Tiga Pemuda Tinggal Terisolasi di Seminyak
Akses Keluar Masuk Gunakan Jembatan dari Kayu Bekas
Setiap hari ketiga pemuda itu hanya berkebun, Dari tanam sayur, ubi sampai pisang
MANGUPURA, NusaBali
Tiga orang pemuda asal Nusa Tenggara Timur (NTT), penggarap lahan perkebunan di Kelurahan Seminyak, Kecamatan Kuta, tinggal di tempat yang terisoliasi. Lokasi sekeliling lahan garapan mereka berdirih kokoh sejumlah hotel megah. Walhasil, untuk akses keluar masuk ketiga pemuda itu terpaksa mendirikan jembatan kayu sepanjang 70 meter dengan memanfaatkan alur sungai.
Salah satu pemuda yang ditemui, Benediktus Suni, 34, mengatakan bersama rekannya Tarsisius Ketun, 30, dan Darius Ketun, 22, sudah tinggal di lahan milik seorang warga asal Jakarta sejak 5 tahun silam. Pemilik lahan mengizinkan mereka menjaga dan mengelola tanah tersebut untuk berkebun. “Kami sudah 5 tahuan tinggal di sini. Jadi setiap hari kami berkebun saja. Ya, mulai dari tanam sayur, ubi sampai pisang. Aktivitasnya cuma itu saja, karena kami hanya ingin memanfaatkan lahan agar tetap bisa ditanami sayur-sayuran,” kata Benediktus, saat ditemui Kamis sore.
Dikatakan, selama 5 tahun tinggal di kawasan itu, hanya satu kendala yang dihadapi, yakni akses jalan masuk. Hal ini dikarenakan lokasi perkebunan yang mereka garap dan tempati itu berada di tengah-tengah hotel, sehingga tidak ada jalan. Karena kondisi itulah, ketiga pemuda itu pun membuat akses jalan darurat, yakni jembatan dari kayu-kayu bekas yang berdiri di atas aliran sungai. “Sejak 5 tahun lalu itu kami memang tidak ada akses. Satu-satunya akses masuk menelusuri alur sungai itu. Tapi, kendalanya saat banjir, tidak bisa keluar atau masuk karena aliran sungai cukup dalam,” beber pria asal Kabupaten Timor Tengah Utara ini.
Karena memanfaatkan aliran sungai untuk jembatan sepanjang 70 meter, Benediktus berharap tidak ada persoalan ke depannya. Hal ini dikarenakan, sesuai aturan tidak bisa menggunakan alur sungai untuk membangun. Namun, satu-satunya akses yang bisa mereka gunakan saat ini melalui jalur tersebut. “Kalau jembatan kami bikin gantung, Sejajar dengan permukaan alur sungai. Kalau banjir terendam. Makanya kita ekstra hati-hati kalau lewat,” katanya.
Dia juga bercerita, karena ketiadaan akses masuk ke lokasi perkebunan yang mereka garap, seorang rekannya meninggal lantaran terlambat mendapatkan pertolongan saat mengalami serangan jantung. Kejadian itu, lanjut dia, pada September 2021 lalu. Rekannya mengalami serangan jantung saat istirahat. Namun, saat itu terjadi keterlambatan proses evakuasi menuju ambulance yang ada di ujung jembatan.
“Kondisinya saat itu memang benar-benar memprihatinkan, kami evakuasi dengan membopong dan mebutuhkan waktu 10 menit keluar dari sana, namun saat tiba di rumah sakit, sudah meninggal,” kata Benediktus seraya berharap bisa dibukakan akses.
Hal ini juga sudah sempat dikoordinasikan oleh keluarga pemilik lahan, Pendeta Spehard Supit. Dikatakan, semula akses keluar masuk lahan tersebut menjadi satu dengan akses penyanding yang ada di depannya. Namun, akses tersebut kemudian ditutup. Itu sebabnya dibuat sebuah jembatan darurat, dengan tujuan yang menggarap lahan tidak menjadi terisolasi.
