Cendrawasih Dewata, Toleransi dalam Balutan Seni Mepantigan Bali
GIANYAR, NusaBali.com – Berkaca dari isu-isu kebhinekaan, Mepantigan Bali menghadirkan pentas seni yang bertajuk ‘Cendrawasih Dewata’ sebagai wujud toleransi dan kebersamaan antar suku dan budaya yang ada di Indonesia.
Pertunjukan Selasa (16/11/2021) digelar di Jalan Batu Alam, Banjar Tubuh, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Dengan konsep alam, pementasan seni berlangsung dengan seru sesuai dengan ciri khas Mepantigan Bali yang mengutamakan nilai-nilai saling menghormati, serta spirit kebersamaan yang ditunjukkan dalam pementasan seni tersebut.
Direktur Intelkam Polda Bali Kombes Pol Zainal Abidin yang turut hadir dalam kegiatan tersebut mengapresiasi inisiatif yang dilakukan oleh Mepantigan Bali dalam memupuk rasa persatuan dan cinta tanah air, dengan cara yang unik yakni mengemasnya dalam sebuah pementasan seni yang atraktif.
“Dalam menyuarakan isu kebhinekaan pertunjukan seni seperti ini lebih menghibur, dan positif dibandingkan demo di jalanan yang rawan dengan aksi anarkis dan ricuh,” ucapnya saat memberikan sambutan.
Lebih lanjut Founder Mepantigan Bali, Putu Witsen Widjaya, mengatakan bahwa dengan adanya pementasan seni tersebut, masyarakat akan sadar bahwa pentingnya menjaga persatuan serta kesatuan negara, dan saling menghormati antar suku dan budaya.
“Sesuai tajuknya, cendrawasih berarti Papua dan dewata berarti Bali, jadi ini sebuah karya pertunjukan yang melibatkan saudara-saudara dari Papua dan dari Bali bersatu menciptakan sebuah karya,” jelasnya.
Pementasan seni diawali dengan tarian Barong Katos, yang menggunakan kostum berbahan daun pisang kering atau dalam bahasa Bali disebut kraras. Para penari dengan kompak menarikan tarian tersebut sembari menggebuk gamelan yang menjadi iringan pementasan, dan meneriakkan ‘cang katos sing kenken’ yang berarti saya kebal tidak apa-apa.
Setelah itu dua penari Papua masuk dengan menyanyikan salah satu lagu daerah Papua yang berjudul Apuse, dengan iringan gamelan Bali sungguh menjadi pementasan yang unik, yang dinikmati oleh para penonton dan pengunjung yang turut menyaksikan.
Lebih lanjut, Putu Witsen mengatakan bahwa dalam pementasan yang telah dilaksanakan sama sekali tidak memerlukan latihan, melainkan dilakukan secara spontan dan mengalir begitu saja dengan sendirinya.
“Kami mengalir begitu saja, dengan rasa semangat dan kebersamaan dengan spontan gerakan itu keluar dan membuat pementasan tidak terkesan kaku,” tambahnya.
Ia pun menyatakan bahwa total partisipan pada pementasan yang telah dilaksanakan berjumlah 35 orang, yang merupakan kolaborasi anggota Mepantigan Bali dengan warga Papua yang ada di Bali.
Tidak hanya pementasan tarian Barong Katos, kegiatan pun dilanjutkan dengan berbagai macam pementasan seni lainnya seperti kecak lumpur, wayang lumpur, topeng lumpur, puisi lumpur dan nyanyian lumpur. “Semuanya bertema nusantara, dan menjunjung tinggi nilai kebhinekaan,” tegas Putu Witsen.
Pementasan seni yang mengolaborasikan budaya satu dan lainnya diharapkan dapat terus terlaksana, sebagai wujud kebersamaan serta persatuan.
Selain itu juga dalam rangka menunjukkan kekayaan ragam budaya yang dimiliki oleh Indonesia. “Tentunya untuk ke depan tidak hanya warga Papua, namun berbagai warga dari latar belakang budaya lain juga turut dipentaskan di sini,” tutupnya.*rma
1
Komentar