Kendang Pakai Bambu, Penari Joged Dikawal Jagabaya Bersenjata Klewang
Kesenian Bumbung Kepyak dari Banjar Kertha Sentana, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana
Tetabuhan Bumbung Kepyak ditabuh oleh 19-21 orang, yang terdiri dari penabuh gambelan (7 orang), pemain kepyak (6-8 orang), pemain suling (2 orang), pemain kemple (1 orang), pemain cengceng (1 orang), pemain kendang (1 orang), pemaian gem (1 orang).
NEGARA, NusaBali
Kabupaten Jembrana miliki sebuah kesenian unik yang disebut Bumbung Kepyak. Kesenian khas dari Tempek Palamertha, Banjar Kertha Sentana, Desa Adat Kertha Jaya, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana ini menggunakan bambu sebagai kendang. Sedangkan penari joged dalam kesenian ini dikawal oleh jagabaya bersenjata klewang.
Kesenian Bumbung Kepyak memiliki perbedaan memcolok dibanding dengan kesenian bumbung pada umumnya. Ada sejumlah alat musik tradisional dalam satu kesatuan Bumbung Kepyak ini. Selain gambelan seperti bumbung, ada alat pelengkap berupa suling dan kempul yang terbuat dari bahan bambu.
Di samping itu, ada 3 alat musik tradisional yang menjadi ciri khas utama kesenian Bumbung Kepyak. Ketiga alat musik tradisional tersebut masing-masing kepyak, gem, dan kendang, yang semuanya menggunakan bahan bambu.
"Hanya ada satu alat yang tidak dari bambu, yakni kecek (cenceng). Kita pakai hanya satu kecek saja," ungkap Kelian Tempek Palamertha, Banjar Kertha Sentana, Desa Adat Kertha Jaya, I Putu Santiasa, 40, saat ditemui NusaBali di Balai Tempek Palamertha, Minggu (28/11) lalu.
Putu Santiasa menjelaskan, tetabuhan Bumbung Kepyak ini ditabuh oleh 19-21 orang. Mereka terdiri dari penabuh gambelan (7 orang), pemain kepyak (6-8 orang), pemain suling (2 orang), pemain kemple (1 orang), pemain cengceng (1 orang), pemain kendang (1 orang), dan pemaian gem (1 orang).
Khusus untuk memainkan alat kendang, gem, dan kepyak yang menggunakan batang bambu, dimainkan dengan cara ditumbukkan di alas kayu ataupun langsung di lantai. Selain ditumbukkan, khusus untuk memainkan kepyak berupa sepasang bambu yang bagian atasnya diiris-iris itu, juga dimainkan dengan cara dipukulkan secara sejajar di depan dan dipukulkan dengan gerakan menyilang ke kanan maupun ke kiri.
Nah, benturan dari bambu yang di atasnya telah diiris-iris itu pun meni-mbulkan bunyi 'pyak' seperti batang bambu pecah. Menurut Putu Santiasa, bunyi kepyak inilah yang diyakini menjadi asal usul penamaan kesenian Bumbung Kepyak di Banjar Kertha Sentana ini.
"Kalau kendang dalam kesenian Bumbung Kepyak ini, tidak pakai kendang biasa, tetapi menggunakan sepasang batang bambu, lanang-wadon. Khusus bahan kendangnya ini menggunakan batang bambu tamblang. Kemudian, untuk gem menggunakan bambu petung yang biasa dipakai jegog,” papar Santiaswa.
“Sedangkan untuk alat tradisional kepyak menggunakan bambu jenis santong," lanjut Santiasa, yang hari itu didampingi sejumlah pengurus Tempek Palamertha yang sekaligus menjadi pengurus Sekaa Kesenian Bumbung Kepyak.
Di samping ciri khas alat-alat musiknya itu, dalam pementasan kesenian Bumbung Kepyak ini juga diisi pentas joged bumbung dan ibing-ibingan. Namun, yang menjadi ciri khas ketika sesi pementasan joged adalah tampilnya sosok pria yang bertugas mengawal penari. Pengawal jogged yang disebut jagabaya tersebut bersenjatakan klewang (parang).
