Ingin Tahu Sejarah Desa, 114 Lontar Diidentifikasi
Sebanyak 114 cakep Lontar milik empat dadia di Desa Pakraman Beratan Samayaji, Kelurahan Beratan, Kecamatan Buleleng dikeluarkan sejak Sabtu (28/1) pagi.
SINGARAJA, NusaBali
Seluruh krama empat dadia sepakat untuk mengidentifkasi Lontar yang selama ini hanya tersimpan rapi dan apik di gedong simpen dan kamar suci masing-masing dadia. Tujuannya, untuk menelusuri sejarah desanya yang punya adat dan budaya mirip Desa Tenganan Pagringsingan.
Empat dadia pemilik 114 cakep Lontar yang diidentifikasi tersebut masing-masing Dadia Keluarga Nyoman Ngurah Suharta, Dadia Keluarga Putu Sima, Dadia Keluarga Nyoman Rupadi, dan Dadia Keluarga Made Ngurah Wedana. Identifikasi Lontar dilakukan di Pura Desa Pakraman Beratan, dengan dibantu sejumlah Penyuluh Bahasa Bali yang ada di Kabupaten Buleleng.
Sebelum 114 cakep Lontar diturunkan dari gedong simpen dan tempat suci, krama masing-masing dadia lebih dulu melakukan upacara atur piuning (pemberitahuan secara niskala) dan memohon petunjuk kepada leluhur mereka. Selanjutnya, Lontar yang sebagian besar sudah berusia ratusan tahun itu dibawa ke Pura Desa Pakraman Beratan, untuk dibuatkan upacara sederhana sebagai simbol memohon petunjuk dan kelancaran identifikasi.
Kegiatan identifikasi Lontar oleh para Penyuluh Bahasa Bali di Pura Desa Pakraman Beratan tersebut disaksikan pula Lurah Beratan, I Made Wibawa, dam sejumlah krama setempat. Dalam dua hari pertama identifikasi, Sabtu dan Minggu (29/1), baru 20 cakep Lontar yang teridentifikasi. Untuk identifikasi lanjutan rencananya akan kembali dilakukan, Senin (30/1) ini.
Kepala Lingkungan (Kaling) Beratan, Kelurahan Beratan, I Nyoman Ngurah Suharta, mengatakan krama empat dadia terinspirasi untuk mengidentifikasi 114 Lontar miliknya tersebut, karena selama ini mereka tidak tahu persis kapan awal mula Lontar dibuat, oleh siapa, dan apa saja isinya? Lagipula, saat ini sudah ada Penyuluh Bahasa Bali yang tersebar di semua desa pakraman dan siap bantu membaca isi-isi Lontar tersebut.
“Sebelumnya, kami dari Dadia Pande Beratan Samayaji memang mengadakan paruman. Nah, dari sanalah tercetus ide intuk identifiaksi Lontar dan disetujui oleh empat dadia, yakni Dadia Keluarga Nyoman Ngurah Suharta, Dadia Keluarga Putu Sima, Dadia Keluarga Nyoman Rupadi, dan Dadia Keluarga Made Ngurah Wedana,” ungkap Nyoman Ngurah Suharta kepada NusaBali di sela-sela kegiatan identifikasi Lontar di Pura Desa Pakraman Beratan, Minggu (29/1).
Ngurah Suharta menyebutkan, identifikasi 114 Lontar tersebut dilakukan atas spirit untuk mencari jatidiri dan sejarah Desa Pakraman Beratan, yang sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Bahkan, pihaknya masih meragukan kalau Desa Pakraman Beratan sempat disebut salah satu Desa Bali Aga di zaman dulu, karena data yang menguatkan hal itu belum ditemukan sampai sekarang.
Menurut Ngurah Suharta, pihaknya sempat menggali sejarah Desa Pakraman Beratan dari sejumlah Lontar yang ada di Gedung Kirtya Singaraja. Namun, hasilnya masih nihil. Bahkan, beberapa tokoh desa setempat juga sempat melakukan studi banding ke Desa Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem, yakni sebuah Desa Baliaga yang memiliki adat dan budaya hampir sama dengan Desa Pakraman Beratan.
