Kasta Lebah Made Cupliz
Banyak orang Bali senang berada dalam lingkungan budaya kasta. Penganut triwangsa (brahmana, ksatria, wesia), bahkan sangat menikmati pembagian kasta dalam kehidupan adat. Kelompok ini berharap pembagian kasta mesti diteruskan, harus selalu ada.
Di antara mereka banyak berpendapat, bukankah manusia memang sudah berbeda, ditakdirkan tidak sama, sejak lahir? Jika ada yang berkasta rendah, jangan menyesal kenapa tidak dilahirkan sebagai makhluk berkasta tinggi. Seorang brahmana separo baya, dosen di sebuah perguruan tinggi agama, pernah berkomentar, jangankan makhluk, batu saja berbeda. Ia berpendapat, terimalah dengan damai kasta yang kita dapatkan.
Kelompok yang menikmati privilese, hak istimewa, dalam kehidupan sosial di Bali ini, tidak seluruhnya sepakat kalau seseorang berkasta lebih tinggi dengan sendirinya juga punya nilai lebih tinggi. Orang-orang seperti ini enggan menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya, kecuali untuk tujuan kedinasan yang mengharuskan menulis nama lengkap. Namun mereka tidak pernah bergiat untuk menyadarkan sanak saudara sekasta agar selalu bersikap egaliter, menempatkan siapa pun berderajat sama.
Golongan lain adalah yang menentang kasta, tentu mereka dari kalangan kasta rendah, kaum sudrawan. Mereka acap mengeluh, pembagian kasta menyuburkan feodalisme, seseorang seenaknya merendahkan orang lain. Mereka setuju kalau kasta ditiadakan saja. “Kita ngomong halus sama yang berkasta tinggi, eh, enak saja mereka ngomong kasar sama kita,” begitu sering keluhan terdengar.
Tapi dalam kenyataan sehari-hari, golongan ini tidak bisa mengelak dari perbedaan kelas kalau sudah terlibat dalam kegiatan adat dan keagamaan. Mereka cuma bisa mengeluh, mengapa kasta terus menerus menjadi perbedaan derajat. Mengapa kasta tidak bisa dikembalikan ke pengertian aslinya sebagai penerapan sistem warna yang bersumber dari Weda.
Ada juga pihak-pihak yang tidak begitu peduli pada kasta. Kebanyakan mereka orang-orang muda. Dengan kawan berkasta tinggi, seorang sudra leluasa bicara kasar, apa adanya, egaliter, sama saja, sederajat. Kalangan anak muda sungguh-sungguh tidak mengenal kasta. Tapi, begitu mereka menjadi bagian dari kehidupan sistem kekerabatan banjar, misalnya karena sudah berkeluarga, mereka harus mengikuti arus kuat kasta sebagai perbedaan kelas.
Mereka mesti bertutur kata sopan kepada yang berkasta tinggi, harus merunduk-runduk tatkala menjemput sulinggih untuk muput upakara. Harus rela menerima kenyataan sulinggih bicara kasar, harus dijawab dengan bahasa halus dan santun, sehingga perbedaan derajat kian kentara.
Kasta tidak hanya dikenal di kalangan umat Hindu. Menurut Made Cupliz, 37, peternak lebah trigona yang tanpa sengat, penghasil madu kele di Balangan, Mengwi, kasta juga ada dalam kehidupan ternak lebah. Kalau manusia menjadikan kasta sebagai perbedaan derajat, dalam dunia lebah kasta merupakan pembagian kerja, sesuai dengan pengertian warna dalam Weda.
Made Cupliz punya 200 log lebih, yang masing-masing setidaknya dihuni 500 lebah trigona. “Mereka masing-masing punya tugas, dan melakoninya dengan tertib dan disiplin,” ujar Cupliz. Dalam setiap log ada seekor lebah ratu, yang lain ada lebah jantan, cuma bertugas mengawini ratu. Ada pula lebah pekerja, rajin dan gigih terbang menghisap sari bunga, menjelajah radius sejauh kurang lebih 2 kilometer. “Ada lebah golongan yang bertugas bersih-bersih, ibarat petugas cleaning service,” jelas Cupliz. Golongan ini bertanggungjawab terhadap kebersihan log, membuang sampah ke luar sarang.
Ada lebah bertugas sebagai security, penjaga keamanan. Lebah ini selalu berputar-putar di sekitar sarang, mewaspadai kalau-kalau muncul mahluk asing yang berniat menerobos masuk merusak. Ini menjadi pemandangan menarik, sekitar log selalu ada lebah terbang, seperti sebuah onggokan yang dikelilingi lalat terus menerus. Kadang ada lebah dari spesies lain yang kasar, suka mengobrak-abrik sarang. “Mereka seperti lebah preman,” gurau Cupliz.
Lebah ratu tentu punya batas umur, ia akan uzur dan mati. Kaum lebah itu akan memilih seekor lebah terbaik untuk dijadikan ratu. Mereka memberi asupan bergizi, seperti royal jelly, agar calon ratu itu tumbuh sehat, kuat dan menjadi penerus kehidupan generasi lebah berikutnya. Pemilihan lebah ratu ditentukan secara bersama-sama, tentu demokratis, karena mereka adalah makhluk egaliter. Jika ratu terpilih apakah dirayakan, dan ada proklamasi? Entahlah.
Bisa jadi umat Hindu di Bali bisa bercermin pada lebah trigona, yang menjadikan kasta sebagai pembagian warna, berorientasi pada kerja dan produktivitas, seperti diajarkan Weda, agar konflik perbedaan kasta terhindarkan. *
Aryantha Soethama
1
Komentar