Jagabaya penari joged bersenjata klewang ini tidak hanya mengantar penari saat pentas. Bahkan, selama pementasan joged, sang jagabaya duduk di sebelah sekaa tabuh, untuk mengawasi pengibing agar tidak sampai bersikap tak senonoh (porno) kepada penari. Jika ada pengibing yang sikapnya mengarah porno, jagabaya akan langsung menghentikannya.
"Selain mengawal penari joged, jagabaya yang membawa klewang itu juga bertugas memastikan celempik (semacam lilin tradisional dengan tatakan batok kelapa berisi minyak kelapa dan sumbu, Red) yang kita pasang setiapkali pementasan, agar jangan sampai redup. Jadi, kalau sudah agak redup, jabayanya yang mengangkat sumbu lilin dengan menggunakan ujung klewangnya," papar Santiasa.
Menurut Santiasa, dari sisi historis, berdasar cerita yang diwarisi turun temurun, kesenian Bumbung Kepyak ini sebelumnya dimunculkan di Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana oleh seorang tokoh seniman asal Banjar Sebetan (yang saat ini menjadi wilayah Lingkungan Satria, Kelurahan Pendem), I Ketut Gender, sekitar tahun 1942. Kemunculan kesenian ini diperkirakan berawal dari keisengan almarhum Ketut Gender berama sejumlah penglingsir setempat untuk membuat hiburan.
Setelah kemunculan pertama kali tahun 1942, kesenian Bumbung Kepyak ini sempat beberapa kali vakum dan nyaris punah. Kemudian, di tahun 1994, Kesenian Bumbung Kepyak ini direkonstruksi masyarakat berkat dukungan Pemkab Jembrana di bawah kepemimpinan Bupati Jembrana (kala itu) Ida Bagus Indugosa.
Akhirnya, behasil dibuat perangkat alat-alat musik Bumbung Kepyak di Tempek Palemertha, Banjar Kertha Sentana, Desa Adat Kertha Jaya, Kelurahan Pendem. Peralatan musik tradisional yang hampir semuanya berbahan bambu tersebut diupacarai pamelaspas sekitar tahun 1998.
Setelah berhasil dibangkitkan kembali tahun 1998, kesenian Bumbung Kepyak ini beberapa kali diundang tampil untuk mengisi event yang digelar Pemkab Jembrana. Selama periode 2000-2010, kesenian Bumbung Kepyak ini juga sempat dua kali ditampilkan Pemkab Jembrana ke ajang Pesta Kesenian Bali (PKB).
Seiring perkembangan zaman, keberadaan kesenian Bumbung Kepyak ini kemudian agak meredup, karena jarang mendapat kesempatan pentas. Bahkan, karena jarang tampil, Kesenian Bumbung Kepyak ini sempat nyaris kehilangan pakem aslinya. Kala itu, kesenian ini justru ditampilkan secara kolaborasi dengan musik modern, yang menggunakan sound sistem.
"Pelencengan pakem itu sempat menjadi pergunjingan. Tetapi kita juga tidak salahkan sampai dipakai tampil begitu (kolaborasi dengan musik modern), karena bumbungnya juga jarang dipakai," kenang Santiasa.
Karena sempat ada pergunjingan itu, Santiasa bersama sejumlah pengurus Tempek Palamertha kemudian berusaha merekonstruksi kembali pakem Kesenian Bumbung Kepyak ini pada 2020 lalu. Lewat upaya rekonstruksi dengan menggali informasi dari para mantan anggota sekaa sebelumnya, secara perlahan kesenian ini bisa dike-mbalikan ke pakem aslinya.
"Sekarang juga sudah ada beberapa generasi muda yang kita latih. Termasuk untuk penari jogednya. Ada dua penari Joged Bumbung Kepyak generasi sebelumnya juga aktif kembali," terang Santiasa.
Menurut Santiasa, pihaknya sangat berharap kesenian Bumbung Kepyak bisa tetap lestari. Pemerintah pun diharapkan ikut membantu upaya pelestarian tersebut. Masalahnya, ketika mengandalkan perawatan dari swadaya masyarakat dan jarang ada kesempatan pentas, kesenian tradisional ini dikhawatirkan akan kembali meredup. "Jujur saja, kalau tidak ada acara pentas, kita sulit ngajak anggota latihan. Tetapi, kalau dibilang akan ada pentas, anggota begitu bersemangat," katanya.
