Bendesa Adat Jro Kuta Pejeng Jadi Tersangka
Krama Kanorayang Diberi Waktu 2 Minggu Angkat Kaki
Sejumlah krama yang keberatan atas penyertifikatan tanah teba, dilarang ngaben dan makingsan ring gni di setra, tak boleh nuwur tirta Kahyangan Tiga
GIANYAR, NusaBali
Kisruh penyertifikatan tanah teba antara Desa Adat Jro Kuta Pejeng, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar dan sejumlah krama se-tempat, memasuki babak baru. Bendesa Adat Jro Kuta Pejeng, Cokorda Gde Putra Pemayun, telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemalsuan surat. Sebaliknya, dua krama yang kena sanksi kanorayang (dikucilkan secara adat), I Made Wisna dan I Ketut Suteja, diberi waktu dua minggu untuk angkat kaki. Sejumlah krama lainnya juga diultimatum segera cabut keberatannya.
Keputusan untuk 'mengusir' 2 krama kanorayang dan telah ditetapkannya Bendesa Cokorda Gde Putra Pemayun sebagai tersangka dugaan pemalsuan surat ini terungkap saat digelarnya Paruman Agung Desa Adat Jro Kuta Pejeng, di jaba Pura Dalem Tenggaling pada Radite Wage Wariga, Minggu (10/10) sore. Di hadapan krama yang hadir dalam paruman tersebut, Bendesa Cok Putra Pemayun mengakui dirinya sudah jadi tersangka.
Penetapan tersangka bagi Cok Putra Pemayun berdasarkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan Polres Gianyar Nomor: B/360/IX/RES.1.9./2021/SATRESKRIM tertanggal 17 September 2021. Dalam surat yang ditandatangani Kasat Reskrim Polres Gianyar, AKP Laorens R Heselo, disebutkan hasil penyidikan perkara pidana atas nama Cok Putra Pemayun sudah P21 alias lengkap pada 27 Agustus 2021, sesuai surat Kepala Kejaksaan Negeri Gianyar Nomor B-1175/N-.1.15/Eku.1/08/2021.
"Titiyang sampun dados tersangka (Saya sudah ditetapkan sebagai tersangka, Red). Tapi, titiyang belum tahu di mana letak kesalahan titiyang," jelas Cok Putra Pemayun dalam paruman yang berlangsung selama 1 jam sejak pukul 15.00 Wita hingga 16.00 Wita, Minggu kemarin.
Menurut Cok Putra Pemayun, pengisian blanko dan form penyertifikatan tanah seluruhnya diisi oleh petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Gianyar. "Risampun puput, baru tanda tangan perbekel, bendesa adat, dan kelian," papar Cok Putra Pemayun.
Meski demikian, Cok Putra Pemayun mengaku tidak takut menyandang status tersangka. "Titiyang nenten jerih dijadikan tersangka, bahkan oleh krama titiyang sendiri. Titiyang patut bertanggung jawab dados bendesa, mempertanggungjawabkan duwen desa adat. Titiyang sudah siap dengan segala hal agar duwen desa kantun ajeg," tegas Cok Putra Pemayun.
Atas penetapan bendesa adat sebagai tersangka itulah, Desa Adat Jro Kuta Pejeng bertindak tegas terhadap 2 krama yang melaporkannya dan sejumlah krama lainnya yang keberatan tanah teba disertifikatkan atas nama desa adat. Menurut Cok Putra Pemayun, Desa Adat Jro Kuta Pejeng menggelar paruman agung, sekaligus untuk membuat perarem terkait polemik ini. "Karena tidak ada lagi mediasi, kasus ini lanjut. Maka, desa adat melalui paruman agung membuat perarem," papar Cok Putra Pemayun.
Isi pararem yang dibuat ini menyikapi 2 krama yang kena sanksi kasepekang dan sejumlah krama lainnya yang keberatan tanah teba disertifikatkan atas nama Desa Adat Jro Kuta Pejeng. "Saya mengumpulkan krama semua untuk meminta jalan, minta persetujuan," katanya.
