Solar Langka di Beberapa Daerah
Pasokan energi disebut stabil, diduga kuota solar subsidi sudah mulai tipis
JAKARTA, NusaBali
Krisis energi melanda sejumlah negara seperti China, Inggris dan India karena sejumlah sebab. Di Indonesia, fenomena kelangkaan solar terjadi di beberapa daerah belum lama ini. Pertanyaannya, apakah sudah kirisis energi?
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, kemungkinan kelangkaan solar di berbagai daerah dipicu oleh harga minyak yang tinggi. Dia menduga, kuota solar subsidi sudah mulai tipis sehingga dibatasi.
"Ini harus dicek, yang saya duga yang pertama karena memang kuotanya sudah mau habis jadi harus dibatasi. Distribusinya yang subsidi dibatasin," katanya seperti dilansir detikcom, Selasa (19/10).
Kemudian, ia juga menduga, hal itu sebagai langkah Pertamina untuk mengantisipasi pihak-pihak yang tak layak mendapat solar subsidi. Sebab, harga solar industri harganya lebih tinggi.
Meski demikian, ia menyebut, fenomena itu bukanlah krisis energi. Sebab, pasokan energi relatif stabil."Kedua, upaya untuk pembatasan ini dilakukan oleh Pertamina dalam rangka menghindari agar mereka yang tidak layak membeli solar bersubsidi jangan sampai pengguna industri membeli solar bersubsidi," katanya.
"Menurut saya tidak. Kita tidak mengalami kekurangan pasokan energi dan harga energi di dalam negeri relatif stabil, serta tidak ada efek panic buying. Kelangkaan yang terjadi hanya BBM jenis solar dan tidak masif. Pasokan bahan bakar untuk pembangkit listrik PLN juga aman dan tidak ada pemadaman bergilir," terangnya.
Sementara, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menjelaskan, melonjaknya harga minyak mentah dunia disebabkan oleh mulai pulihnya industri yang sebelumnya terdampak pandemi COVID-19. Di sisi lain, banyak negara tidak siap dengan tingginya permintaan energi tersebut. Kondisi ini pun memicu krisis energi. Harga minyak mentah pun terkerek naik.
"Kelangkaan tadi memicu harga jual minyak mentah di dunia sehingga kemarin dia mencapai di atas US$ 85 dolar per barel," katanya.
Kenaikan harga minyak dunia ini memberikan dampak pada Indonesia. Apalagi, Indonesia merupakan negara net importir. Menurutnya, kondisi ini akan menjadi beban bagi PT Pertamina (Persero) jika tidak diizinkan menaikkan harga BBM.
"Ini jelas jadi beban bagi Indonesia, apalagi kalau Pertamina tidak diizinkan menaikan harga jual BBM, ini akan akan berat bagi Pertamina maupun bagi negara," katanya.
Memang, Pertamina diperbolehkan untuk menaikkan harga BBM khususnya untuk non subsidi. Namun, untuk menaikkan itu Pertamina harus mendapat izin dari regulator.
"Dengan harga minyak naik, mestinya Pertamina menyesuaikan harga jual BBM khususnya Pertamax ke atas. Tapi untuk menaikkan harga minyak itu, kan harus ada izin dari Kementerian ESDM, tidak bisa Pertamina serta merta menaikkan tadi," katanya. *
Krisis energi melanda sejumlah negara seperti China, Inggris dan India karena sejumlah sebab. Di Indonesia, fenomena kelangkaan solar terjadi di beberapa daerah belum lama ini. Pertanyaannya, apakah sudah kirisis energi?
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, kemungkinan kelangkaan solar di berbagai daerah dipicu oleh harga minyak yang tinggi. Dia menduga, kuota solar subsidi sudah mulai tipis sehingga dibatasi.
"Ini harus dicek, yang saya duga yang pertama karena memang kuotanya sudah mau habis jadi harus dibatasi. Distribusinya yang subsidi dibatasin," katanya seperti dilansir detikcom, Selasa (19/10).
Kemudian, ia juga menduga, hal itu sebagai langkah Pertamina untuk mengantisipasi pihak-pihak yang tak layak mendapat solar subsidi. Sebab, harga solar industri harganya lebih tinggi.
Meski demikian, ia menyebut, fenomena itu bukanlah krisis energi. Sebab, pasokan energi relatif stabil."Kedua, upaya untuk pembatasan ini dilakukan oleh Pertamina dalam rangka menghindari agar mereka yang tidak layak membeli solar bersubsidi jangan sampai pengguna industri membeli solar bersubsidi," katanya.
"Menurut saya tidak. Kita tidak mengalami kekurangan pasokan energi dan harga energi di dalam negeri relatif stabil, serta tidak ada efek panic buying. Kelangkaan yang terjadi hanya BBM jenis solar dan tidak masif. Pasokan bahan bakar untuk pembangkit listrik PLN juga aman dan tidak ada pemadaman bergilir," terangnya.
Sementara, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menjelaskan, melonjaknya harga minyak mentah dunia disebabkan oleh mulai pulihnya industri yang sebelumnya terdampak pandemi COVID-19. Di sisi lain, banyak negara tidak siap dengan tingginya permintaan energi tersebut. Kondisi ini pun memicu krisis energi. Harga minyak mentah pun terkerek naik.
"Kelangkaan tadi memicu harga jual minyak mentah di dunia sehingga kemarin dia mencapai di atas US$ 85 dolar per barel," katanya.
Kenaikan harga minyak dunia ini memberikan dampak pada Indonesia. Apalagi, Indonesia merupakan negara net importir. Menurutnya, kondisi ini akan menjadi beban bagi PT Pertamina (Persero) jika tidak diizinkan menaikkan harga BBM.
"Ini jelas jadi beban bagi Indonesia, apalagi kalau Pertamina tidak diizinkan menaikan harga jual BBM, ini akan akan berat bagi Pertamina maupun bagi negara," katanya.
Memang, Pertamina diperbolehkan untuk menaikkan harga BBM khususnya untuk non subsidi. Namun, untuk menaikkan itu Pertamina harus mendapat izin dari regulator.
"Dengan harga minyak naik, mestinya Pertamina menyesuaikan harga jual BBM khususnya Pertamax ke atas. Tapi untuk menaikkan harga minyak itu, kan harus ada izin dari Kementerian ESDM, tidak bisa Pertamina serta merta menaikkan tadi," katanya. *
Komentar