Peninggalan Ida Dukuh Sakti, Diyakini Jadi Tempat Pengobatan Sekala-Niskala
Pura Tirta Bulan di Pinggir Tukad Wos, Banjar Negari, Desa Singapadu Tengah, Kecamatan Sukawati
Dalam goa di Pura Tirta Bulan terdapat terowongan sepanjang 200 meter. Tepat di bagian atas terowongan, ada sebuah lingkaran putih menyerupai bulan. Itulah yang menjadi cikal nama Pura Tirta Bulan
GIANYAR, NusaBali
Pura Tirta Bulan di Banjar Negari, Desa Singapadu Tengah, Kecamatan Sukawati, Gianyar merupakan salah satu dari banyak tempat malukat di Gumi Seni. Pura yang merupakan peninggalan Ida Dukuh Sakti ini diyakini sebagai tempat untuk pengobatan sekala dan niskala.
Lokasi Pura Tirta Bulan berada sekitar 200 meter arah utara dari Puskesmas Sukawati II. Pura yang berlokasi di pinggir aliran sungai Tukad Wos ini disungsung oleh krama Banjar Negari, Desa Singapadu Tengah. Karya pujawali di Pura Tirta Bulan dilaksanakan 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Budha Wage Merakih.
Pamangku Pura Tirta Bulan, Jro Mangku Made Sergog, 77, mengatakan pura ini diyakini sebagai peninggalan Ida Dukuh Sakti, tokoh spiritual yang dikenal ahli dalam pengobatan sekala-niskala. Krama setempat pun meyakini segala permohonan yang dilakukan secara tulus di pura ini akan terkabulkan. Permohonan yang paling sering terkabulkan adalah mohon keturunan (punya anak).
Jro Mangku Sergog menyebutkan, Pura Tirta Bulan awalnya hanyalah semak belukar di pinggir aliran Tukad Wos. "Ketika panglingsir kami menemukan tempat ini, kondisinya belum seperti sekarang, masih berupa semak belukar," jelas Jro Mangku Sergog saat ditemui NusaBali di Pura Tirta Bulan, beberapa waktu lalu.
Namun, kata Jro Mangku Sergog, ketika itu Pura Tirta Bulan yang masih berupa semak belukar sudah dijadikan tempat pemandian umum. "Nak lingsir kami setiap kali usai mandi, selalu lanjut melakukan pembersihan," papar Jro Mangku Sergog, yang siang didampingi anak angkatnya, Jro Mangku Nyoman Sumerta, 50.
Hanya saja, tidak diketahui pasti kapan peristiwa penemuan Pura Tirta Bulan tersebut. Yang jelas, Jro Mangku Sumerta merupakan generasi keempat yang meneruskan ngayah sebagai janbanggul di Pura Tirta Bulan.
Jro Mangku Sumerta mengisahkan, saat dilakukan pembersihan semak belukar kala itu, ditemukan sebuah goa. Kemudian, ditemukan lagi sumber mata air klebutan dari bawah pohon beringin di sebelah timur Pura Tirta Bulan. Kini, mata air klebutan tersebut sudah ditata menjadi Pancoran Panglukatan Tirta Bulan.
"Nak lingsir tiyang lemah peteng ngayah driki, nangkil driki. Sungkan napi-napi, nunas ica driki, metamba. Abing asahine, kepanggih wenten goa (Panglingsir kami siang malam ngayah di sini, datang ke sini. Sakit apa pun, mohon berkah, berobat. Teboh dibersihkan, ditemukan ada goa, Red)," sambung Jro Mangku Sergog.
Di dalam goa yang baru ditemukan itu, kata Jro Mangku Sergog, terdapat terowongan cukup panjang sekitar 200 meter. Tepat di bagian atas terowogan ada sebuah lingkaran putih menyerupai bulan. Itulah yang menjadi cikal bakal nama Pura Tirta Bulan.
Menurut Jro Mangku Sergog, atas petunjuk niskala, sejak saat itu keturunannya mulai ngayah menjadi pamangku di Pura Tirta Bulan. "Nak lingsir dumun kebrebehan. Punya anak, meninggal dunia. Lagi menikah, sama juga. Akhirnya, nak lingsir jadi bingung, tak tahu harus berbuat apa? Kemudian, ada petunjuk niskala, ragane diminta terus ngayah, ngaryanin palinggih, ngiring sesuhunan driki," terang pamangku sepuh berusia 77 tahun ini.
Saat ini, di Utama Mandala Pura Tirta Bulan terdapat sejumlah palinggih (bangunan suci). Di antaranya, Palinggih Ida Bhatara Tengahin Segara, Palinggih Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped, dan Palinggih Ida Bhatara Ratu Dukuh Sakti Lingsir.