Paruman Agung Desa Adat Jro Kuta Pejeng kemarin diharapkan menepis wacana bahwa pararem dibuat oleh segelintir orang, melainkan sudah berdasarkan paruman dan diputuskan krama desa adat. "Mangda nenten tyang nikange bendesa nyeh, nduk, sing bani nyalanang awig-awig (Biar tidak saya dibilang takut, lembek, tak berani menjalankan awig-aweig, Red)" terang Cok Putra Pemayun.
Secara garis besar, perarem yang dibuat tersebut berisi tentang krama yang harus segera angkat kaki dari Desa Adat Jro Kuta Pejeng. Bahwa tanah yang akan diambil oleh desa adat adalah karang ayahan desa, yang terdiri dari parahyangan, pawongan, dan palemahan (termasuk teba). Jangka waktu yang diberikan untuk segera angkat kaki bagi 2 krama kasepekang adalah dua minggu, terhitung sejak 10 Oktober 2021 sampai 24 Oktober 2021.
Artinya, dalam rentang waktu tersebut, 2 krama kasepekang, yakni I Made Wisna dan I Ketut Suteja, harus sudah angkat kaki dari Desa Adat Jro Kuta Pejeng. Jika tidak mengikuti perarem, maka prajuru desa bersama pecalang akan turun tangan mengusir paksa kedua krama tersebut.
Sedangkan kepada krama yang keberatan tanah teba disertifikatkan atas nama Desa Adat Jro Kuta Pejeng, sesuai perarem, dibatasi haknya mekrama adat. Mereka dilarang menggelar upacara ngaben, mekingsan ring gni di Setra Adat Jro Kuta Pejeng, dan tidak dapat nuwur tirta Pura Kahyangan Tiga.
Apabila tetap bermaksud menggelar pengabenan maupun mekingsan ring gni, krama tersebut dikenakan sanksi penanjung batu. Besarannya penanjung batu itu 1 kilogram beras x jumlah krama Desa Adat Jro Kuta Pejeng yang jumnlahnya mencapai 1.118 kepala keluarga (KK).
Selain itu, krama bersangkutan juga tidak akan mendapatkan arah-arahan banjar atau pengumuman, tidak mendapatkan upasaksi dari prajuru desa adat jika menggelar upacara Panca Yadnya, dilarang nuwur pemangku Pura Kahyangan Tiga, tidak mendapat nuwur tirta Pura Kahyangan Tiga, serta tidak mendapat pelayanan adat. Bagi sejumlah krama yang mendapatkan sanksi ini, diberikan tempo asasih (35 hari) untuk pikir-pikir.
"Yang kanorayang dapat tempo dua minggu dari sekarang agar pergi dari karang desa. Jika tidak mau, sesuai perarem akan dieksekusi oleh prajuru desa, pecalang dan ida dane krama," tandas Cok Putra Pemayun.
Dalam eksekusi nanti, yang boleh masuk ke rumah 2 krama kanorayang adalah prajuru desa adat didampingi pecalang, kerta desa, Bhabinkamtibmas, dan Babhinsa. "Sedangkan semua krama kami minta diam di luar rumah, agar tidak terjadi tindakan hanarkis. Tidak boleh melempari rumah, merusak, apalagi mejaguran (berkelahi). Semua harus berjalan kondusif," pintanya.
Namun, jika 2 krama kanorayang dan sejumlah krama yang keberatan atas penyertifikiatan tanah teba mau mencabut keberatannya, maka ancaman angkat kaki tersebut bisa ditoleransi. "Sebelum batas waktu, jika sadar (mencabut laporan), krama kanorayang ini bisa kembali menjadi krama adat. Mereka pasti kami terima, hanya akan kena penyangaskara."
