Penari Injak-injak Bara Api Saat Kerauhan, Tak Satu Pun Merasakan Panas
Tarian Sakral Sang Hyang Jaran Dipentaskan Saat Puncak Pujawali di Pura Puseh Sari, Desa Adat Banjarangkan
Menurut Bendesa Adat Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, AA Gede Dharma Putra, Sanghyang Jaran napak pertiwi (diturunkan) 6 bulan sekali, untuk menetralisasi bumi yang sedang mengalami ketidakseimbangan
SEMARAPURA, NusaBali
Tarian sakral Sanghyang Jaran kembali dipentaskan saat puncak karya pujawali di Pura Puseh Sari, Desa Adat Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung pada Buda Umanis Medangsia, Rabu (1/12) malam. Dalam pentas Tari Sanghyang Jaran yang bernuansa magis tersebut, para penari dan krama lainnya yang kerauhan (kesuruan) menginjak-injak bara api, tanpa merasa panas dan terbakar sedikit pun.
Sanghyang Jaran merupakan tarian sakral yang diwarisi pangempon Pura Puseh Sari, Desa Adat Banjarangkan. Tarian sakral ini dilengkapi dengan pelawatan Ida Bhatara berupa jaran (kuda) yang terbuat dari kayu. Kecuali itu, ada atribut lainnya dengan 3 jenis sanghyang beda warna: putih, kuning, dan poleng (hitam putih).
Pentas Tari Sanghyang Jaran digelar 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali). Pementasan selalu dilaksanakan di jaba Pura Puseh Sari saat puncak karya pujawali di pura tersebut pada rahina Buda Uamanis Medangsia. Di luar itu, Desa Adat Banjarangkan tidak pernah mementaskan tarian sakral ini.
Bendesa Adat Banjarangkan, AA Gede Dharma Putra, mengatakan, Tari Sanghyang Jaran ini termasuk tarian wali dengan rentetan upacara untuk mementaskannya. “Sanghyang Jaran napak pertiwi (diturunkan) 6 bulan sekali, untuk menetralisasi bumi yang sedang mengalami ketidakseimbangan,” ungkap Gung Dharma Putra, Kamis (2/12).
Dalam pentas Tari Sanghyang Jaran ini, ritual diawali dengan persembahyangan bersama yang dipimpin pamangku pemucuk Pura Puseh Sari. Setelah persembahyangan berakhir, sekaa kidung sanghyang langsung duduk bersila tepat di depan Palinggih Pengaruman, dengan disiapkan pengasepan (terbuat dari tanah liat yang diisi bara api) di atas sebuah dulang.
Tak berselang lama, beberapa krama kerauhanan, di mana tiga orang krama lanang (laki-laki) yang mengalami kerauhanan (kesurupan) pertama, tanpa dikomando langsung mundut Sanghyang Jaran. Panglingsir pangempon Pura Puseh Sari kemudian memolesi tubuh 3 penari Sanghyang Jaran ini dengan tapak dara yang telah disiapkan.
Ketika bara api sudah dirasa siap, maka sekaa kidung sanghyang yang terdiri dari teruna-teruni (remaja lelaki dan perempuan), mulai melantunkan nyanyian pemanggil roh Sanghyang Jaran. "Sanghyang Jaran baru akan beraksi ketika gending (kidung) sudah dimulai," jelas Gung Dharma Putra.
Menurut Gung Dharma Putra, semakin lama tempo dan irama kidung, semakin kencang pula pemundut Sanghyang Jaran kehilangan kesadarannya. Ditandai dengan mengepak-ngepakkan badan layaknya seekor kuda. “Semakin lama, tubuh penari Sanghyang Jaran (yang semuanya laki-laki) semakin kehilangan kontrol untuk menuju ke kobaran api,” katanya.
Puncaknya, penari Sanghyang Jaran akan melompati dan menginjak-nginjak bara api secara membabi buta. Penari yang tak sadarkan diri (trance) seketika menceburkan diri ke bara api di tengah arena pementasan. Bahkan, ada dari mereka berjalan di atas bara api yang telah berserakan di tanah. Ajaibnya, mereka sama sekali tidak me-rasakan panasnya bara api. Tidak ada penari Sanghyang Jaran yang terluka bakar.
Setelah adegan berjalan di atas bara api, sekaa kidung sanghyang kembali melantunkan bait demi bait untuk mengiringi Sanghyang Jaran napak pertiwi. Kekidungan yang digunakan adalah kidung khas Pura Puseh Sari. Dari kidung yang dilantunkan, dapat ditafsirkan bahwa Sanghyang Jaran dibangunkan untuk diajak melila cita (jalan-jalan) dan meliang-liang (bersenang-senang). Harapannya, semua padegirang : senang dan bahagia.
Menurut Gung Dharma Putra, dalam konteks kekinian, Sanghyang Jaran napak pertiwi seolah menjadi momentum dan harapan baru bagi krama Desa Adat Banjarangkan di tengah pandemi saat ini. Tradisi ritual magis yang berladaskan budaya agraris ini menjadi tonggak baru bagi kehidupan masyarakat di Desa Banjarangkan ke depan, agar lebih maju, makmur, dan terlepas dari berbagai petaka.
