Kusir Dokar di Kuta Belum ‘Kecipratan’ Rezeki Turis Domestik
MANGUPURA, NusaBali.com - Satu setengah bulan setelah Pantai Kuta dibuka kembali sejak diberlakukannya PPKM, turis domestik tampak mulai memadati pantai berpasir putih tersebut.
Namun demikian banyaknya wisatawan yang datang belum mendatangkan cuan bagi si empunya dokar, alias kusir dokar.
Bagi yang sering melintas di sepanjang Jalan Pantai Kuta maka tidak asing lagi dengan dokar-dokar yang parkir di pingir jalan. Mereka biasanya sudah tampak sekitar pukul 12.00 bersiap menyewakan jasa keliling kawasan Kuta menggunakan dokar yang ditarik oleh kuda.
“Sering kosong, dapat satu kali, besoknya kosong lagi,” kata Masun, 62, seorang kusir dokar yang biasa mangkal di Jalan Pantai Kuta, Minggu (24/10/2021).
Dikatakan Masun yang sudah sejak tahun 1990 menjadi kusir dokar, mulai ramainya kedatangan wisatawan domestik ke Pantai Kuta belum diikuti oleh naikknya jumlah wisatawan yang ingin merasakan sensasi naik dokar keliling Kuta.
Masun memasang tarif Rp 100.000 untuk sekali jalan, melewati Jalan Pantai Kuta, berputar ke Jalan Melasti, Jalan Sriwijaya, Jalan Legian, hingga kembali lagi ke Jalan Pantai Kuta.
Menunggu hingga pukul 21.00 seringnya Masun pulang dengan tangan kosong. Ia menuturkan jika sebelum pandemi Covid-19 hampir setiap hari ada saja satu hingga dua permintaan untuk berkeliling Kuta menaiki dokarnya.
Di usianya saat ini tentu Masun tidak berpikir untuk banting setir berganti profesi. Selain itu, menjadi kusir dokar lebih dari sekadar profesi baginya. Sudah tiga generasi termasuk dirinya yang dia ketahui menjalankan profesi sebagai kusir dokar.
“Menerima warisan hobi dari orangtua, dari kakek ke bapak, dari bapak ke saya,” ungkap Masun pria yang tinggal di Kampung Islam Kepaon, Denpasar Selatan.
Sementara teman-temannya yang lain sesama kusir dokar telah banyak yang beralih profesi sekadar untuk mensiasati kondisi saat ini. Ia mengatakan dari puluhan temannya yang berprofesi kusir dokar kini hanya tersisa tiga orang saja yang masih setia menunggu penumpang di Pantai Kuta.
Dengan tidak adanya pemasukan yang pasti dari usaha jasa keliling dokar, bisa dibayangkan bagaimana Masun harus memenuhi kebutuhan operasional terutama kebutuhan pakan dari kuda yang biasa dia ajak bekerja.
Menurutnya, dalam sehari ia harus menyiapkan makan berupa rumput, jagung, dan dedak untuk diberikan kepada kudanya. Untuk itu, setidaknya ia harus menyiapkan Rp 50 ribu dalam sehari. Masun pun berkelakar jika ia harus berutang terlebih dahulu kepada teman-temannya.
Di sisi lain, kepada pihak Desa Adat Kuta Masun mengaku harus membayar retribusi sebesar Rp 100.000 setiap bulannya. Dikarenakan pandemi, ia pun mengaku belum membayar iuran tersebut mengingat belum adanya pemasukan yang jelas.
Beratnya situasi saat ini juga membuat Masun mengeluhkan banyaknya aturan yang dikeluarkan pemerintah yang pada akhirnya membatasi jumlah kunjungan wisatawan ke Bali. Ia pun tidak berharap banyak kepada pemerintah kecuali bantuan berupa kebutuhan hidup sehari-hari. “Tidak berharap macam-macam, cuma berharap ada bantuan sembako,” pungkas Masun. *adi
1
Komentar