Menurut Cok Putra Pemayun, toleransi serupa juga berlaku untuk krama yang keberatan penyertifikatan tanah teba atas nama desa adat. Mereka tidak akan dikenakan sanksi apa pun, jika mencabut keberatan dan bersedia kembali menjadi krama adat. "Penyangaskara pun tidak dikenakan bagi krama yang keberatan ini. Mereka bisa bebas mekrama adat jika mau mencabut keberatannya," janji Cok Putra Pemayun.
Sementara itu, salah seorang dari kubu krama keberatan, I Ketut Sudiarta, dan salah satu krama kanorayang, I Made Wisna, menolak tegas perarem berupa sanksi buat mereka. Pertama, karena mereka merasa tidak diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat saat paruman agung kemarin. Kedua, karena merasa tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan perarem yang memojokkan mereka.
"Dengan maaf juga, kami yang kanorayang dikasi waktu dua minggu, yang keberatan dikasi waktu sebulan. Kami tegas menolak, kami akan diskusikan hal ini," sergah I Made Wisna secara terpisah, Minggu kemarin.
Made Wisna berkeyakinan sudah berada di jalan yang benar. "Karena kami punya bukti dan penguasaan fisik yang jelas," katanya. “Kami tidak pernah melawan dan menyerobot tanah desa adat. Ini (tanah teba) adalah tanah leluhur kami. Dan, kami akan tetap berjuang," lanjut Made Misna.
Konflik penyertifikatan tanah teba di Desa Adat Jro Kuta Pejeng sendiri, sebagaimana diketahui, bergulir sejak digalakannya program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, Juli 2020 lalu. Ketika itu, puluhan krama Desa Adat Jro Kuta Pejeng dan Desa Adat Panglan di Desa Pejeng mendatangi Kantor BPN Gianyar, 22 Juli 2020 pagi. Kedatangan mereka untuk menyampaikan keberatan atas tanah teba ma-upun tegal krama yang diterbitkan sertifikat hak milik atas nama desa adat atau dijadikan tanah PKD (pekarangan desa).
Ada 75 pekarangan atau pemilik rumah yang merasa keberatan. Dari puluhan krama yang keberatan tersebut, total luas lahannya yang dijadikan PKD mencapai 9 hektare, baik di Desa Adat Jro Kuta Pejeng maupun Desa Adat Panglan. Menurut krama yang keberatan, tanah tersebut sudah ada SPPT atas nama leluhur dan ada pula yang sudah diturunkan kepada ahli waris. *nvi
Keputusan untuk 'mengusir' 2 krama kanorayang dan telah ditetapkannya Bendesa Cokorda Gde Putra Pemayun sebagai tersangka dugaan pemalsuan surat ini terungkap saat digelarnya Paruman Agung Desa Adat Jro Kuta Pejeng, di jaba Pura Dalem Tenggaling pada Radite Wage Wariga, Minggu (10/10) sore. Di hadapan krama yang hadir dalam paruman tersebut, Bendesa Cok Putra Pemayun mengakui dirinya sudah jadi tersangka.
Penetapan tersangka bagi Cok Putra Pemayun berdasarkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan Polres Gianyar Nomor: B/360/IX/RES.1.9./2021/SATRESKRIM tertanggal 17 September 2021. Dalam surat yang ditandatangani Kasat Reskrim Polres Gianyar, AKP Laorens R Heselo, disebutkan hasil penyidikan perkara pidana atas nama Cok Putra Pemayun sudah P21 alias lengkap pada 27 Agustus 2021, sesuai surat Kepala Kejaksaan Negeri Gianyar Nomor B-1175/N-.1.15/Eku.1/08/2021.
"Titiyang sampun dados tersangka (Saya sudah ditetapkan sebagai tersangka, Red). Tapi, titiyang belum tahu di mana letak kesalahan titiyang," jelas Cok Putra Pemayun dalam paruman yang berlangsung selama 1 jam sejak pukul 15.00 Wita hingga 16.00 Wita, Minggu kemarin.
