Tiap Hari Ngayah Menghalau-Menjinakkan Bojog Duwe
Kisah Para Bocah Pengantar Pamedek di Pura Agung Pulaki, Desa Banyupoh
Para bocah SD pemnghalau bojog duwe dan pengantar pamedek setiap hari sudah standby di wewidangan Pura Agung Pulaki sejak pagi pukul 07.00 Wita. Mereka baru mengerjakan tugas-tugas sekolah secara online malam hari, sepulang ngayah dari pura pukul 18.00 Wita.
SINGARAJA, NusaBali
Puluhan anak-anak yang mengenakan pakaian adat madya setiap hari menyebar di sekitar wewidangan Pura Agung Pulaki, Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Mereka semuanya memegang tongkat, yang dipakai menghalau bojog duwe (kera yang diyakini keramat, Red) yang kerap mengganggu pamedek. Bocah-bocah pengantar pamedek yang didominasi siswa SD ini cukup piawai menjinakkan bojog duwe.
Salah satu dari puluhan anak-anak yang biasa bantu mengantar pamedek dan halau bojog duwe di areal Pura Agung Pulaki adalah Putu Baskara, 10, asal Banjar Dinas Melanting, Desa Banyupoh. Putu Baskara menceritakan, dia dan puluhan temannya sudah ngayah di Pura Agung Pulaki sejak 2 tahun belakangan. Tugasnya adalah menghalau bojog duwe yang nakal dan mengganggu pamedek yang tangkil ke Pura Agung Pulaki.
Menurut Putu Baksara, dia dan rekan-rekan sebayanya setiap hari sudah standby di wewidangan Pura Agung Pulaki sejak pagi pukul 07.00 Wita. Mereka ngayah sehari penuh hingga matahari tenggelam sekitar pukul 18.00 Wita. Bahkan, jika ada rerahinan, mereka bisa ngayah sampai larut malam hari.
Putu Baskara mengatakan, kegiatan ngayah bisa lebih lama dilakukan sejak pandemi Covid-19 terjadi. Dia dan teman-temannya baru menyelesaikan tugas belajar online saat pulang ngayah. “Biasanya, malam hari baru belajar, kan sekolahnya online,” tutur siswa Kelas IV SDN 2 Gerokgak ini saat ditemui NusaBali di Pura Agung Pulaki, Kamis (30/9).
Kegiatan sehari-hari yang dilakoni para bocah pengantar pamedek dan penghalau bojog duwe di Pura Agung Pulaki ini dilakukan dengan ikhlas. Mereka tidak mendapatkan uang jasa atau honor sepser pun dari pangempon pura.
Namun, tak jarang mereka mendapatkan rezeki dari pamedek yang diantarnya hingga aman sampai ke jeroan pura. Menurut Putu Baskara, rezeki yang didapatnya tanpa meminta itu besarnya bervariasi, mulai dari Rp 1.000 hingga Rp 10.000. “Tapi, sering pula kami tidak mendapatkan apa-apa,” tutur bocah SD berusia 10 tahun ini.
Putu Baskara sendiri mengaku ikut bergabung bersama teman-teman sebayanya menghalau bojog duwe dan mengantar pamedek, karena spirit ingin ngayah. Bocah penghobi main layang-layang ini tidak kecewa jika pamedek yang diantarnya tak memberi uang setelah dia menghalaukan bojog duwe yang nakal.
“Sukarela saja, ada yang ngasi kadang seribu, dua ribu rupiah. Kadang juga tidak, ya tidak apa-apa, karena ini ngayah,” terang anak sulung dari dua bersaudara pasangan suami istri Komang Darmayasa dan Komang Suartini ini.
Rezeki yang dikumpulkan Putu Baskara dalam sehari, rata-rata tak lebih dari Rp 20.000. Uang itu kemudian diberikan kepada ibunya, Komang Suartini, untuk ditabung dan membantu keperluan keluarga.
Menurut Putu Baskara, dirinya ikut ngayah di Pura Agung Pulaki untuk membantu ringankan beban orangtua. Minimal, bisa memenuhi uang jajan sendiri. Biasanya, Putu Baskara dan teman-temannya membawa bekal makanan dari rumah. “Kami sangat menikmati kegiatan ngayah di areal pura, tanpa mengabaikan kewajiban sebagai seorang siswa sekolah,” beber Putu Baskara.
