Bermakna sebagai Tolak Bala, Krama Lanang Berias Seram
Tradisi Ngerebeg di Desa Adat Tengkulak Kelod, Kecamatan Sukawati, Gianyar
Dalam ritual ngerebeg ini, krama lanang yang merias tubuhnya dengan hiasan seram keliling wewidangan Desa Adat Tengkulak Kelod jalan kaki sambil mundut sarana upacara, dengan diiringi gamelan baleganjur dan kulkul
GIANYAR, NusaBali
Selain di Desa Adat Tegallalang, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, tradisi ritual ngerebeg dengan seluruh peserta mepayas aeng (merias tubuh dengan corak hiasan seram) juga terdapat di Desa Adat Tengkulak Kelod, Desa Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Ritual ngerebeg di Desa Adat Tengkulak Kelod yang digelar setahun sekali pada Kajeng Kliwon Uwudan Sasih Kalima ini bermakna sebagai tolak bala.
Tradisi ritual ngerebeg teraanyar di Desa Adat Tengkulak Kelod dilaksanakan pada Wraspati Kliwon Warigadean, Kamis (21/10) siang. Ritual ini melibatkan ratusan krama lanang (laku-laki) dengan payas aeng, yang bergerak jalan kaki mengelilingi wewidangan (wilayah) Desa Adat Tengkulak Kelod, sambil mundut (membawa) berbagai sarana upacara, seperti tedung dan umbul-umbul.
Ratusan krama lanang, mulai dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia tampak merias diri dengan beragam rupa, warna, dan bentuk. Payas aeng itu sebagai simbol hadirnya bhutakala dalam diri manusia, yang harus dinetralisasi. Tujuannya, menghilangkan sifat buruk dalam diri manusia dan juga menetralisasi pengaruh negatif yang ada di wewidangan Desa Adat Tengkulak Kelod.
Krama lanang Desa Aadat Tengkulak Kelod yang berias seram dengan telanjang dada, ada pula yang mengenakan kaos. Mereka semua memakai busana bawahan berupa kain (kamen). Bagi krama yang tidak full berhias warna-warni dengan cat, cukup mencoretkan pamor atau kapur sirih pada dahi dan belakang kedua telinganya.
Seluluh peserta ngerebek berjalan kaki keliling wewidangan desa dengan diiringi gamelan baleganjur dan kulkul bambu. Ida Bhatara Sesuhunan Pura Dalem Tengkulak Kelod, berupa Barong dan Rangda, juga ikut kairing dalam ritual ngerebeg ini.
Bendesa Adat Tengkulak Kelod, Dewa Ngakan Ketut Suarbawa, mengatakan tradisi ritual ngerebeg ini digelar setahun sekali setiap mengawali sasih Kalima (bulan kelima sistem kalender Bali). “Tradisi ngerebeg ini bermakna sebagai tolak bala, seraya memohon keharmonisan jagat dan menetralisir aura yang bersifat negatif,” terang Ngakan Suarbawa di sela ritual ngerebeg, Kamis kemarin.
Sebelum prosesi ritual ngerebeg, ada tahapan yang mengawalinya. Tahapan awal itu berupa prosesi ritual nunas pasikepan berupa benang tridatu dan upacara pecaruan pada rahina Kajeng Kliwon pertama. Kemudian, saat rahina Kajeng Kliwon kedua kembali digelar upacara pecaruan di pura maupun rumah masing-masing. Barulah pada rahina Kajeng Kliwon ketiga Sasih Kalima, digelar tradisi ritual ngerebeg.
Ngakan Suarbawa menyebutkan, tradisi ritual ngerebeg ini sekaligus untuk mengiringi Ida Bhatara Sesuhunan Pura Dalem Tengkulak Kelod berupa Barong dan Rangda, yang tedun napak pertiwi. “Sesuai keyakinan krama Desa Adat Tengkulak Kelod, tradisi ritual ngerebeg ini bertujuan untuk nyomia butha kala,” terang Ngakan Suarbawa.