Kesamaan dengan Desa Tenganan Pagringsingan itu, antara lain, tidak boleh meminang wanita dari luar Desa Pakraman Beratan dan tidak memberlakukan upacara pengabenan terhadap orang yang meninggal. Meski adat dan kebiasaan ini kini sudah tidak ada lagi di Desa Pakraman Beratan, namun Ngurah Suharta dan krama setempat yang merupakan keturunan Pande masih penasaran.
Itu sebabnya, para tokoh Desa Pakraman Beratan antusias dengan dilakukannya identifikasi 114 Lontar ini. “Siapa tahu setelah nanti diidentifikasi Lontar-lontar ini, ada yang memuat sejarah Desa Pakraman Beratan, sehingga kami mendapatkan jatidiri dari leluhur yang sudah mendahului,” papar Ngurah Suharta.
Menurut Ngurah Suharta, keberadaan 114 Lontar tersebut selama ini hanya disimpan di gedong simpen dan kamar suci masing-masing dadia. Generasi muda dan penerus keturunan krama Beratan sangat buta terkait pengetahuan Lontar. Keterbatasan itu membuat 114 Lontar tersebut hanya disimpan dengan baik dan sesekali diupacarai ketika tiba piodalan di masing-masing dadia.
Disebutkan, sebelumnya Lontar di internal Dadia Keluarga Ngurah Suharta memang sempat dibaca oleh salah seorang pengurus PHDI Buleleng. Hanya saja, karena keterbatasan waktu, Lontar-lontar itu tidak tuntas dibaca dan diterjemakan. “Nah, ketika ada Penyuluh Bahasa Bali, pihak Desa Pakraman Beratan pun mengundang mereka untuk membaca dan menterjemahkan ratusan Lontar yang dimiliki krama setempat,” katanya.
Harapan senada juga disampaikan Kelian Desa Pekraman Beratan Samayaji, I Ketut Benny Dirgariawan. Pihaknya berharap ada titik terang tentang keberadaan desanya dengan identifikasi 114 Lontar milik krama setempat. Bendesa Ketut Benny berharap krama dadia yang memiliki Lontar bisa menyerahkan warisan leluhur mereka untuk dilakukan identifikasi oleh Penyuluh Bahasa Bali.
“Harapan kita, semua krama desa yang punya Lontar nanti menyerahkan Lontar-nya untuk diidentifikasi oleh Penyuluh Bahasa Bali. Setidaknya kita juga akan tahu seperti apa isi yang terkandung dalam Lontar tersebut,” harap Ketut Benny saat dikonfirmasi NusaBali di tempat yang sama, Minggu kemarin.
Sementara itu, Ketua Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali, I Nyoman Suka Ardiyasa, mengatakan dari 114 Lontar milik empat dadia di Desa Pakraman Beratan, yang ada sudah teridentifikasi hingga kemarin baru 20 Lontar. Selanjutnya, akan dilakukan pembacaan dan penerjemahan isi Lontar tersebut pada hari-hari kerja.
Suka Ardiyasa menyebutkan, dari hasil pembacaan sementara 20 Lontar yang sudah teridentifikasi, ada Lontar yang ditulis tahun 1823. Isi Lontar tersebut memuat tentang wariga, kawiswasan, usada, dan beberapa kanda. “Ada satu cakep Lontar yang temukan berjudul Pangeger Kidang Emas,” papar Suka Ardiyasa di Pura Desa Pakraman Beratan, Minggu kemarin.