Menurut Cok Putra Pemayun, pengisian blanko dan form penyertifikatan tanah seluruhnya diisi oleh petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Gianyar. "Risampun puput, baru tanda tangan perbekel, bendesa adat, dan kelian," papar Cok Putra Pemayun.
Meski demikian, Cok Putra Pemayun mengaku tidak takut menyandang status tersangka. "Titiyang nenten jerih dijadikan tersangka, bahkan oleh krama titiyang sendiri. Titiyang patut bertanggung jawab dados bendesa, mempertanggungjawabkan duwen desa adat. Titiyang sudah siap dengan segala hal agar duwen desa kantun ajeg," tegas Cok Putra Pemayun.
Atas penetapan bendesa adat sebagai tersangka itulah, Desa Adat Jro Kuta Pejeng bertindak tegas terhadap 2 krama yang melaporkannya dan sejumlah krama lainnya yang keberatan tanah teba disertifikatkan atas nama desa adat. Menurut Cok Putra Pemayun, Desa Adat Jro Kuta Pejeng menggelar paruman agung, sekaligus untuk membuat perarem terkait polemik ini. "Karena tidak ada lagi mediasi, kasus ini lanjut. Maka, desa adat melalui paruman agung membuat perarem," papar Cok Putra Pemayun.
Isi pararem yang dibuat ini menyikapi 2 krama yang kena sanksi kasepekang dan sejumlah krama lainnya yang keberatan tanah teba disertifikatkan atas nama Desa Adat Jro Kuta Pejeng. "Saya mengumpulkan krama semua untuk meminta jalan, minta persetujuan," katanya.
Paruman Agung Desa Adat Jro Kuta Pejeng kemarin diharapkan menepis wacana bahwa pararem dibuat oleh segelintir orang, melainkan sudah berdasarkan paruman dan diputuskan krama desa adat. "Mangda nenten tyang nikange bendesa nyeh, nduk, sing bani nyalanang awig-awig (Biar tidak saya dibilang takut, lembek, tak berani menjalankan awig-aweig, Red)" terang Cok Putra Pemayun.
Secara garis besar, perarem yang dibuat tersebut berisi tentang krama yang harus segera angkat kaki dari Desa Adat Jro Kuta Pejeng. Bahwa tanah yang akan diambil oleh desa adat adalah karang ayahan desa, yang terdiri dari parahyangan, pawongan, dan palemahan (termasuk teba). Jangka waktu yang diberikan untuk segera angkat kaki bagi 2 krama kasepekang adalah dua minggu, terhitung sejak 10 Oktober 2021 sampai 24 Oktober 2021.
Artinya, dalam rentang waktu tersebut, 2 krama kasepekang, yakni I Made Wisna dan I Ketut Suteja, harus sudah angkat kaki dari Desa Adat Jro Kuta Pejeng. Jika tidak mengikuti perarem, maka prajuru desa bersama pecalang akan turun tangan mengusir paksa kedua krama tersebut.
Sedangkan kepada krama yang keberatan tanah teba disertifikatkan atas nama Desa Adat Jro Kuta Pejeng, sesuai perarem, dibatasi haknya mekrama adat. Mereka dilarang menggelar upacara ngaben, mekingsan ring gni di Setra Adat Jro Kuta Pejeng, dan tidak dapat nuwur tirta Pura Kahyangan Tiga.
Apabila tetap bermaksud menggelar pengabenan maupun mekingsan ring gni, krama tersebut dikenakan sanksi penanjung batu. Besarannya penanjung batu itu 1 kilogram beras x jumlah krama Desa Adat Jro Kuta Pejeng yang jumnlahnya mencapai 1.118 kepala keluarga (KK).
