Lestarikan Gangsa Pacek Berinovasi Tridatu
Kiprah Pande Gong Sawan Sikapi Zaman
SINGARAJA, NusaBali
Desa/Kecamatan Sawan, Buleleng, salah satu desa di Buleleng yang memiliki komunitas perajin gambelan Bali terbaik. Salah satu ciri khas gambelan Sawan yakni bagian gangsa dalam sebarung (sekelompok) instrumen gambelan Bali ini, memakai pelawah (bilah daun) pacek. Perajin gong setempat juga mencoba berinovasi dengan gong berbahan tridatu.
Pengertian pacek ini mengacu pelawah gangsa tersebut dipasang dengan cara ditusukkan pada bagian atas badan gangsa. Hal ini tentu beda dengan gangsa-gangsa produksi perajin gambelan di Bali lainnya, yang memakai pelawah menggantung. Dalam tradisi penginstrumenan Bali, pelawah pacek dapat ditemukan pada gambelan Selonding, dan lainnya.
Made Suanda,45, misalnya, salah satu dari lima pande gong di Desa/Kecamatan Sawan, Buleleng. Dia bersama keluarga begitu taat mempertahankan tradisi pembuatan perangkat gambelan Bali jenis gangsa pelawah pacek. Gangsa ini merupakan identitas atau ciri khas gangsa gong Buleleng. Menurut Suanda, kelebihan pelawah pacek saat ditabuh tak memerlukan teknik tetekep (peredam bunyi dengan tangan) matang. Dengan itu, peralihan dari satu nada satu ke nada lain relatif akan terdengar lebih apik dan bersih. Gangsa pacek minim gema sehingga tak memerlukan waktu lama untuk peralihan nada.
Ditemui di rumahnya, Banjar Kawanan, Desa/Kecamatan Sawan, Buleleng, Kamis (18/11), Suanda mengaku sudah menjalani usaha pande gong keluarga itu sejak tahun 1998. Kini dia berkolaborasi dengan adik bungsunya, Ketut Parta,28, sebagai perajin gamelan Surya Nada. Mereka mewarisi kepiawaian mendiang ayahnya Nyoman Karsa. Padahal dia tak pernah bercita-cita akan meneruskan usaha keluarga yang sudah dilakoni secara turun-temurun. Dia pun tak pernah mengenyam pendidikan khusus seni untuk menjadi pande gong. Semua keterampilannya didapat dan dirawat secara otodidak.
“Setelah menikah, saya baru ikut kerja sama bapak. Dari sana saya mengawali. Kalau pande gong, di keluarga saya sudah turun-temurun buat gong. Kata bapak, sudah sejak dari buyut,” jelas Suanda.
Sebagai perajin gamelan sejak 23 tahun, dia selain membuat gong kebyar, juga melayani pembuatan instrumen angklung, baleganjur hingga perbaikan kerusakan bagian-bagian gamelan. Tak jarang dia melayani pesanan khusus, antara lain, pembuatan instrumen gembelan Bali yang tidak umum, hingga gamelan bertahta emas. “Kalau konsumen sih masih dominasi di lokal Buleleng dan Bali. Tetapi pernah juga turis memesan gong dibawa ke negaranya untuk souvenir dan bel rumah,” katanya.
Suanda mengaku bisa melayani permintaan jenis gong bergangsa pacek maupun gangsa gantung. Sebagai perajin bidang seni, dia harus menyesuaikan perkembangan terkini. Hanya saja identitas gong Buleleng yakni gong bergangsa pacek tetap dipertahankan.
Di tengah kepopuleran gong gangsa gantung, gong pacek masih eksis. Pesanan gong pacek hingga kini masih ada, khususnya dari lokal Buleleng. Proses pembuatan gangsa pacek, disebut Suanda, lebih rumit dibandingkan gangsa gantung. “Selain dari bobotnya lebih berat dua ons tiap bilah gangsa gantung, proses pengerjaannya juga lebih rumit. Terutama saat pemukulan lempeng perunggu dengan hamer harus hati-hati, karena susah cari nada. Selain itu, ukuran lempeng juga berbeda karena cetakannya berbeda,” jelas dia.
Untuk pengerjaan sebarung gong kebyar, Suanda berkolaborasi dengan adik bungsunya, Ketut Parta,28. Lama penggarapan sekitar 6 bulan. Seluruh bahan lempeng perunggu didatangkan dari Jawa. Sebarung gong kebyar menghabiskan hampir 350 kilogram perunggu. Jumlah material tersebut di luar bahan baku jegir (gong yang paling besar). Satu barung gong kebyar yang terbuat murni dari perunggu dijual dengan harga Rp 250 juta.
Sementara itu, dampak pandemi yang sangat berpengaruh pada permintaan pembuatan gong membuat Suanda memutar otak dan berinovasi. Dia pun sedang mempromosikan gong kebyar tri datu. Tri datu dimaksudkannya adalah bahan baku yang dipakai terdiri dari perunggu, tembaga, dan besi.
Inovasi yang dibuatnya ini pun sudah terpikirkan sejak lima tahun lalu. Namun dia baru bisa menguji ide briliannya saat pandemi. Uji coba yang dilakukan selama tiga bulan penuh. “Yang susah menyatukan logam yang tak satu senyawa yakni perunggu dan besi. Tetapi setelah diuji coba 3 bulan penuh, akhirnya berhasil,” kata laki-laki 45 tahun ini.
Inovasi yang dilakukannya tersebut untuk menekan harga gong. Jika menggunakan bahan tridatu, harga yang dibayarkan pembeli hanya setengahnya saja. Namun kualitas suara yang dihasilkan gambelan ini hampir sama dengan gong berbahan perunggu penuh. “Kata konsumen sih sama kualitas dan suaranya. Sudah ada beberapa set yang laku, ini sedang saya promosikan karena dapat menekan harga. Lumayan juga di musim pandemi begini,” jelasnya.
Dia pun berencana akan mematenkan ide dan karyanya melalui Hak Kekayaan Intelektual (HKI). “Uji cobanya sudah beberapa kali saya lakukan, termasuk menguji kelemahan dan kekurangannya hingga mendapatkan formula yang pas seperti karya ini, termasuk uji pukul pakai hamer juga dan sudah berhasil,” tegas Suanda
Anak kedua dari 4 saudara ini mengatakan meski menghasilkan produk dan proses pembuatan jenis gong baru, dia tetap memegang nasihat mendiang ayahnya. Nasihat itu yakni wajib menjaga kualitas dan kepercayaan konsumen.7k23
Komentar