Versi Jro Mangku Sergoh, sejatinya di ujung goa kawasan Pura Tirta Bulan terdapat sebuah Patung Ida Dukuh Sakti mengenakan udeng dalam posisi berdiri, dengan kedua tangan bersatu di depan dada. Namun, suatu ketika tebing tiba-tiba longsor, sehingga Patung Ida Dukuh Sakti menghilang secara misterius. Dalam perkembangannya, Jro Mangku Sergog kemudian membuat patung serupa untuk diletakkan di depan mulut goa.
Pangempon Pura Tirta Bulan sendiri awalnya hanya 5 kepala keluarga (KK) di Banjar Negari, Desa Singapadu. Kemudian, pangempon pura berkembang menjadi 13 KK. Kini, Pura Tirta Bulan disungsung oleh krama Banjar Negari. Setiapkali karya pujawali pada Budha Wage Merakih, bahkan banyak datang pengayah dari luar Banjar Negari.
Sementara itu, tahapan-tahapan persembahyangan di Pura Tirta Bulan dimulai dari penyucian diri secara sekala dan niskala di pancoran suci. Sarananya berupa banten pejati. Selanjutnya, dilakukan persembahyangan di Utama Mandala Pura Tirta Bulan, juga bersaranakan banten pejati. "Krama yang tangkil biasanya mandi dulu di aliran Tukad Wos, kemudian pakai kamen, baru malukat di Pancoran Tirta Bulan," jelas Jro Mangku Sumerta.
Krama yang tangkil bisa menyampaikan langsung segala permasalahan yang dihadapi berikut permohonan yang diinginkan saat ritual melukat. Atas kehendak Ida Dukuh Sakti, permohonan tulus tersebut diyakini bisa terkabulkan. "Sudah banyak yang membuktikan kemurahan Ida Dukuh Sakti. Lama tidak dikaruniai keturunan, setelah malukat di sini bisa hamil," katanya.
Saat ritual malukat berlangsung, biasanya muncul beberapa pertanda. Misalnya, air tiba-tiba puek (keruh), berbau, rasanya berubah jadi manis atau sepet. "Pertanda yang muncul itu tergantung siapa yang malukat. Kalau kapica (permohonannya terkabulkan, Red), biasanya ada pertanda khusus," papar Jro Mangku Sumerta.
Menurut Jro Mangku Sumerta, tidak sembarang orang boleh tangkil dan malukat di Pura Tirta Bulan. Krama istri yang sedang haid, dilarang tangkil. Demikian pula krama yang sedang cuntaka (kotor secara niskala karena ada kematian di keluarganya), pantang tangkil malukat.
Dikisahkan, suatu ketika pernah ada krama yang baru hadiri upacara penguburan jenazah di setra, langsung datang ke Pancoran Tirta Bulan untuk malukat. Apa yang terjadi? “Saat sedang malukat, orang itu tiba-tiba melihat ada ular, entah dari mana datangnya, sehingga lari tunggang laanggang sambil telanjang untuk menyelamatkan diri," papar Jro Mangku Sumerta. *nvi
Lokasi Pura Tirta Bulan berada sekitar 200 meter arah utara dari Puskesmas Sukawati II. Pura yang berlokasi di pinggir aliran sungai Tukad Wos ini disungsung oleh krama Banjar Negari, Desa Singapadu Tengah. Karya pujawali di Pura Tirta Bulan dilaksanakan 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Budha Wage Merakih.
Pamangku Pura Tirta Bulan, Jro Mangku Made Sergog, 77, mengatakan pura ini diyakini sebagai peninggalan Ida Dukuh Sakti, tokoh spiritual yang dikenal ahli dalam pengobatan sekala-niskala. Krama setempat pun meyakini segala permohonan yang dilakukan secara tulus di pura ini akan terkabulkan. Permohonan yang paling sering terkabulkan adalah mohon keturunan (punya anak).
Jro Mangku Sergog menyebutkan, Pura Tirta Bulan awalnya hanyalah semak belukar di pinggir aliran Tukad Wos. "Ketika panglingsir kami menemukan tempat ini, kondisinya belum seperti sekarang, masih berupa semak belukar," jelas Jro Mangku Sergog saat ditemui NusaBali di Pura Tirta Bulan, beberapa waktu lalu.
Namun, kata Jro Mangku Sergog, ketika itu Pura Tirta Bulan yang masih berupa semak belukar sudah dijadikan tempat pemandian umum. "Nak lingsir kami setiap kali usai mandi, selalu lanjut melakukan pembersihan," papar Jro Mangku Sergog, yang siang didampingi anak angkatnya, Jro Mangku Nyoman Sumerta, 50.
Hanya saja, tidak diketahui pasti kapan peristiwa penemuan Pura Tirta Bulan tersebut. Yang jelas, Jro Mangku Sumerta merupakan generasi keempat yang meneruskan ngayah sebagai janbanggul di Pura Tirta Bulan.