Berdasarkan tradisi yang diwarisi secara turun temurun, tradisi ritual ngerebeg di Desa Adat Tengkulak Kelod ini harus dilakukan siang hari. Kegiatan dimulai siang pukul 11.00 Wita, di mana seluruh krama mulai berdatangan ke Pura Dalem. Kemudian, krama bersama-sama menghaturkan sembah bhakti mohon anugerah. Habis sembahyang, dilanjut dengan ritual pokok ngerebeg keliling wewidangan desa adat.
Bagi krama yang tidak berhias full warna-warni dengan cat, mereka cukup mencoretkan pamor atau kapur sirih pada bagian dahi dan belakang kedua telinga. Coretan pamor ini semacam tanda, agar dalam prosesi ngerebeg mereka dilindungi.
Menurut Ngakan Suarbawa, dalam iring-iringan ngerebeg ini memang diyakini ada makhluk gaib ikut serta. Hanya saja, makhluk gaib itu tidak bisa dilihat secara kasat mata. “Kami yakin makhluk gaib ikut serta. Maka itu, di setiap perempatan yang dilalui iring-iringan dihaturkan banten segehan, yang bertujuan untuk menetralisir aura negatif,” papar Ngakan Suarbawa.
Rute keliling wewidangan desa dalam rirual ngerebeg di Desa Adat Tengkulak Kelod ini ditempuh selama 2 jam hingga siang pukul 14.00 Wita. Ritual ngerebeg mengambil start di Pura Dalem, lalu bergerak ke arah selatan menuju perbatasan dengan Banjar Batu Sepih, Desa Kemenuh. Dari situ, kembali bergerak ke arah utara hingga perbatasan dengan Banjar Tengkulak Tengah, Desa Kemenuh. “Terakhir, finish ke Pura Dalem lagi,” tegas Ngakan Suarbawa.
Yang menarik, ketika prosesi ngerebeg berakhir, ratusan krama lanang yang berhias seram-seram langsung berjalan kaki menuju Tukad Juga, yakni sungai di sebelah barat Pura Dalem, untuk membersihkan diri. Keringat yang bercucuran ketika mengikuti prosesi ngerebeg pun seketika hanyut di aliran sungai.
Dengan tubuh yang telah bersih dan segar, krama lanang kembali ke rumah masing-masing untuk melanjutkan aktivitas. “Tradisi ngerebeg ini tidak pernah ditiadakan. Ritual ini selalu digelar setahun sekali,” katanya.
Menurut Ngakan Suarbawa, tradisi ritual ngerebeg ini ini hanya diikuti oleh krama Desa Adat Tengkulak Kelod yang terdiri dari satu banjar adat, yakni Banjar Tengkulak Mas. Jumlah krama Desa Adat Tengkulak Kelod mencapai 270 kepala keluarga (KK), di mana mereka hampir semuanya ikut berpartisipasi dalam ritual ngerebeg.
Selain di Desa Adat Tengkulak Kelod, tradisi ritual ngerebeg dengan seluruh peserta mepayas aeng juga rutin digelar Desa Adat Tegallalang, Kecamatan Tegallalang serangkaian karya pujawali di Pura Duur Bingin pada Buda Kliwon Pahang. Ritual ngerebeg di Desa Adat Tegallalang ini melibatkan krama dari 7 banjar adat, yang semuanya mepayas aeng saat prosesi arak-arakan keliling desa.
Prosesi ritual ngerebeg di Desa Adat Tegallalang bermakna untuk membersihkan pikiran dalam bhuwana alit (tubuh manusia) dan bhuwana agung (alam semesta) secara niskala. Biasanya, ngerebeg dilaksanakan mulai siang pukul 11.00 Wita hingga sore pukul 15.00 Wita. Prosesi diawali dengan upacara pecaruan di Pura Duur Bingin. Setelah pecaruan, dilanjut menghaturkan paica alit yakni krama nunas ajengan berupa nasi berisi lawar yang langsung dinikmati bersama di halaman Pura Duur Bingin.