Menurut Suka Ardiyasa, untuk langkah awal, Penyuluh Bahasa Bali hanya melakukan proses pendataan, kemudian dilakukan konservasi, serta identifikasi untuk mengetahui tentang judul, penulis, dan isi dari Lontar tersebut. “Dari identifikasi ini kan kita jadi tahu, siapa penulisnya, ada berapa halaman, kemudian isinya seperti apa? Kami juga memberikan edukasi kepada pemilik Lontar tentang bagaimana cara menyimpan dan merawat Lontar yang baik,” jelas Suka Ardiyasa. * k23
Empat dadia pemilik 114 cakep Lontar yang diidentifikasi tersebut masing-masing Dadia Keluarga Nyoman Ngurah Suharta, Dadia Keluarga Putu Sima, Dadia Keluarga Nyoman Rupadi, dan Dadia Keluarga Made Ngurah Wedana. Identifikasi Lontar dilakukan di Pura Desa Pakraman Beratan, dengan dibantu sejumlah Penyuluh Bahasa Bali yang ada di Kabupaten Buleleng.
Sebelum 114 cakep Lontar diturunkan dari gedong simpen dan tempat suci, krama masing-masing dadia lebih dulu melakukan upacara atur piuning (pemberitahuan secara niskala) dan memohon petunjuk kepada leluhur mereka. Selanjutnya, Lontar yang sebagian besar sudah berusia ratusan tahun itu dibawa ke Pura Desa Pakraman Beratan, untuk dibuatkan upacara sederhana sebagai simbol memohon petunjuk dan kelancaran identifikasi.
Kegiatan identifikasi Lontar oleh para Penyuluh Bahasa Bali di Pura Desa Pakraman Beratan tersebut disaksikan pula Lurah Beratan, I Made Wibawa, dam sejumlah krama setempat. Dalam dua hari pertama identifikasi, Sabtu dan Minggu (29/1), baru 20 cakep Lontar yang teridentifikasi. Untuk identifikasi lanjutan rencananya akan kembali dilakukan, Senin (30/1) ini.
Kepala Lingkungan (Kaling) Beratan, Kelurahan Beratan, I Nyoman Ngurah Suharta, mengatakan krama empat dadia terinspirasi untuk mengidentifikasi 114 Lontar miliknya tersebut, karena selama ini mereka tidak tahu persis kapan awal mula Lontar dibuat, oleh siapa, dan apa saja isinya? Lagipula, saat ini sudah ada Penyuluh Bahasa Bali yang tersebar di semua desa pakraman dan siap bantu membaca isi-isi Lontar tersebut.
“Sebelumnya, kami dari Dadia Pande Beratan Samayaji memang mengadakan paruman. Nah, dari sanalah tercetus ide intuk identifiaksi Lontar dan disetujui oleh empat dadia, yakni Dadia Keluarga Nyoman Ngurah Suharta, Dadia Keluarga Putu Sima, Dadia Keluarga Nyoman Rupadi, dan Dadia Keluarga Made Ngurah Wedana,” ungkap Nyoman Ngurah Suharta kepada NusaBali di sela-sela kegiatan identifikasi Lontar di Pura Desa Pakraman Beratan, Minggu (29/1).
Ngurah Suharta menyebutkan, identifikasi 114 Lontar tersebut dilakukan atas spirit untuk mencari jatidiri dan sejarah Desa Pakraman Beratan, yang sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Bahkan, pihaknya masih meragukan kalau Desa Pakraman Beratan sempat disebut salah satu Desa Bali Aga di zaman dulu, karena data yang menguatkan hal itu belum ditemukan sampai sekarang.
Menurut Ngurah Suharta, pihaknya sempat menggali sejarah Desa Pakraman Beratan dari sejumlah Lontar yang ada di Gedung Kirtya Singaraja. Namun, hasilnya masih nihil. Bahkan, beberapa tokoh desa setempat juga sempat melakukan studi banding ke Desa Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem, yakni sebuah Desa Baliaga yang memiliki adat dan budaya hampir sama dengan Desa Pakraman Beratan.
