April, Harga BBM Diperhitungkan Naik
Seiring dengan perkembangan harga minyak dunia, kaji ulang harga BBM jenis premium dan solar akan dilakukan pada bulan Maret.
JAKARTA, NusaBali
Berdasarkan kecenderungan kenaikan harga minyak dunia akibat kesepakatan pemangkasan produksi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan penugasan jenis solar dan premium diperhitungkan mengalami kenaikan per April mendatang.
Namun, PT Pertamina (Persero) sebagai penyedia dan distributor menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut kepada pemerintah. ”Kita menyerahkan keputusannya kepada pemerintah. Nanti pemerintah yang akan menentukan,” ujar Wakil Direktur Utama Pertamina Ahmad Bambang dikutip okezone, Rabu (18/1).
Dilihat dari rata-rata kenaikan Mean of Plats Singapore (MOPS) yang menjadi patokan keekonomian harga BBM dari Desember 2016-Januari 2017 sebesar 6,2-6,8 persen, Pertamina sebelumnya telah menaikkan harga bahan bakar nonsubsidi/bahan bakar khusus (BBK) jenis pertamax, pertamax plus, pertalite, pertamina dex, pertamax turbo.
Namun, kenaikan harga diputuskan hanya Rp300/liter dari seharusnya mencapai Rp500/ liter dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi. Demikian pula dengan BBM bersubsidi, sambung Ahmad Bambang, keputusan soal naiktidaknya harga pasti dengan mempertimbangkan dampaknya kepada masyarakat.
Tak hanya ekonomi, dampak sosial pun menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan harga yang akan diberlakukan. Mengenai harga BBM bersubsidi, pemerintah sebelumnya memutuskan tidak ada kenaikan sampai April mendatang. Namun, seiring dengan perkembangan harga minyak dunia, kaji ulang akan dilakukan pada bulan Maret.
Saat ini harga BBM premium adalah Rp6.450/liter dan solar bersubsidi Rp5.150/liter. ”Pemerintah secara periodik terus melihat perkembangan harga minyak dunia,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan beberapa waktu lalu.
Terkait dengan itu, Direktur Pemasaran Pertamina Muhammad Iskandar mengatakan, harga BBM jenis premium semestinya ikut naik seperti halnya BBM nonsubsidi. Dengan keputusan tidak naiknya harga BBM bersubsidi pada Januari lalu, Pertamina mengalami kerugian. Meski begitu, Iskandar enggan menyebut berapa kerugian yang diderita Pertamina akibat penjualan BBM bersubsidi. Sementara, anggota Komisi VII DPR Kurtubi meminta harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan.
Harga premium dan solar bersubsidi, jangan diserahkan kepada pasar seperti BBM nonsubsidi.”Kewajiban pemerintah adalah mengantisipasi dan menjaga supaya harga BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan karena dampaknya akan berpengaruh kepada kebutuhan pokok masyarakat. Kami Komisi VII minta untuk dua jenis BBM itu tidak naik,” tandasnya.
Pakar energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menilai, pemerintah sejak dini seharusnya telah mengantisipasi potensi kenaikan harga minyak dunia, baik bagi masyarakat, keuangan Pertamina dan anggaran negara. ”Pemerintah semestinya sudah ada kalkulasi teknisnya dan melakukan kajian terhadap dampak ekonomi sosialnya. Dari harga jual saat ini, saya kira masih cukup ekonomis dengan catatan, tidak terjadi hal luar biasa atau anomali dalam pengadaan minyak dan BBM,” tutur Pri Agung. *
Berdasarkan kecenderungan kenaikan harga minyak dunia akibat kesepakatan pemangkasan produksi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan penugasan jenis solar dan premium diperhitungkan mengalami kenaikan per April mendatang.
Namun, PT Pertamina (Persero) sebagai penyedia dan distributor menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut kepada pemerintah. ”Kita menyerahkan keputusannya kepada pemerintah. Nanti pemerintah yang akan menentukan,” ujar Wakil Direktur Utama Pertamina Ahmad Bambang dikutip okezone, Rabu (18/1).
Dilihat dari rata-rata kenaikan Mean of Plats Singapore (MOPS) yang menjadi patokan keekonomian harga BBM dari Desember 2016-Januari 2017 sebesar 6,2-6,8 persen, Pertamina sebelumnya telah menaikkan harga bahan bakar nonsubsidi/bahan bakar khusus (BBK) jenis pertamax, pertamax plus, pertalite, pertamina dex, pertamax turbo.
Namun, kenaikan harga diputuskan hanya Rp300/liter dari seharusnya mencapai Rp500/ liter dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi. Demikian pula dengan BBM bersubsidi, sambung Ahmad Bambang, keputusan soal naiktidaknya harga pasti dengan mempertimbangkan dampaknya kepada masyarakat.
Tak hanya ekonomi, dampak sosial pun menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan harga yang akan diberlakukan. Mengenai harga BBM bersubsidi, pemerintah sebelumnya memutuskan tidak ada kenaikan sampai April mendatang. Namun, seiring dengan perkembangan harga minyak dunia, kaji ulang akan dilakukan pada bulan Maret.
Saat ini harga BBM premium adalah Rp6.450/liter dan solar bersubsidi Rp5.150/liter. ”Pemerintah secara periodik terus melihat perkembangan harga minyak dunia,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan beberapa waktu lalu.
Terkait dengan itu, Direktur Pemasaran Pertamina Muhammad Iskandar mengatakan, harga BBM jenis premium semestinya ikut naik seperti halnya BBM nonsubsidi. Dengan keputusan tidak naiknya harga BBM bersubsidi pada Januari lalu, Pertamina mengalami kerugian. Meski begitu, Iskandar enggan menyebut berapa kerugian yang diderita Pertamina akibat penjualan BBM bersubsidi. Sementara, anggota Komisi VII DPR Kurtubi meminta harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan.
Harga premium dan solar bersubsidi, jangan diserahkan kepada pasar seperti BBM nonsubsidi.”Kewajiban pemerintah adalah mengantisipasi dan menjaga supaya harga BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan karena dampaknya akan berpengaruh kepada kebutuhan pokok masyarakat. Kami Komisi VII minta untuk dua jenis BBM itu tidak naik,” tandasnya.
Pakar energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menilai, pemerintah sejak dini seharusnya telah mengantisipasi potensi kenaikan harga minyak dunia, baik bagi masyarakat, keuangan Pertamina dan anggaran negara. ”Pemerintah semestinya sudah ada kalkulasi teknisnya dan melakukan kajian terhadap dampak ekonomi sosialnya. Dari harga jual saat ini, saya kira masih cukup ekonomis dengan catatan, tidak terjadi hal luar biasa atau anomali dalam pengadaan minyak dan BBM,” tutur Pri Agung. *
Komentar