Pembelajaran yang Hilang
PANDEMI Covid-19 menghantam hampir semua aspek kehidupan, keluarga, sekolah maupun masyarakat. Tanpa terasa, banyak hal tumbuh dan hilang setelah beberapa saat terus berada di rumah, ada yang positif dan adapula negatifnya.
Positifnya, karantina mandiri memberikan waktu lebih untuk saling mengakrabi apa yang renggang, menata-ulang apa yang kurang terurus. Negatifnya, misalnya pendidikan anak diperankan orangtua semampunya, karena mereka tidak dipersiapkan sebagai pendidik, tidak paham liku-liku konseling dan sebagainya, apa yang biasa dilakukan pendidik maupun konselor diambil-alih orangtua.
Interaksi demikian terasa ada yang hilang, didaktik-metodik yang gayut dengan pembelajaran tergerus, menipis dan gamang! Para pakar pendidikan menyebutnya sebagai ‘learning loss’, hilangnya atmosfir mendidik bagai menangisi dia yang telah tiada!
Sederhananya,’learning loss’ merujuk pada kondisi hilangnya sebagian kecil atau besar pengetahuan dan keterampilan, karena terhentinya pratek terbaik. Misalnya, belajar di rumah dapat menipisnya pengetahuan dan kemampuan, dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan keterampilan pendamping, atau diskutinuitas monitoring dan evaluasi.
Secara medis, pemeriksaan darah merupakan pemeriksaan penunjang paling umum. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sampel darah untuk di analisis di laboratorium. Melalui pemeriksaan penunjang dapat dipantau beberapa komponen darah dan fungsi organ, meliputi: sel darah, seperti sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit atau keping darah, plasma darah, zat kimia darah, gas darah, fungsi organ tertentu, dan tumor marker!
Sebelum pandemi ditengarai ‘learning loss’ juga telah terjadi. Fenomenanya, gelar akademik berjibun tetapi tidak meningkatkan kreatifitas, kekritisan berpikir, kolaborasi, dan komunikasi. Saat ini, berbagai aspek kehidupan telah mengakrabi teknologi digital. Kemajuan teknologi sering menggantikan kreativitas dan kekritisan berpikir. Misalnya, keterampilan berhitung mencongak tergantikan oleh komputer, menarasikan peristiwa secara kronologis lisan dipercepat dengan meng- ‘copy and paste’ dari tetangga. Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, dikhawatirkan ‘learning loss’ akan melambatkan dalam mengejar ketertinggalan, dan guru mengirimkan banyak tugas online sebagai ketentuan penilaian dan peserta didik melakukan ‘copy and paste’ dengan berselancar di dunia maya!
Masyarakat juga merasakan ekses dari kesenjangan yang berkepanjangan atau ketidak-berlangsungannya proses pendidikan. Menurut ‘The Education and Development Forum (2020 terganggunya proses pendidikan formal, akan menuurunkan tingkat keinginan masyarakat untuk belajar. Dengan tidak pergi sekolah, kebanyakan peserta didik merasa seperti tidak memiliki alasan dan motivasi yang cukup kuat untuk belajar. Ketika biasanya guru memerhatikan mereka secara langsung di kelas, tingkat keinginan belajar mereka relatif lebih terjaga. Tetapi saat tidak ada guru, biasanya kesadaran belajar ini pun menurun. Tinggalah orang tua di rumah berjuang lebih keras agar mereka tetap semangat belajar disamping meyakinkan mereka ada dalam kondisi aman dan sehat.
Dampak lainnya yaitu meningkatnya kesenjangan. Pembelajaran melalui moda daring atau pembelajaran jarak jauh membuka peluang adanya kesenjangan belajar peserta didik. Peserta didik yang memiliki fasilitas belajar yang baik, dukungan keluarga yang utuh, hampir pasti memiliki tingkat keberhasilan dan keterlibatan yang baik dalam belajar. Tidak dipungkiri, banyak peserta didik yang minim fasilitas dan dukungan keluarga yang kurang, tetap bersemangat dalam belajar, namun tentu ini situasi yang anomali. Kurang efektifnya tes formatif, ditiadakannya berbagai evaluasi, cukup membuat peserta didik dan guru kehilangan acuan seberapa jauh pembelajaran dikatakan berhasil.
Kenyataan yang menyedihkan adanya kemungkinan putus sekolah. Ketidak-pastian akan kapan sekolah kembali normal berakibat pada munculnya kebosanan, yang mendorong beberapa peserta didik ingin berhenti sekolah. Alasan ketiadaan fasilitas, kebingungan menghadapi tugas yang dianggap terus menerus dan memberatkan, juga kebosanan membuka jalan untuk para siswa yang hidup di tengah keterbatasan untuk memilih bekerja, sehingga dapat meringkankan beban keluarga dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Tentu ini harus dihadapi dengan penuh empati, terutama mereka yang sudah duduk di kelas/tingkat akhir masa pendidikannya. Waktu dan tenaga yang sudah mereka berikan akan terbuang percuma ! Marilah dengan hati kita tingkatkan kualitas pendidikan dan mencegah ‘learning loss’. Semoga yang hilang akan kembali utuh dan meningkat kualitasnya! 7
Penulis : Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
1
Komentar