Kesamaan dengan Desa Tenganan Pagringsingan itu, antara lain, tidak boleh meminang wanita dari luar Desa Pakraman Beratan dan tidak memberlakukan upacara pengabenan terhadap orang yang meninggal. Meski adat dan kebiasaan ini kini sudah tidak ada lagi di Desa Pakraman Beratan, namun Ngurah Suharta dan krama setempat yang merupakan keturunan Pande masih penasaran.
Itu sebabnya, para tokoh Desa Pakraman Beratan antusias dengan dilakukannya identifikasi 114 Lontar ini. “Siapa tahu setelah nanti diidentifikasi Lontar-lontar ini, ada yang memuat sejarah Desa Pakraman Beratan, sehingga kami mendapatkan jatidiri dari leluhur yang sudah mendahului,” papar Ngurah Suharta.
Menurut Ngurah Suharta, keberadaan 114 Lontar tersebut selama ini hanya disimpan di gedong simpen dan kamar suci masing-masing dadia. Generasi muda dan penerus keturunan krama Beratan sangat buta terkait pengetahuan Lontar. Keterbatasan itu membuat 114 Lontar tersebut hanya disimpan dengan baik dan sesekali diupacarai ketika tiba piodalan di masing-masing dadia.
Disebutkan, sebelumnya Lontar di internal Dadia Keluarga Ngurah Suharta memang sempat dibaca oleh salah seorang pengurus PHDI Buleleng. Hanya saja, karena keterbatasan waktu, Lontar-lontar itu tidak tuntas dibaca dan diterjemakan. “Nah, ketika ada Penyuluh Bahasa Bali, pihak Desa Pakraman Beratan pun mengundang mereka untuk membaca dan menterjemahkan ratusan Lontar yang dimiliki krama setempat,” katanya.
Harapan senada juga disampaikan Kelian Desa Pekraman Beratan Samayaji, I Ketut Benny Dirgariawan. Pihaknya berharap ada titik terang tentang keberadaan desanya dengan identifikasi 114 Lontar milik krama setempat. Bendesa Ketut Benny berharap krama dadia yang memiliki Lontar bisa menyerahkan warisan leluhur mereka untuk dilakukan identifikasi oleh Penyuluh Bahasa Bali.
“Harapan kita, semua krama desa yang punya Lontar nanti menyerahkan Lontar-nya untuk diidentifikasi oleh Penyuluh Bahasa Bali. Setidaknya kita juga akan tahu seperti apa isi yang terkandung dalam Lontar tersebut,” harap Ketut Benny saat dikonfirmasi NusaBali di tempat yang sama, Minggu kemarin.
Sementara itu, Ketua Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali, I Nyoman Suka Ardiyasa, mengatakan dari 114 Lontar milik empat dadia di Desa Pakraman Beratan, yang ada sudah teridentifikasi hingga kemarin baru 20 Lontar. Selanjutnya, akan dilakukan pembacaan dan penerjemahan isi Lontar tersebut pada hari-hari kerja.
Suka Ardiyasa menyebutkan, dari hasil pembacaan sementara 20 Lontar yang sudah teridentifikasi, ada Lontar yang ditulis tahun 1823. Isi Lontar tersebut memuat tentang wariga, kawiswasan, usada, dan beberapa kanda. “Ada satu cakep Lontar yang temukan berjudul Pangeger Kidang Emas,” papar Suka Ardiyasa di Pura Desa Pakraman Beratan, Minggu kemarin.
Menurut Suka Ardiyasa, untuk langkah awal, Penyuluh Bahasa Bali hanya melakukan proses pendataan, kemudian dilakukan konservasi, serta identifikasi untuk mengetahui tentang judul, penulis, dan isi dari Lontar tersebut. “Dari identifikasi ini kan kita jadi tahu, siapa penulisnya, ada berapa halaman, kemudian isinya seperti apa? Kami juga memberikan edukasi kepada pemilik Lontar tentang bagaimana cara menyimpan dan merawat Lontar yang baik,” jelas Suka Ardiyasa. * k23
1
Komentar