Jangan Sampai Berbudaya Kebas
Leksem ‘kebas’ kerap terdengar di tahun sembilan puluhan. Leksem itu lenyap ditelan keriuhan serapan kata berbagai bahasa dunia, ia jarang didengar dan digunakan dalam tuturan lisan maupun tulis.
Kebas merupakan lema (entri) dari ribuan kata dalam KBBI. Secara denotatif, kebas berarti: kesemutan atau mati rasa. Misalnya, ‘kakinya kebas karena kelelahan’. Leksem kebas kadang dimaknai secara konotatif sebagai mati rasa, akal-akalan, senang dengan tipu daya, atau suka dusta’.
Karakter orang yang suka akal-akalan, bertipu daya atau berdusta biasanya memiliki nurani tak jernih atau bahkan terkubur. Eksistensi orang kebas akan selalu menjadi beban masyarakat, biang kerusuhan, sumber kegaduhan atau bahkan menjadi parasit. Karakter kebas layaknya cucumis sativus atau mentimun bungkuk, tidak masuk timbangan.
Mentimun bungkuk tidak akan tersaji sebagai hidangan, tak luput dari cemooh, atau tak cantik rupa walau tetap dipetik! Dalam pepatah Melayu, sikap kebas dimajaskan sebagai “Hilang tak bercari, lulus tak berselami” untuk menggambarkan betapa menyedihkan mentimun bungkuk! Kadang, ia dikidungkan sebagai “Kekasih Yang Tak Dianggap” dari Armada Band yang kian populer setelah dirilis ulang Pinkan Mambo.
Pada era kemajuan teknologi, beberapa krama yang bersikap dan berperilaku kebas terhadap lingkungan, tidak hanya anak-anak, remaja, pemuda, tetapi juga yang dewasa! Kehadirannya di lingkungan keluarga bagai mentari yang tidak menghangatkan. Mereka sibuk mewarnai aktivitas dengan gadgets, bagai pelangi yang tak memberi warna. Mereka belajar lewat daring, tetapi tidak paham materi dan esensi belajar, bagai bulan yang tak menerangi malam!
Atau, mereka amat apresiatif pada budaya asing dengan menafikan budaya lokal, seumpama bintang yang hilang ditelan kegelapan! Sikap kebas atau mati rasa terhadap kearifan lokal dapat disepadankan dengan cucumis sativus. Kalau sikap ini ditoleransi akan membahayakan tubuh budaya Bali saat ini maupun di masa mendatang! Oleh karena itu, harus ada kebijakan dan aksi bijak untuk menghilangkan sikap dan rasa kebas dalam budaya Bali.
Kenapa bisa krama bersikap dan berperilaku kebas? Hal ini ada hubungannya dengan kondisi tubuh budaya Bali. Pertama, saraf budaya Bali sedang kejepit, meminjam istilah medis populer. Saraf kejepit dapat menimbulkan kelinuan panggul yang menopang keyakinan beragama. Kelinuan ini membentang dari punggung bawah krama miskin, terpinggir dan tak terjangkau sastra agama Hindu, hingga ke kalangan intelektual. Biasanya saraf kejepit dapat diobati dengan kesadaran dan keyakinan akan keadiluhungan kearifan lokal budaya Bali!
Kedua, krama mengalami salah satu penyakit autoimun atau lupus. Lupus menyebabkan kerusakan sistem saraf tepi. Prosesnya mirip dengan saraf kejepit. Karena kemiskinan, kurangnya pemahaman weda, tipisnya keyakinan akan kebenaran Hindu, akan menimbulkan mati rasa pada agama Hindu warisan leluhur! Mati rasa demikian dapat diatasi dengan merawat kondisi keberagamaan Hindu menyeimbangkan antara ‘tattwa, susila dan acara’, mengatur gaya hidup sehat dengan mengonsumsi makanan yang seimbang dan berolahraga secara teratur.
Ketiga, sklerosis multipel (MS) merupakan kerusakan saraf sensorik pada pemilik dan pendukung budaya Bali. Kondisi tubuh yang mengalami MS dapat menyebabkan mati rasa di sebagian kecil atau seluruh anggota tubuh. Umumnya, mati rasa ini sering berlangsung dalam waktu singkat dan bisa bertahan cukup lama. Fatalnya, MS dapat mengakibatkan kelumpuhan jika tidak ditangani dengan baik. Kelumpuhan budaya Bali akan terjadi apabila tidak ditangani dengan segera dan tegas tetapi terkendali, dari tataran keluarga, banjar, desa, dan seterusnya! Semoga semua upaya baik dan damai datang dari segala penjuru! *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.
Komentar