Pandemi, Pelukis di Museum Arma Tetap Aktif
GIANYAR, NusaBali
Saat sejumlah objek wisata tutup selama pandemi, Museum Arma Ubud di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar, tetap buka.
Bahkan sejumlah pelukis di museum ini, tetap menyelesaikan karya. Buka museum ini juga untuk menjaga koleksi lukisan tak lembab dan diserbu rayap.
Namun kunjungan wisatawan ke museum ini belum tampak signifikan. Asisten Direktur Museum Ketut Kariasa menyatakan museum dibuka tidak penuh dan tetap mengacu pada protokol kesehatan (prokes). "Memang kunjungan wisatawan turun. Sehari dua-tiga orang. Kadang nggak ada. Namun kegiatan selalu kami adakan," ujar Kariasa di museum Arma, beberapa hari lalu.
Dia memperlihatkan aksi melukis oleh dua seniman tua yang rutin digelar di masa pandemi. " Disamping merelaksasi, mereka (seniman, red) biar tidak jenuh," jelasnya.
Meski pandemi sepi kunjungan, tapi dalam setahun terakhir, tetap bisa mengadakan pameran. Diantaranya, pameran Mega Rupa 2020. Dilanjutkan pada 2021, menggelar pameran Hulu Pulu dan Kanda Rupa. "Sampai sekarang (selama pandemi, red) kami jalin kerjasama dengan ISI Denpasar, terkait pendirian Prodi baru di ISI (Institut Seni Indonesia)," ungkapnya.
Lanjut dia, Museum Arma kini menjadi tempat perkuliahan bagi mahasiswa. "Kami berikan kuliah secara nyata dan implementasi. Misalnya tata kelola museum. Dengan sentuhan berbeda. Selain koleksi, kami sediakan halaman luas dengan koleksi tanaman dan kegiatan seniman. Kami sediakan workshop. Jadi bisa observasi langsung. Dapatkan teori dan pelaksanaan," jelasnya.
Dengan sejumlah kegiatan di masa pandemi, Kariasa mengaku situasi museum yang dikelola berbeda dengan lain. "Yang lain seperti tutup, kalau disini masih tetap ada aktivitas," jelasnya.
Yang membedakan selama pandemi adalah dari segi keuangan yang membebani. "Biaya operasional, listrik dan tenaga kerja. Itu jadi beban tersendiri. Apalagi pemasukan jauh. Lebih banyak pengeluaran daripada masuk," ujarnya.
Dulu sebelum pandemi, kunjungan sehari rata-rata 50 orang. "Dari penjualan tiket Rp 100.000 per orang, lumayan, biaya operasional tertutupi. Masih ada lebih, untuk pembiayaan lainnya," jelasnya.
Bahkan, sebelum pandemi, setahun bisa ada beberapa kali kegiatan reguler. "Bagi seniman yang ingin mendapat apresiasi, kami adakan di museum. Sekaligus dijual. Dari sana kami peroleh prosentase keuntungan. Makanya dari sana dapat, tiket, pertunjukan, workshop, menari, megambel. Banyak," ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan, dulu dalam setahun, dari workshop saja bisa memperoleh ratusan juta pemasukan. "Kalau dari tiket di atas Rp 1 miliar setahun. Yang lainnya, disini ada hotel, dari hotel mengcover. Sekarang hotel tidak ada tamu, jadi beban," ungkapnya.
Mengenai perawatan koleksi di museum, pihaknya tetap membuka untuk menjaga kondisi lukisan. "Kalau tidak dirawat, berbahaya bagi koleksi. Kalau tutup, otomatis, pencahayaan tidak ada, kelembaban meningkat, sirkulasi tidak ada. Akhirnya merusak karya seni. Karena lembab, akhirnya jamuran. Rumah laba-laba, hingga rayap dikhawatirkan masuk. Itulah, mengapa tetap membuka museum," jelasnya.
Di saat sepi tamu, pihaknya tetap berharap ada tamu yang datang. "Setidaknya ada orang yang melihat," pintanya.
Museum Arma selama ini dikunjungi turis Eropa. "Bagi mereka, museum sumber pengetahuan. Budaya dan tradisi diketahui dari museum. Museum bicara tentang situasi sosial dan ekonomi. Sehingga mereka punya ilmu," ujarnya.
Museum mengoleksi sejumlah lukisan. Karya Raden Saleh, Walter Spies, dan Johan Rudolf Bonnet. Ada pula lukisan Kamasan tanpa nama yang dilukis di atas kertas Welantaga. "Lukisan Kamasan ini berusia tua. Kemungkinan pelukisnya orang berpengaruh di zamannya," ujarnya.
Founder Museum Arma Anak Agung Gde Rai menyatakan di saat seperti sekarang ini, seniman tidak mengenal pandemi. Bagi Agung Rai-sapaan akrabnya, pandemi membedakan tukang gambar dengan seniman. "Kalau seniman itu meditasi. Karya yang diciptakan membuat mereka bahagia, tenang. Itu yang benar seniman. Jadi dia tahan banting. Tetap berkarya," ujar Agung Rai.
Disamping itu, seniman menemukan kualitas karya dan daya cipta terus mengalir. Mengenai situasi pandemi, Agung Rai melihat seniman tidak akan terpengaruh.
Agung Rai mencontohkan dua pelukis tua yang tetap melukis di museum Arma. Pelukis itu keseharian mereka bekerja di sawah. Ketika ada waktu luang, mereka menyempatkan diri melanjutkan lukisan yang ditorehkan dalam waktu lama. "Kalau orang Bali sudah terpola. Untuk mendapatkan karya terbaik, perlu hadir seutuhnya," jelasnya.
Dia mengakui banyak orang Bali berada di alam. "Kerja di sawah, dinamika dia, melukis, justru sehat sebenarnya. Maka dia tidak paham covid. Di desa kan masih ke Tegal. Beda dengan kehidupan urban, ada televisi, medsos. Jadi di kehidupan urban, mental mereka diteror, ketakutan, cemas. Itu lebih bahaya. Itu membuat orang panik," jelasnya.
Bagi pelukis, menjaga jarak aman seperti yang disosialisasikan Pemerintah sudah dilakukan sejak dulu. "Jarak sudah ada, antara pelukis satu dengan lainnya. Sudah terpola. Ketika mereka konsentrasi tidak bisa terganggu. Itulah seni. Maka tahan banting," ujarnya.
Yang terpenting kata dia, suasana saat melukis berada di alam yang hijau. "Kalau banyak bangunan, stres. Makanya dekat dengan alam, untuk meningkatkan imun. Seni juga meningkatkan imun. Karena dia senang. Itulah cara orang Bali mengatasi gerubuk (wabah, red)," ungkapnya. *nvi
Komentar