MUTIARA WEDA: Berubah Arus
Dinayāminyau sāyam prātah sisiravasantau punarāyātah Kālah kridati gacchatyāyuh tadapi na muñcatyāsāvāyuh. (Bhaja Govindam, 12)
Siang dan malam, pagi dan petang, musim dingin dan semi, terus-menerus datang dan pergi. Waktu berjalan dan hidup berlalu. Dan, meskipun demikian ia tidak juga meninggalkan desiran keinginannya.
Katanya, tulisan yang baik adalah narasinya kontekstual, yang sejalan dengan perkembangan zaman, yang mengikuti trend terkini. Nilai keaktualannya akan hilang atau dikatakan basi jika tidak up to date. Oleh karena itu, para kreator biasanya selalu sibuk berada di tengah-tengah hiruk pikuknya informasi agar tidak ketinggalan mode. Bahkan, mereka melihat trend terakhir itu bisa dijadikan pijakan untuk melakukan inovasi dan meluncurkan trend baru.
Demikian seterusnya sehingga manusia tidak memiliki waktu untuk bersantai ria. Mereka selalu standby untuk hal-hal atau situasi terakhir, terkini. Seluruh waktunya dicurahkan hanya untuk mengenali sesuatu di luar dirinya dan sepertinya tidak ada ide sama sekali untuk melihat dimensi lain dalam kehidupannya.
Namun, terkadang ada beberapa orang yang mulai berpikir bahwa semua itu menjenuhkan. Pelan-pelan segala kesibukan dan situasi seperti itu kehilangan nilainya. Pelan-pelan ia tidak lagi sibuk di permukaan, tetapi masuk ke arus utamanya. Ia mulai melihat bahwa semua kejadian secara prinsip tidak ada perbedaan dari jaman ke jaman. Yang berbeda hanya permukaannya saja, dan itu menjenuhkan. Ia mulai berpikir seperti teks di atas. Segala kejadian akan terus mengalami pengulangan sepanjang kehidupan ini ada. Seperti halnya ombak, ia akan terus demikian sepanjang angin bertiup di atas lautan.
Kemudian, bagi seorang kreator, karyanya tidak lagi dijiwai oleh peristiwa fenomena pragmatis, tetapi lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat eksistensial fundamental. Mengapa demikian? Karena jiwa yang melandasi kreativitasnya berubah arus. Bahkan, ia pun mulai melihat bahwa semua karya hanya sebuah permukaan yang nilainya nihil. Karya sehebat apapun hanya sebuah riak, sementara jiwa yang membuat karya itu terlahir adalah hal yang abadi.
Arus hidupnya mulai berubah. Gerak pikirannya mulai tergoncang. Keabadian mulai membayanginya. Semakin kuat masalah keabadian itu menghantuinya, semakin hal-hal yang glamour, hal-hal permukaan itu kehilangan nilainya. Jika hal ini mulai ada di dalam diri seseorang, maka teks seperti di atas baru memiliki nilai. Teks di atas sama sekali tidak menarasikan sesuatu yang up to date. Itulah mengapa, teks seperti Bhaja Govindam ini tidak menarik oleh sebagian besar orang. Isinya sangat membosankan, tidak sesuai dengan keinginan. Alasan ini tidak salah oleh sebagian besar orang, karena mereka tidak berada pada arus keabadian.
Siapapun yang masih larut di dalam sebuah trend, teks di atas bukan untuk mereka. Makanya, teks seperti di atas tidak akan pernah diminati oleh banyak orang meskipun dipropagandakan. Keberadaannya tetap eksklusif hanya untuk segelintir orang. Siapa saja itu? Tentu orang yang sudah jenuh dengan riak permukaan.
Apa yang mengindikasikan bahwa teks di atas tidak menarik meskipun sering dibaca? Pertama, ketika teks bicara mengenai kejadian yang selalu silih berganti, seperti siang dan malam, pagi dan sore dan seterusnya. Ini menandakan bahwa teks di atas menegasi kesemarakan dunia. Teks di atas melihat bahwa setiap kejadian datang dan pergi, tidak ada esensi yang bisa dipegang di dalamnya. Teks di atas melihat bahwa apapun fenomena yang ada hanyalah sebuah fermutasi (susunan unsur berbeda) dari kejadian sebelumnya. Hanya bentuknya yang berbeda, sementara arus yang mendasarinya sama. Seperti misalnya ekspresi kemarahan orang di masa lalu dengan saat ini tampak berbeda oleh karena mengalami fermutasi, tetapi esensinya tetap sama, yakni kemarahan. Dulu orang berperang dengan pedang, tetapi saat ini dengan bom nuklir. Dasar yang menyebabkan itu terjadi adalah kemarahan yang sama.
Kedua, ketika teks menyatakan bahwa orang tidak juga meningalkan keinginan-keinginannya. Ini adalah indikasi yang mencolok mengapa teks tersebut tidak menarik. Bagaimana mungkin orang meninggalkan keinginan, sebab hanya sekedar untuk membaca teks di atas saja memerlukan keinginan.
Secara moral mungkin pernyataan ini nilainya sangat tinggi, namun secara praktis sepertinya hampir nihil. Bahkan mereka yang moralis dan pro dengan pernyataan itu sedikitpun tidak berniat mempaktikkannya. Atau jika pun berniat, sepanjang arus keabadian belum ada di dalam dirinya, maka “ingin menghilangkan keinginan” pun sepenuhnya keinginan. *
I Gede Suwantana
Komentar