Santiasa menyebutkan, sekitar Februari 2021 lalu, pihak Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Bali juga sempat membuat video dokumentasi Kesenian Bumbung Kepyak di Pura Dewasana kawasan Lingkungan Dewasana, Kelurahan Pendem. Konon, pembuatan video dokumentasi itu adalah bagian rencana pengusulan Kesenian Bumbung Kepyak sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasio-nal. *ode
Kesenian Bumbung Kepyak memiliki perbedaan memcolok dibanding dengan kesenian bumbung pada umumnya. Ada sejumlah alat musik tradisional dalam satu kesatuan Bumbung Kepyak ini. Selain gambelan seperti bumbung, ada alat pelengkap berupa suling dan kempul yang terbuat dari bahan bambu.
Di samping itu, ada 3 alat musik tradisional yang menjadi ciri khas utama kesenian Bumbung Kepyak. Ketiga alat musik tradisional tersebut masing-masing kepyak, gem, dan kendang, yang semuanya menggunakan bahan bambu.
"Hanya ada satu alat yang tidak dari bambu, yakni kecek (cenceng). Kita pakai hanya satu kecek saja," ungkap Kelian Tempek Palamertha, Banjar Kertha Sentana, Desa Adat Kertha Jaya, I Putu Santiasa, 40, saat ditemui NusaBali di Balai Tempek Palamertha, Minggu (28/11) lalu.
Putu Santiasa menjelaskan, tetabuhan Bumbung Kepyak ini ditabuh oleh 19-21 orang. Mereka terdiri dari penabuh gambelan (7 orang), pemain kepyak (6-8 orang), pemain suling (2 orang), pemain kemple (1 orang), pemain cengceng (1 orang), pemain kendang (1 orang), dan pemaian gem (1 orang).
Khusus untuk memainkan alat kendang, gem, dan kepyak yang menggunakan batang bambu, dimainkan dengan cara ditumbukkan di alas kayu ataupun langsung di lantai. Selain ditumbukkan, khusus untuk memainkan kepyak berupa sepasang bambu yang bagian atasnya diiris-iris itu, juga dimainkan dengan cara dipukulkan secara sejajar di depan dan dipukulkan dengan gerakan menyilang ke kanan maupun ke kiri.
Nah, benturan dari bambu yang di atasnya telah diiris-iris itu pun meni-mbulkan bunyi 'pyak' seperti batang bambu pecah. Menurut Putu Santiasa, bunyi kepyak inilah yang diyakini menjadi asal usul penamaan kesenian Bumbung Kepyak di Banjar Kertha Sentana ini.
"Kalau kendang dalam kesenian Bumbung Kepyak ini, tidak pakai kendang biasa, tetapi menggunakan sepasang batang bambu, lanang-wadon. Khusus bahan kendangnya ini menggunakan batang bambu tamblang. Kemudian, untuk gem menggunakan bambu petung yang biasa dipakai jegog,” papar Santiaswa.
“Sedangkan untuk alat tradisional kepyak menggunakan bambu jenis santong," lanjut Santiasa, yang hari itu didampingi sejumlah pengurus Tempek Palamertha yang sekaligus menjadi pengurus Sekaa Kesenian Bumbung Kepyak.
Di samping ciri khas alat-alat musiknya itu, dalam pementasan kesenian Bumbung Kepyak ini juga diisi pentas joged bumbung dan ibing-ibingan. Namun, yang menjadi ciri khas ketika sesi pementasan joged adalah tampilnya sosok pria yang bertugas mengawal penari. Pengawal jogged yang disebut jagabaya tersebut bersenjatakan klewang (parang).
Jagabaya penari joged bersenjata klewang ini tidak hanya mengantar penari saat pentas. Bahkan, selama pementasan joged, sang jagabaya duduk di sebelah sekaa tabuh, untuk mengawasi pengibing agar tidak sampai bersikap tak senonoh (porno) kepada penari. Jika ada pengibing yang sikapnya mengarah porno, jagabaya akan langsung menghentikannya.