Setelah itu, krama lanjutkan ritual ngamedalang Ida Sasuhunan Pura Duur Bingin. Barulah kemudian peserta ngerebeg yang didominasi ABG lanang (laki-laki) melakukan ritual jalan kaki keliling desa, dengan hiasan tubuh menyeramkan. Pada saat bersamaan, kalangan krama dewasa menghaturkan sesaji di setiap pura dan setra (kuburan) yang dilewati dalam prosesi ngerebeg. Setelah keliling desa, perjalanan kembali ke areal Pura Duur Bingin. *nvi
Tradisi ritual ngerebeg teraanyar di Desa Adat Tengkulak Kelod dilaksanakan pada Wraspati Kliwon Warigadean, Kamis (21/10) siang. Ritual ini melibatkan ratusan krama lanang (laku-laki) dengan payas aeng, yang bergerak jalan kaki mengelilingi wewidangan (wilayah) Desa Adat Tengkulak Kelod, sambil mundut (membawa) berbagai sarana upacara, seperti tedung dan umbul-umbul.
Ratusan krama lanang, mulai dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia tampak merias diri dengan beragam rupa, warna, dan bentuk. Payas aeng itu sebagai simbol hadirnya bhutakala dalam diri manusia, yang harus dinetralisasi. Tujuannya, menghilangkan sifat buruk dalam diri manusia dan juga menetralisasi pengaruh negatif yang ada di wewidangan Desa Adat Tengkulak Kelod.
Krama lanang Desa Aadat Tengkulak Kelod yang berias seram dengan telanjang dada, ada pula yang mengenakan kaos. Mereka semua memakai busana bawahan berupa kain (kamen). Bagi krama yang tidak full berhias warna-warni dengan cat, cukup mencoretkan pamor atau kapur sirih pada dahi dan belakang kedua telinganya.
Seluluh peserta ngerebek berjalan kaki keliling wewidangan desa dengan diiringi gamelan baleganjur dan kulkul bambu. Ida Bhatara Sesuhunan Pura Dalem Tengkulak Kelod, berupa Barong dan Rangda, juga ikut kairing dalam ritual ngerebeg ini.
Bendesa Adat Tengkulak Kelod, Dewa Ngakan Ketut Suarbawa, mengatakan tradisi ritual ngerebeg ini digelar setahun sekali setiap mengawali sasih Kalima (bulan kelima sistem kalender Bali). “Tradisi ngerebeg ini bermakna sebagai tolak bala, seraya memohon keharmonisan jagat dan menetralisir aura yang bersifat negatif,” terang Ngakan Suarbawa di sela ritual ngerebeg, Kamis kemarin.
Sebelum prosesi ritual ngerebeg, ada tahapan yang mengawalinya. Tahapan awal itu berupa prosesi ritual nunas pasikepan berupa benang tridatu dan upacara pecaruan pada rahina Kajeng Kliwon pertama. Kemudian, saat rahina Kajeng Kliwon kedua kembali digelar upacara pecaruan di pura maupun rumah masing-masing. Barulah pada rahina Kajeng Kliwon ketiga Sasih Kalima, digelar tradisi ritual ngerebeg.
Ngakan Suarbawa menyebutkan, tradisi ritual ngerebeg ini sekaligus untuk mengiringi Ida Bhatara Sesuhunan Pura Dalem Tengkulak Kelod berupa Barong dan Rangda, yang tedun napak pertiwi. “Sesuai keyakinan krama Desa Adat Tengkulak Kelod, tradisi ritual ngerebeg ini bertujuan untuk nyomia butha kala,” terang Ngakan Suarbawa.
Berdasarkan tradisi yang diwarisi secara turun temurun, tradisi ritual ngerebeg di Desa Adat Tengkulak Kelod ini harus dilakukan siang hari. Kegiatan dimulai siang pukul 11.00 Wita, di mana seluruh krama mulai berdatangan ke Pura Dalem. Kemudian, krama bersama-sama menghaturkan sembah bhakti mohon anugerah. Habis sembahyang, dilanjut dengan ritual pokok ngerebeg keliling wewidangan desa adat.
