Bergerak, Mengajak Anak Muda Cintai Lontar
Lontar jangan terlalu di-tenget-kan, agar ilmu di dalamnya tak sirna dimakan ngetnget.
Komunitas Lontar Bali
TABANAN, NusaBali
Pecinta lontar tak lagi didominasi kalangan tua. Kini, anak-anak muda bergerak untuk melestarikan ilmu yang tertoreh di daun lontar. Bukan saatnya lagi, lontar hanya ditedunkan (diturunkan) dari pelangkiran (tempat suci) lalu diupacarai saat piodalan Saraswati, hari turunnya ilmu pengetahuan. Tetapi setiap saat, setiap waktu baca lontar, ilmu yang terkandung di dalamnya dihayati untuk kesejahteraan hidup.
Salah satu teruna yang aktif melestarikan lontar di Bali yakni I Gusti Ngurah Wiriawan, 26. Tenaga honorer di Dinas Kebudayaan Provinsi Bali ini bersama 7 orang karibnya membentuk Komunitas Lontar Bali pada tahun 2012. Selain rutin pamerkan lontar saat Pesta Kesenian Bali (PKB), Komunitas Lontar Bali juga aktif mengajarkan nyurat lontar, seminggu sekali di Art Centre, Denpasar. Termasuk turun ke desa membina anak-anak, remaja, hingga orangtua menulis hingga merawat lontar.
“Kami berdelapan membentuk Komunitas Lontar Bali berawal dari kecintaan terhadap luhurnya warisan leluhur berupa lontar. Basic kami di Komunitas Lontar Bali beragam, ada yang jebolan IT hingga Teknik Mesin,” ungkap Ngurah Wiriawan, Sabtu (5/12). Teruna asal Banjar Pemijian, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Badung, ini mengawali turun bersama kawan-kawannya guna menyadarkan masyarakat merawat lontar dengan baik. Termasuk menyebarkan ‘virus’ kepada para yowana (generasi muda) agar mau belajar lontar.
“Lontar itu tidak tenget (angker). Kalau kita terlalu nengetang (memistikkan) lontar, justru rusak dimakan ngetnget (ngengat),” ucap Gung Wiriawan, sapaan akrabnya. Usaha Komunitas Lontar Bali tak langsung diterima. Namun lambat laun, mereka sukses menggiring anak-anak muda mencintai lontar yang berlanjut dengan aktifitas penulisan pada daun lontar. Pameran lontar di studio patung Art Centre Denpasar bagai magnet untuk menarik anak muda tahu lontar.
“Pengunjung sangat antusias. Anak muda yang datang tak hanya dari kalangan mahasiswa jurusan bahasa Bali. Anak SMA dan masyarakat umum juga berdatangan. PKB tahun ini (2015, red) merupakan pameran yang keempat,” urai Gung Wiriawan. Ia mengakui tak memiliki koleksi lontar, pun anggota lainnya. Namun mereka sukses berpameran karena mendapat dukungan dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Lontar-lontar yang dipamerkan merupakan pinjaman dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Ada 15 jenis lontar dikenalkan ke masyarakat saat pameran itu. Masing-masing lontar sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Ke-15 lontar yang dipamerkan di antaranya Carcan Janma, Carcan Titiran, Asta Kosala Kosali, Tutur Sang Hyang Wismakarma, Wraspati Tatwa, Buana Kosa, Budha Kecapi, Usada Rare, Putru Pasaji, Aji Janantaka, Taru Pramana, Purwaning Bhumi Kamulan, Geguritan Sebun Bangkung, Tutur Watugunung, dan Kala Purana. Pemilihan didasarkan dari isinya. Paling banyak menarik minat pengunjung yakni Lontar Kosala-Kosali, Lontar Taru Permana, dan Lontar Carcah Janma. Dikatakan, pengunjung diwajibkan isi daftar kunjungan dengan menggunakan aksara Bali. Hal ini dilakukan sebagai salah satu motivasi pengenalan huruf Bali bagi masyarakat.
Teruna lainnya, Gede Gita Purnama juga suka baca lontar. Tilem, sapaan pemuda ini memang tak memiliki koleksi lontar secara fisik, namun punya beberapa dalam bentuk digital. Seperti Lontar Satua, Wariga, dan Kalpa Sastra. Penggiat dan pamilpil (pengumpul) sastra Bali modern ini menyebut anak muda kini sudah banyak yang tahu lontar. Ia pun suka mengajak anak muda Bali baca lontar. Caranya dengan mengubah cara pandang pemuda, baca lontar tidaklah seram melainkan menyenangkan. 7
1
Komentar