Hingga saat ini, Putu Baskara mengaku tak pernah takut berhadapan dengan bojog duwe, meskipun saat awal dia ngayah di areal Pura Agung Pulaki, kera yang dikeramatkan itu cukup garang. Dia menggunakan tongkat kayu sebagai senjata ampuh untuk menghalau bojog duwe ketika mendekat. Tetapi, dia dan teman-temannya hanya boleh menghentakkan tongkat dan memukulkannya ke tanah. Mereka dilarang sampai memukul bojog duwe.
Sementara itu, Kelian Pengempon Pura Agung Pulaki, Jro I Nyoman Bagiarta, menjelaskan kelompok anak-anak sekitar pura ini ngayah menghalai bojog duwe sejak 3 tahun lalu. Awalnya, hanya satu-dua orang anak yang berinisiatif ngayah mengantarkan pamedek. Lalu, lama-kelamaan semakin banyak hingga jumlahnya saat ini mencapai 25 orang.
“Kami memang terbuka sekali dengan krama yang mau ngayah, karena pura ini milik umat. Yang penting, kami tekankan kepada anak-anak itu agar mereka sopan dan tidak nakal. Ngayahlah dengan ikhlas dan tulus,” jelas Jro Bagiarta.
“Tidak ada target, apalagi sampai meminta-minta uang kepada pamedek. Sejauh ini, semua anak yang ngayah di sini patuh dan disiplin dengan niat mereka yang murni ngayah,” lanjut Jro Bagiarta.
Selain ngayah mengantarkan pamedek, kata Jro Bagiarta, anak-anak SD ini juga ikut menjaga kebersihan Pura Agung Pulaki dari sampah plastik. Mereka yang setiap hari berinteraksi dengan bojog duwe, secara langsung ikut melatih menjinakkannya.
Menurut Jro Bagiarta, hal tersebut sejalan dengan upaya pengempon pura yang saat ini sudah bisa menjinakkan sekitar 25 persen dari populasi bojog duwe di sekitar Pura Agung Pulaki. “Banyak monyet di sini yang diberi nama khusus anak-anak, karena mereka lebih sering ketemu setiap hari. Jadi, masing-masing kasi nama dan melatih bojog untuk bisa jinak,” tandas mantan Perbekel Kalisada, Kecamatan Seririt, Buleleng ini. *k23
Salah satu dari puluhan anak-anak yang biasa bantu mengantar pamedek dan halau bojog duwe di areal Pura Agung Pulaki adalah Putu Baskara, 10, asal Banjar Dinas Melanting, Desa Banyupoh. Putu Baskara menceritakan, dia dan puluhan temannya sudah ngayah di Pura Agung Pulaki sejak 2 tahun belakangan. Tugasnya adalah menghalau bojog duwe yang nakal dan mengganggu pamedek yang tangkil ke Pura Agung Pulaki.
Menurut Putu Baksara, dia dan rekan-rekan sebayanya setiap hari sudah standby di wewidangan Pura Agung Pulaki sejak pagi pukul 07.00 Wita. Mereka ngayah sehari penuh hingga matahari tenggelam sekitar pukul 18.00 Wita. Bahkan, jika ada rerahinan, mereka bisa ngayah sampai larut malam hari.
Putu Baskara mengatakan, kegiatan ngayah bisa lebih lama dilakukan sejak pandemi Covid-19 terjadi. Dia dan teman-temannya baru menyelesaikan tugas belajar online saat pulang ngayah. “Biasanya, malam hari baru belajar, kan sekolahnya online,” tutur siswa Kelas IV SDN 2 Gerokgak ini saat ditemui NusaBali di Pura Agung Pulaki, Kamis (30/9).
Kegiatan sehari-hari yang dilakoni para bocah pengantar pamedek dan penghalau bojog duwe di Pura Agung Pulaki ini dilakukan dengan ikhlas. Mereka tidak mendapatkan uang jasa atau honor sepser pun dari pangempon pura.
