Ngelawang, Tradisi Penetralisir Aura Negatif Sambut Hari Raya Galungan
GIANYAR, NusaBali.com – Hari Raya Galungan memberika spirit bagi umat Hindu di Bali, tidak terkecuali anak-anak dan remaja.
Semangat tersebut tersalurkan melalui pelaksanaan tradisi ngelawang (menarikan barong) sebagai rangkaian perayaan hari raya Galungan.
Seperti yang terlihat di sekitar wilayah kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, pada Penampahan Galungan, Selasa (9/11/2021). Sekelompok anak-anak dan remaja berbusana adat Bali, terlihat dengan antusias, menarikan serta menggebuk gamelan melaksanakan tradisi ngelawang.
“Meskipun anak-anak atau remaja yang melakukan ngelawang itu bukan berasal dari Kelurahan Ubud, saya tetap mengapresiasi semangat generasi muda dalam melestarikan seni budaya Bali. Asal turut menjaga ketertiban masyarakat sekitar,” ujar I Gusti Nyoman Suastika, Lurah Ubud.
I Gusti Nyoman Suastika pun menyatakan bahwa anak-anak dan remaja dari kelurahan Ubud, semenjak pandemi Covid-19 melanda dari bulan Maret 2020 yang lalu, hingga saat ini belum terlihat melaksanakan kembali tradisi ngelawang pada saat rangkaian perayaan hari raya Galungan. “Yang sekarang ngelawang itu kan anak-anak dari daerah lain. Diturunkan menggunakan mobil bak, nanti sekitar sore menjelang malam dijemput. Untuk daerah asal kelompok itu hingga saat ini saya pribadi belum mengetahui secara pasti,” tambahnya.
Sementara itu, melihat perkembangan zaman dan seiring berjalannya waktu, I Gusti Nengah Hari Mahardika, yang merupakan Ketua Sanggar Haridwipa Gamelan Group, mengkhawatirkan pergeseran makna serta tujuan dari tradisi ngelawang tersebut. “Makna sesungguhnya kan menetralisir aura negatif yang ada di wilayah suatu desa tertentu. Itu tujuan utamanya. Karena yang terlihat saat ini, ngelawang itu diidentikkan dengan ngamen. Tentu itu jauh berbeda,” tegasnya.
Lebih lanjut I Gusti Nengah Hari Mahardika mengapresiasi semangat para generasi muda, dalam melanjutkan tradisi, seni dan budaya Bali dalam hal ini yakni ngelawang, namun perlu memperhatikan norma-norma yang ada, sehingga tradisi ngelawang tetap memiliki unsur kesakralan dan tidak bergeser ke fungsi lain. “Di sinilah peran orang tua, sanggar, seniman dan seluruh lapisan masyarakat, agar meluruskan persepsi masyarakat terkait tradisi ngelawang tersebut,” tambahnya.
Tradisi ngelawang menggunakan barong, topeng, dan seperangkat gamelan dalam pelaksanaannya. Keberadaan barong di Bali, diyakini masyarakat memiliki aura positif, sehingga barong pun dipercaya sebagai media penyeimbang bhuana agung (alam semesta) serta bhuana alit (tubuh manusia) dalam menyambut perayaan hari raya Galungan.
“Karena pada saat menyambut hari raya Galungan, tepatnya pada saat hari Penampahan Galungan itu merupakan hari turunnya Bhuta Kala Tiga yang bertugas menggoyahkan iman manusia, maka dari itu ngelawang pun menjadi ritual menetralisir energi tersebut,” terang I Gusti Nengah Hari Mahardika.
Selain itu ngelawang memiliki nilai-nilai kebersamaan, di mana sekelompok anak-anak serta remaja menyatukan diri, dan mengasah kekompakan dalam melaksanakan tradisi ngelawang tersebut. “Besok hari Rabu (10/11/2021) pukul 15.00 Sanggar Haridwipa juga akan melaksanakan tradisi ngelawang, yang berpartisipasi mulai dari anak SD, sampai usia kelas dua SMA. Tidak penting dapat punia (sumbangan) berapa, yang penting semangat mayadnya itu ada,” jelasnya.
I Gusti Nengah Hari Mahardika pun berharap agar tradisi, ritual, seni dan budaya yang ada di Bali dijalankan sesuai dengan makna, fungsi serta nilai yang telah tertanam sesuai yang diwariskan oleh para pendahulu. “Semangat itu memang penting, tapi jangan lupa perhatikan nilai serta makna yang terkandung dari suatu tradisi yang dilakukan,” tutupnya. *rma
Komentar