Bagi krama yang tidak berhias full warna-warni dengan cat, mereka cukup mencoretkan pamor atau kapur sirih pada bagian dahi dan belakang kedua telinga. Coretan pamor ini semacam tanda, agar dalam prosesi ngerebeg mereka dilindungi.
Menurut Ngakan Suarbawa, dalam iring-iringan ngerebeg ini memang diyakini ada makhluk gaib ikut serta. Hanya saja, makhluk gaib itu tidak bisa dilihat secara kasat mata. “Kami yakin makhluk gaib ikut serta. Maka itu, di setiap perempatan yang dilalui iring-iringan dihaturkan banten segehan, yang bertujuan untuk menetralisir aura negatif,” papar Ngakan Suarbawa.
Rute keliling wewidangan desa dalam rirual ngerebeg di Desa Adat Tengkulak Kelod ini ditempuh selama 2 jam hingga siang pukul 14.00 Wita. Ritual ngerebeg mengambil start di Pura Dalem, lalu bergerak ke arah selatan menuju perbatasan dengan Banjar Batu Sepih, Desa Kemenuh. Dari situ, kembali bergerak ke arah utara hingga perbatasan dengan Banjar Tengkulak Tengah, Desa Kemenuh. “Terakhir, finish ke Pura Dalem lagi,” tegas Ngakan Suarbawa.
Yang menarik, ketika prosesi ngerebeg berakhir, ratusan krama lanang yang berhias seram-seram langsung berjalan kaki menuju Tukad Juga, yakni sungai di sebelah barat Pura Dalem, untuk membersihkan diri. Keringat yang bercucuran ketika mengikuti prosesi ngerebeg pun seketika hanyut di aliran sungai.
Dengan tubuh yang telah bersih dan segar, krama lanang kembali ke rumah masing-masing untuk melanjutkan aktivitas. “Tradisi ngerebeg ini tidak pernah ditiadakan. Ritual ini selalu digelar setahun sekali,” katanya.
Menurut Ngakan Suarbawa, tradisi ritual ngerebeg ini ini hanya diikuti oleh krama Desa Adat Tengkulak Kelod yang terdiri dari satu banjar adat, yakni Banjar Tengkulak Mas. Jumlah krama Desa Adat Tengkulak Kelod mencapai 270 kepala keluarga (KK), di mana mereka hampir semuanya ikut berpartisipasi dalam ritual ngerebeg.
Selain di Desa Adat Tengkulak Kelod, tradisi ritual ngerebeg dengan seluruh peserta mepayas aeng juga rutin digelar Desa Adat Tegallalang, Kecamatan Tegallalang serangkaian karya pujawali di Pura Duur Bingin pada Buda Kliwon Pahang. Ritual ngerebeg di Desa Adat Tegallalang ini melibatkan krama dari 7 banjar adat, yang semuanya mepayas aeng saat prosesi arak-arakan keliling desa.
Prosesi ritual ngerebeg di Desa Adat Tegallalang bermakna untuk membersihkan pikiran dalam bhuwana alit (tubuh manusia) dan bhuwana agung (alam semesta) secara niskala. Biasanya, ngerebeg dilaksanakan mulai siang pukul 11.00 Wita hingga sore pukul 15.00 Wita. Prosesi diawali dengan upacara pecaruan di Pura Duur Bingin. Setelah pecaruan, dilanjut menghaturkan paica alit yakni krama nunas ajengan berupa nasi berisi lawar yang langsung dinikmati bersama di halaman Pura Duur Bingin.
Setelah itu, krama lanjutkan ritual ngamedalang Ida Sasuhunan Pura Duur Bingin. Barulah kemudian peserta ngerebeg yang didominasi ABG lanang (laki-laki) melakukan ritual jalan kaki keliling desa, dengan hiasan tubuh menyeramkan. Pada saat bersamaan, kalangan krama dewasa menghaturkan sesaji di setiap pura dan setra (kuburan) yang dilewati dalam prosesi ngerebeg. Setelah keliling desa, perjalanan kembali ke areal Pura Duur Bingin. *nvi
Komentar