Namun, tak jarang mereka mendapatkan rezeki dari pamedek yang diantarnya hingga aman sampai ke jeroan pura. Menurut Putu Baskara, rezeki yang didapatnya tanpa meminta itu besarnya bervariasi, mulai dari Rp 1.000 hingga Rp 10.000. “Tapi, sering pula kami tidak mendapatkan apa-apa,” tutur bocah SD berusia 10 tahun ini.
Putu Baskara sendiri mengaku ikut bergabung bersama teman-teman sebayanya menghalau bojog duwe dan mengantar pamedek, karena spirit ingin ngayah. Bocah penghobi main layang-layang ini tidak kecewa jika pamedek yang diantarnya tak memberi uang setelah dia menghalaukan bojog duwe yang nakal.
“Sukarela saja, ada yang ngasi kadang seribu, dua ribu rupiah. Kadang juga tidak, ya tidak apa-apa, karena ini ngayah,” terang anak sulung dari dua bersaudara pasangan suami istri Komang Darmayasa dan Komang Suartini ini.
Rezeki yang dikumpulkan Putu Baskara dalam sehari, rata-rata tak lebih dari Rp 20.000. Uang itu kemudian diberikan kepada ibunya, Komang Suartini, untuk ditabung dan membantu keperluan keluarga.
Menurut Putu Baskara, dirinya ikut ngayah di Pura Agung Pulaki untuk membantu ringankan beban orangtua. Minimal, bisa memenuhi uang jajan sendiri. Biasanya, Putu Baskara dan teman-temannya membawa bekal makanan dari rumah. “Kami sangat menikmati kegiatan ngayah di areal pura, tanpa mengabaikan kewajiban sebagai seorang siswa sekolah,” beber Putu Baskara.
Hingga saat ini, Putu Baskara mengaku tak pernah takut berhadapan dengan bojog duwe, meskipun saat awal dia ngayah di areal Pura Agung Pulaki, kera yang dikeramatkan itu cukup garang. Dia menggunakan tongkat kayu sebagai senjata ampuh untuk menghalau bojog duwe ketika mendekat. Tetapi, dia dan teman-temannya hanya boleh menghentakkan tongkat dan memukulkannya ke tanah. Mereka dilarang sampai memukul bojog duwe.
Sementara itu, Kelian Pengempon Pura Agung Pulaki, Jro I Nyoman Bagiarta, menjelaskan kelompok anak-anak sekitar pura ini ngayah menghalai bojog duwe sejak 3 tahun lalu. Awalnya, hanya satu-dua orang anak yang berinisiatif ngayah mengantarkan pamedek. Lalu, lama-kelamaan semakin banyak hingga jumlahnya saat ini mencapai 25 orang.
“Kami memang terbuka sekali dengan krama yang mau ngayah, karena pura ini milik umat. Yang penting, kami tekankan kepada anak-anak itu agar mereka sopan dan tidak nakal. Ngayahlah dengan ikhlas dan tulus,” jelas Jro Bagiarta.
“Tidak ada target, apalagi sampai meminta-minta uang kepada pamedek. Sejauh ini, semua anak yang ngayah di sini patuh dan disiplin dengan niat mereka yang murni ngayah,” lanjut Jro Bagiarta.
Selain ngayah mengantarkan pamedek, kata Jro Bagiarta, anak-anak SD ini juga ikut menjaga kebersihan Pura Agung Pulaki dari sampah plastik. Mereka yang setiap hari berinteraksi dengan bojog duwe, secara langsung ikut melatih menjinakkannya.
Menurut Jro Bagiarta, hal tersebut sejalan dengan upaya pengempon pura yang saat ini sudah bisa menjinakkan sekitar 25 persen dari populasi bojog duwe di sekitar Pura Agung Pulaki. “Banyak monyet di sini yang diberi nama khusus anak-anak, karena mereka lebih sering ketemu setiap hari. Jadi, masing-masing kasi nama dan melatih bojog untuk bisa jinak,” tandas mantan Perbekel Kalisada, Kecamatan Seririt, Buleleng ini. *k23
Komentar