"Selain mengawal penari joged, jagabaya yang membawa klewang itu juga bertugas memastikan celempik (semacam lilin tradisional dengan tatakan batok kelapa berisi minyak kelapa dan sumbu, Red) yang kita pasang setiapkali pementasan, agar jangan sampai redup. Jadi, kalau sudah agak redup, jabayanya yang mengangkat sumbu lilin dengan menggunakan ujung klewangnya," papar Santiasa.
Menurut Santiasa, dari sisi historis, berdasar cerita yang diwarisi turun temurun, kesenian Bumbung Kepyak ini sebelumnya dimunculkan di Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana oleh seorang tokoh seniman asal Banjar Sebetan (yang saat ini menjadi wilayah Lingkungan Satria, Kelurahan Pendem), I Ketut Gender, sekitar tahun 1942. Kemunculan kesenian ini diperkirakan berawal dari keisengan almarhum Ketut Gender berama sejumlah penglingsir setempat untuk membuat hiburan.
Setelah kemunculan pertama kali tahun 1942, kesenian Bumbung Kepyak ini sempat beberapa kali vakum dan nyaris punah. Kemudian, di tahun 1994, Kesenian Bumbung Kepyak ini direkonstruksi masyarakat berkat dukungan Pemkab Jembrana di bawah kepemimpinan Bupati Jembrana (kala itu) Ida Bagus Indugosa.
Akhirnya, behasil dibuat perangkat alat-alat musik Bumbung Kepyak di Tempek Palemertha, Banjar Kertha Sentana, Desa Adat Kertha Jaya, Kelurahan Pendem. Peralatan musik tradisional yang hampir semuanya berbahan bambu tersebut diupacarai pamelaspas sekitar tahun 1998.
Setelah berhasil dibangkitkan kembali tahun 1998, kesenian Bumbung Kepyak ini beberapa kali diundang tampil untuk mengisi event yang digelar Pemkab Jembrana. Selama periode 2000-2010, kesenian Bumbung Kepyak ini juga sempat dua kali ditampilkan Pemkab Jembrana ke ajang Pesta Kesenian Bali (PKB).
Seiring perkembangan zaman, keberadaan kesenian Bumbung Kepyak ini kemudian agak meredup, karena jarang mendapat kesempatan pentas. Bahkan, karena jarang tampil, Kesenian Bumbung Kepyak ini sempat nyaris kehilangan pakem aslinya. Kala itu, kesenian ini justru ditampilkan secara kolaborasi dengan musik modern, yang menggunakan sound sistem.
"Pelencengan pakem itu sempat menjadi pergunjingan. Tetapi kita juga tidak salahkan sampai dipakai tampil begitu (kolaborasi dengan musik modern), karena bumbungnya juga jarang dipakai," kenang Santiasa.
Karena sempat ada pergunjingan itu, Santiasa bersama sejumlah pengurus Tempek Palamertha kemudian berusaha merekonstruksi kembali pakem Kesenian Bumbung Kepyak ini pada 2020 lalu. Lewat upaya rekonstruksi dengan menggali informasi dari para mantan anggota sekaa sebelumnya, secara perlahan kesenian ini bisa dike-mbalikan ke pakem aslinya.
"Sekarang juga sudah ada beberapa generasi muda yang kita latih. Termasuk untuk penari jogednya. Ada dua penari Joged Bumbung Kepyak generasi sebelumnya juga aktif kembali," terang Santiasa.
Menurut Santiasa, pihaknya sangat berharap kesenian Bumbung Kepyak bisa tetap lestari. Pemerintah pun diharapkan ikut membantu upaya pelestarian tersebut. Masalahnya, ketika mengandalkan perawatan dari swadaya masyarakat dan jarang ada kesempatan pentas, kesenian tradisional ini dikhawatirkan akan kembali meredup. "Jujur saja, kalau tidak ada acara pentas, kita sulit ngajak anggota latihan. Tetapi, kalau dibilang akan ada pentas, anggota begitu bersemangat," katanya.
Santiasa menyebutkan, sekitar Februari 2021 lalu, pihak Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Bali juga sempat membuat video dokumentasi Kesenian Bumbung Kepyak di Pura Dewasana kawasan Lingkungan Dewasana, Kelurahan Pendem. Konon, pembuatan video dokumentasi itu adalah bagian rencana pengusulan Kesenian Bumbung Kepyak sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasio-nal. *ode
1
Komentar