnya disyukuri dengan penuh perasaan yang sedalam-dalamnya. Saya pun ikut berbahagia, karena dengan niat tulus dan lurus telah berhasil mengupayakan sampai akhirnya warga Desa Sumberklampok sudah memperoleh sertifikat hak milik secara gratis dibiayai penuh dari APBN. Saya berharap agar warga memanfaatkan tanah yang dimiliki dengan bijaksana,” tegas politisi senior yang sempat tiga periode duduk di Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Dapil Bali (2004-2009, 2009-2014, 2014-2018) ini.
Mewakili Peemprov Bali dan masyarakat Bali, Koster mengucapkan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada Menteri ATR dan Kakanwil BPN Provinsi Bali serta jajarannya, atas kebijakan dan kerja kerasnya dalam menyelesaikan sertifikat tanah warga Desa Sumberklampok. “Semoga kerja yang baik dan dharma bhakti ini akan memberi manfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan warga Desa Sumberkelampok serta kita semua,” katanya.
Sementara itu, Kakanwil BPN Provinsi Bali, Ketut Mangku, mengatakan Pemprov Bali dengan program Reformasi Agraria telah menyerahkan total 1.613 bidang sertifikat kepada warga Desa Sumberkelampok. Rinciannya, 800 bidang sertifikat tanah pekarangan telah diserahkan Tahap I pada 18 Mei 2021 lalu dan 813 bidang sertifikat tanah garapan yang diserahkan Tahap II per 22 September 2021.
“Kepada masyarakat Desa Sumberkelampok sudah disampaikan imbauan agar menjaga sertifikatnya. Jadi, sertifikat yang diterima jangan sampai dilepas. Sebab, dalam sertifikat sudah dicatat, peralihan hak harus atas seizin pejabat berwenang. Dalam sertifikat juga dicatat ada BPHTB terutang. Manakala ada peralihan, maka masyarakat harus selesaikan BPHTB terutang dimaksud,” pesan Ketut Mangku. *k23
1
Komentar