Jro Mangku Sumerta mengisahkan, saat dilakukan pembersihan semak belukar kala itu, ditemukan sebuah goa. Kemudian, ditemukan lagi sumber mata air klebutan dari bawah pohon beringin di sebelah timur Pura Tirta Bulan. Kini, mata air klebutan tersebut sudah ditata menjadi Pancoran Panglukatan Tirta Bulan.
"Nak lingsir tiyang lemah peteng ngayah driki, nangkil driki. Sungkan napi-napi, nunas ica driki, metamba. Abing asahine, kepanggih wenten goa (Panglingsir kami siang malam ngayah di sini, datang ke sini. Sakit apa pun, mohon berkah, berobat. Teboh dibersihkan, ditemukan ada goa, Red)," sambung Jro Mangku Sergog.
Di dalam goa yang baru ditemukan itu, kata Jro Mangku Sergog, terdapat terowongan cukup panjang sekitar 200 meter. Tepat di bagian atas terowogan ada sebuah lingkaran putih menyerupai bulan. Itulah yang menjadi cikal bakal nama Pura Tirta Bulan.
Menurut Jro Mangku Sergog, atas petunjuk niskala, sejak saat itu keturunannya mulai ngayah menjadi pamangku di Pura Tirta Bulan. "Nak lingsir dumun kebrebehan. Punya anak, meninggal dunia. Lagi menikah, sama juga. Akhirnya, nak lingsir jadi bingung, tak tahu harus berbuat apa? Kemudian, ada petunjuk niskala, ragane diminta terus ngayah, ngaryanin palinggih, ngiring sesuhunan driki," terang pamangku sepuh berusia 77 tahun ini.
Saat ini, di Utama Mandala Pura Tirta Bulan terdapat sejumlah palinggih (bangunan suci). Di antaranya, Palinggih Ida Bhatara Tengahin Segara, Palinggih Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped, dan Palinggih Ida Bhatara Ratu Dukuh Sakti Lingsir.
Versi Jro Mangku Sergoh, sejatinya di ujung goa kawasan Pura Tirta Bulan terdapat sebuah Patung Ida Dukuh Sakti mengenakan udeng dalam posisi berdiri, dengan kedua tangan bersatu di depan dada. Namun, suatu ketika tebing tiba-tiba longsor, sehingga Patung Ida Dukuh Sakti menghilang secara misterius. Dalam perkembangannya, Jro Mangku Sergog kemudian membuat patung serupa untuk diletakkan di depan mulut goa.
Pangempon Pura Tirta Bulan sendiri awalnya hanya 5 kepala keluarga (KK) di Banjar Negari, Desa Singapadu. Kemudian, pangempon pura berkembang menjadi 13 KK. Kini, Pura Tirta Bulan disungsung oleh krama Banjar Negari. Setiapkali karya pujawali pada Budha Wage Merakih, bahkan banyak datang pengayah dari luar Banjar Negari.
Sementara itu, tahapan-tahapan persembahyangan di Pura Tirta Bulan dimulai dari penyucian diri secara sekala dan niskala di pancoran suci. Sarananya berupa banten pejati. Selanjutnya, dilakukan persembahyangan di Utama Mandala Pura Tirta Bulan, juga bersaranakan banten pejati. "Krama yang tangkil biasanya mandi dulu di aliran Tukad Wos, kemudian pakai kamen, baru malukat di Pancoran Tirta Bulan," jelas Jro Mangku Sumerta.
Krama yang tangkil bisa menyampaikan langsung segala permasalahan yang dihadapi berikut permohonan yang diinginkan saat ritual melukat. Atas kehendak Ida Dukuh Sakti, permohonan tulus tersebut diyakini bisa terkabulkan. "Sudah banyak yang membuktikan kemurahan Ida Dukuh Sakti. Lama tidak dikaruniai keturunan, setelah malukat di sini bisa hamil," katanya.
Saat ritual malukat berlangsung, biasanya muncul beberapa pertanda. Misalnya, air tiba-tiba puek (keruh), berbau, rasanya berubah jadi manis atau sepet. "Pertanda yang muncul itu tergantung siapa yang malukat. Kalau kapica (permohonannya terkabulkan, Red), biasanya ada pertanda khusus," papar Jro Mangku Sumerta.
Menurut Jro Mangku Sumerta, tidak sembarang orang boleh tangkil dan malukat di Pura Tirta Bulan. Krama istri yang sedang haid, dilarang tangkil. Demikian pula krama yang sedang cuntaka (kotor secara niskala karena ada kematian di keluarganya), pantang tangkil malukat.
Dikisahkan, suatu ketika pernah ada krama yang baru hadiri upacara penguburan jenazah di setra, langsung datang ke Pancoran Tirta Bulan untuk malukat. Apa yang terjadi? “Saat sedang malukat, orang itu tiba-tiba melihat ada ular, entah dari mana datangnya, sehingga lari tunggang laanggang sambil telanjang untuk menyelamatkan diri," papar Jro Mangku Sumerta. *nvi
Komentar