Selain itu, krama bersangkutan juga tidak akan mendapatkan arah-arahan banjar atau pengumuman, tidak mendapatkan upasaksi dari prajuru desa adat jika menggelar upacara Panca Yadnya, dilarang nuwur pemangku Pura Kahyangan Tiga, tidak mendapat nuwur tirta Pura Kahyangan Tiga, serta tidak mendapat pelayanan adat. Bagi sejumlah krama yang mendapatkan sanksi ini, diberikan tempo asasih (35 hari) untuk pikir-pikir.
"Yang kanorayang dapat tempo dua minggu dari sekarang agar pergi dari karang desa. Jika tidak mau, sesuai perarem akan dieksekusi oleh prajuru desa, pecalang dan ida dane krama," tandas Cok Putra Pemayun.
Dalam eksekusi nanti, yang boleh masuk ke rumah 2 krama kanorayang adalah prajuru desa adat didampingi pecalang, kerta desa, Bhabinkamtibmas, dan Babhinsa. "Sedangkan semua krama kami minta diam di luar rumah, agar tidak terjadi tindakan hanarkis. Tidak boleh melempari rumah, merusak, apalagi mejaguran (berkelahi). Semua harus berjalan kondusif," pintanya.
Namun, jika 2 krama kanorayang dan sejumlah krama yang keberatan atas penyertifikiatan tanah teba mau mencabut keberatannya, maka ancaman angkat kaki tersebut bisa ditoleransi. "Sebelum batas waktu, jika sadar (mencabut laporan), krama kanorayang ini bisa kembali menjadi krama adat. Mereka pasti kami terima, hanya akan kena penyangaskara."
Menurut Cok Putra Pemayun, toleransi serupa juga berlaku untuk krama yang keberatan penyertifikatan tanah teba atas nama desa adat. Mereka tidak akan dikenakan sanksi apa pun, jika mencabut keberatan dan bersedia kembali menjadi krama adat. "Penyangaskara pun tidak dikenakan bagi krama yang keberatan ini. Mereka bisa bebas mekrama adat jika mau mencabut keberatannya," janji Cok Putra Pemayun.
Sementara itu, salah seorang dari kubu krama keberatan, I Ketut Sudiarta, dan salah satu krama kanorayang, I Made Wisna, menolak tegas perarem berupa sanksi buat mereka. Pertama, karena mereka merasa tidak diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat saat paruman agung kemarin. Kedua, karena merasa tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan perarem yang memojokkan mereka.
"Dengan maaf juga, kami yang kanorayang dikasi waktu dua minggu, yang keberatan dikasi waktu sebulan. Kami tegas menolak, kami akan diskusikan hal ini," sergah I Made Wisna secara terpisah, Minggu kemarin.
Made Wisna berkeyakinan sudah berada di jalan yang benar. "Karena kami punya bukti dan penguasaan fisik yang jelas," katanya. “Kami tidak pernah melawan dan menyerobot tanah desa adat. Ini (tanah teba) adalah tanah leluhur kami. Dan, kami akan tetap berjuang," lanjut Made Misna.
Konflik penyertifikatan tanah teba di Desa Adat Jro Kuta Pejeng sendiri, sebagaimana diketahui, bergulir sejak digalakannya program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, Juli 2020 lalu. Ketika itu, puluhan krama Desa Adat Jro Kuta Pejeng dan Desa Adat Panglan di Desa Pejeng mendatangi Kantor BPN Gianyar, 22 Juli 2020 pagi. Kedatangan mereka untuk menyampaikan keberatan atas tanah teba ma-upun tegal krama yang diterbitkan sertifikat hak milik atas nama desa adat atau dijadikan tanah PKD (pekarangan desa).
Ada 75 pekarangan atau pemilik rumah yang merasa keberatan. Dari puluhan krama yang keberatan tersebut, total luas lahannya yang dijadikan PKD mencapai 9 hektare, baik di Desa Adat Jro Kuta Pejeng maupun Desa Adat Panglan. Menurut krama yang keberatan, tanah tersebut sudah ada SPPT atas nama leluhur dan ada pula yang sudah diturunkan kepada ahli waris. *nvi
1
Komentar