Dibersihkan, Direndam dengan 5 Jenis Toya Bungkak
Salah satu pusaka adalah keris Nangluk Merana. Saat Tumpek Landep, beberapa subak meminta wangsuh (tirta) keris Nangluk Merana tersebut untuk dipercikkan ke sawah.
Benda Pusaka Ratusan Tahun Katedunang di Puri Agung Tabanan
TABANAN, NusaBali
Sebanyak 15 benda pusaka berumur ratusan tahun milik Puri Agung Tabanan, katedunang pada Saniscara Kliwon Landep, Sabtu (4/2). Setelah dibersihkan, benda-benda pusaka tersebut kemudian diupacarai di Pura Batur Agung Tabanan. Berbagai jenis benda pusaka yang diupacarai kemarin di antaranya, Ki Tulup Empet yakni sumpitan sepanjang sekitar 1,5 meter, keris yang dinamakan Besi Kuning, serta keris Nangluk Merana dipercaya menghilangkan segala jenis merana (hama) di persawahan.
Prosesi upacara Tumpek Landep di Puri Agung Tabanan dimulai sekitar pukul 09.00 Wita. Setelah sarana upakara selesai, berbagai benda pusaka berumur ratusan tahun katedunang dari gedong suci. Benda pusaka tersebut dipundut (dijunjung) oleh seluruh keluarga Puri, terutama yang laki-laki. Karena untuk mundut benda pusaka tersebut, keluarga Puri yang perempuan tidak disarankan melakukannya. Hal itu guna menghindari adanya hal yang tidak diinginkan. Kemudian benda pusaka tersebut dibawa ke Pura Batur Agung Tabanan.
Raja Tabanan Ida Tjokorda Anglurah Tabanan, menjelaskan, prosesi terbilang sakral pada benda pusaka ini. Pertama sebelum diupacarai benda pusaka tersebut dibersihkan. Pembersihan ini pun dilakukan beberapa tahap. Dimulai dengan perendaman menggunakan toya bungkak (air bakal kelapa muda). Ada lima jenis bungkak yang digunakan membersihkan benda pusaka ini masing-masing bungkak nyuh gading, bungkak nyuh bulan, bungkak nyuh sudamala, bungkak nyuh gadang, dan bungkak nyuh mulung.
Selanjutnya dibersihkan menggunakan jeruk nipis yang dimaksudkan untuk menghilangkan karat. Kemudian direndam lagi dengan air kumkuman (air kembang), setelah itu dibersihkan dengan kapas hingga kering dan terakhir diolesi minyak kelapa, dari lima jenis kelapa yang sama digunakan untuk merendam pertama kali tadi. “Setelah pembersihan ini selesai baru akan dilakukan upacara,” ujarnya.
Setelah sekitar dua jam prosesi upacara digelar, benda pusaka tersebut diletakkan kembali di gedong simpen.
Ida Tjokorda Anglurah Tabanan mengatakan, proses nedunang keris ini tidak sembarang dilakukan. Kecuali ada upacara tertentu seperti pujawali di Pura Batur Tabanan yang jatuh pada Umanis Galungan atau Wraspati Umanis Dungulan. “Kalau setiap enam bulan sekali yakni Tumpek Landep memang wajib ditedunkan, bahkan kalau odalan tidak semua, paling hanya tiga benda pusaka saja. Di samping itu nedunang juga tergantung perasaan, kalau perasaan tidak bagus, kami hanya lakukan upacara di dalam gedong saja,” tutur Raja Tabanan ke-27 generasi ke-20 ini.
Benda pusaka yang terdapat di Puri Tabanan hanya sekitar 15 keris. Benda pusaka tersebut salah satunya ada yang bernama keris Nangluk Merana. Biasanya pada saat proses upacara Tumpek Landep, beberapa subak meminta wangsuh (tirta) keris Nangluk Merana ke Puri Tabanan yang nantinya dibawa pulang dan dipercikkan ke sawah masing-masing.
“Berharap ketika tirta dipercikkan, padi mereka tumbuh dengan baik tidak ada hama yang dapat menyebabkan gagal panen,” katanya.
Kemudian ada yang dinamakan keris Sapu Jagat, yang dipercayai dapat menjaga alam semesta dari huru hara terutama di lingkungan keluarga Puri. Ada pula yang dinamakan keris Besi Kuning, berukuran 30 centimeter dipercaya sebagai pelindung diri dari segala ancaman bahaya.
Kemudian ada senjata yang dinamakan Ki Tulup Empet, dimana ketika zaman pertempuran melawan Belanda, dipercayai dapat mengalahkan musuh. “Senjata ini kami gunakan melawan Belanda ketika mereka mempunyai pistol, kami pakai tulup empet yang bunyinya sama dengan pistol,” tutur Ida Tjokorda Anglurah Tabanan.
Prosesi dalam Tumpek Landep ini, menurut Ida Tjokorda Anglurah Tabanan, bermakna bahwa setiap manusia agar selalu menajamkan pikiran, memiliki sifat jernih dalam berperilaku seperti filosofi keris yang sangat tajam dalam menengakkan kebenaran.
“Di sini kita tidak menyembah benda, hanya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena berkat benda pusaka ini kita bisa menggunakan melawan musuh pada masa penjajahan. Serta diyakini dapat menciptakan kedamaian bagi umat, khususnya di keluarga puri,” jelasnya.
Mengupacarai benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang ini wajib dilaksanakan, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. * d
1
Komentar