Pendeta Spehard Supit berharap pihak penyanding bisa bernegosiasi, agar akses keluar masuk terdahulu tidak ditutup. “Kami sebenarnya sudah berusaha negosiasi untuk agar diberikan akses jalan, yaitu dengan berkonsultasi dengan pihak desa adat, agar kami bisa diberikan akses keluar masuk,” jelasnya. *dar
Salah satu pemuda yang ditemui, Benediktus Suni, 34, mengatakan bersama rekannya Tarsisius Ketun, 30, dan Darius Ketun, 22, sudah tinggal di lahan milik seorang warga asal Jakarta sejak 5 tahun silam. Pemilik lahan mengizinkan mereka menjaga dan mengelola tanah tersebut untuk berkebun. “Kami sudah 5 tahuan tinggal di sini. Jadi setiap hari kami berkebun saja. Ya, mulai dari tanam sayur, ubi sampai pisang. Aktivitasnya cuma itu saja, karena kami hanya ingin memanfaatkan lahan agar tetap bisa ditanami sayur-sayuran,” kata Benediktus, saat ditemui Kamis sore.
Dikatakan, selama 5 tahun tinggal di kawasan itu, hanya satu kendala yang dihadapi, yakni akses jalan masuk. Hal ini dikarenakan lokasi perkebunan yang mereka garap dan tempati itu berada di tengah-tengah hotel, sehingga tidak ada jalan. Karena kondisi itulah, ketiga pemuda itu pun membuat akses jalan darurat, yakni jembatan dari kayu-kayu bekas yang berdiri di atas aliran sungai. “Sejak 5 tahun lalu itu kami memang tidak ada akses. Satu-satunya akses masuk menelusuri alur sungai itu. Tapi, kendalanya saat banjir, tidak bisa keluar atau masuk karena aliran sungai cukup dalam,” beber pria asal Kabupaten Timor Tengah Utara ini.
Karena memanfaatkan aliran sungai untuk jembatan sepanjang 70 meter, Benediktus berharap tidak ada persoalan ke depannya. Hal ini dikarenakan, sesuai aturan tidak bisa menggunakan alur sungai untuk membangun. Namun, satu-satunya akses yang bisa mereka gunakan saat ini melalui jalur tersebut. “Kalau jembatan kami bikin gantung, Sejajar dengan permukaan alur sungai. Kalau banjir terendam. Makanya kita ekstra hati-hati kalau lewat,” katanya.
Dia juga bercerita, karena ketiadaan akses masuk ke lokasi perkebunan yang mereka garap, seorang rekannya meninggal lantaran terlambat mendapatkan pertolongan saat mengalami serangan jantung. Kejadian itu, lanjut dia, pada September 2021 lalu. Rekannya mengalami serangan jantung saat istirahat. Namun, saat itu terjadi keterlambatan proses evakuasi menuju ambulance yang ada di ujung jembatan.
“Kondisinya saat itu memang benar-benar memprihatinkan, kami evakuasi dengan membopong dan mebutuhkan waktu 10 menit keluar dari sana, namun saat tiba di rumah sakit, sudah meninggal,” kata Benediktus seraya berharap bisa dibukakan akses.
Hal ini juga sudah sempat dikoordinasikan oleh keluarga pemilik lahan, Pendeta Spehard Supit. Dikatakan, semula akses keluar masuk lahan tersebut menjadi satu dengan akses penyanding yang ada di depannya. Namun, akses tersebut kemudian ditutup. Itu sebabnya dibuat sebuah jembatan darurat, dengan tujuan yang menggarap lahan tidak menjadi terisolasi.
Pendeta Spehard Supit berharap pihak penyanding bisa bernegosiasi, agar akses keluar masuk terdahulu tidak ditutup. “Kami sebenarnya sudah berusaha negosiasi untuk agar diberikan akses jalan, yaitu dengan berkonsultasi dengan pihak desa adat, agar kami bisa diberikan akses keluar masuk,” jelasnya. *dar
1
Komentar