"Perubahan musim yang ekstrem, biasanya membuat wabah dan penyakit menyelimuti bumi. Untuk mencegah penyebaran penyakit itulah, Sanghyang Jaran napak pertiwi guna menetralisir bumi yang sedang mengalami ketidakseimbanga," papar Gung Dharma Puyra.
Pentas Tari Sakral Sanghyang Jaran di Pura Puseh Sari, Desa Adat Banjarangkan umumnya berdurasi 1,5 jam, tergantung lamanya bara api hidup. Sedangkan jumlah penari 3 orang, selalu kaum lanang. Mereka yang dikasi atribut sanghyang untuk menari adalah 3 orang krama lanang yang pertama kali kerauhan.
“Yang dikasi sanghyang hanya tiga orang yang kerauhan paling awal. Sedangkanh krama lainnya yang menyusul kerauhab, akan langsung nginjang dan mengambil bara api. Terkadang, ada kaum istri yang ikut kerauhan,” tandas Gung Dharmja Putra. *wan
Sanghyang Jaran merupakan tarian sakral yang diwarisi pangempon Pura Puseh Sari, Desa Adat Banjarangkan. Tarian sakral ini dilengkapi dengan pelawatan Ida Bhatara berupa jaran (kuda) yang terbuat dari kayu. Kecuali itu, ada atribut lainnya dengan 3 jenis sanghyang beda warna: putih, kuning, dan poleng (hitam putih).
Pentas Tari Sanghyang Jaran digelar 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali). Pementasan selalu dilaksanakan di jaba Pura Puseh Sari saat puncak karya pujawali di pura tersebut pada rahina Buda Uamanis Medangsia. Di luar itu, Desa Adat Banjarangkan tidak pernah mementaskan tarian sakral ini.
Bendesa Adat Banjarangkan, AA Gede Dharma Putra, mengatakan, Tari Sanghyang Jaran ini termasuk tarian wali dengan rentetan upacara untuk mementaskannya. “Sanghyang Jaran napak pertiwi (diturunkan) 6 bulan sekali, untuk menetralisasi bumi yang sedang mengalami ketidakseimbangan,” ungkap Gung Dharma Putra, Kamis (2/12).
Dalam pentas Tari Sanghyang Jaran ini, ritual diawali dengan persembahyangan bersama yang dipimpin pamangku pemucuk Pura Puseh Sari. Setelah persembahyangan berakhir, sekaa kidung sanghyang langsung duduk bersila tepat di depan Palinggih Pengaruman, dengan disiapkan pengasepan (terbuat dari tanah liat yang diisi bara api) di atas sebuah dulang.
Tak berselang lama, beberapa krama kerauhanan, di mana tiga orang krama lanang (laki-laki) yang mengalami kerauhanan (kesurupan) pertama, tanpa dikomando langsung mundut Sanghyang Jaran. Panglingsir pangempon Pura Puseh Sari kemudian memolesi tubuh 3 penari Sanghyang Jaran ini dengan tapak dara yang telah disiapkan.
Ketika bara api sudah dirasa siap, maka sekaa kidung sanghyang yang terdiri dari teruna-teruni (remaja lelaki dan perempuan), mulai melantunkan nyanyian pemanggil roh Sanghyang Jaran. "Sanghyang Jaran baru akan beraksi ketika gending (kidung) sudah dimulai," jelas Gung Dharma Putra.
Menurut Gung Dharma Putra, semakin lama tempo dan irama kidung, semakin kencang pula pemundut Sanghyang Jaran kehilangan kesadarannya. Ditandai dengan mengepak-ngepakkan badan layaknya seekor kuda. “Semakin lama, tubuh penari Sanghyang Jaran (yang semuanya laki-laki) semakin kehilangan kontrol untuk menuju ke kobaran api,” katanya.
Puncaknya, penari Sanghyang Jaran akan melompati dan menginjak-nginjak bara api secara membabi buta. Penari yang tak sadarkan diri (trance) seketika menceburkan diri ke bara api di tengah arena pementasan. Bahkan, ada dari mereka berjalan di atas bara api yang telah berserakan di tanah. Ajaibnya, mereka sama sekali tidak me-rasakan panasnya bara api. Tidak ada penari Sanghyang Jaran yang terluka bakar.
Setelah adegan berjalan di atas bara api, sekaa kidung sanghyang kembali melantunkan bait demi bait untuk mengiringi Sanghyang Jaran napak pertiwi. Kekidungan yang digunakan adalah kidung khas Pura Puseh Sari. Dari kidung yang dilantunkan, dapat ditafsirkan bahwa Sanghyang Jaran dibangunkan untuk diajak melila cita (jalan-jalan) dan meliang-liang (bersenang-senang). Harapannya, semua padegirang : senang dan bahagia.
Menurut Gung Dharma Putra, dalam konteks kekinian, Sanghyang Jaran napak pertiwi seolah menjadi momentum dan harapan baru bagi krama Desa Adat Banjarangkan di tengah pandemi saat ini. Tradisi ritual magis yang berladaskan budaya agraris ini menjadi tonggak baru bagi kehidupan masyarakat di Desa Banjarangkan ke depan, agar lebih maju, makmur, dan terlepas dari berbagai petaka.
"Perubahan musim yang ekstrem, biasanya membuat wabah dan penyakit menyelimuti bumi. Untuk mencegah penyebaran penyakit itulah, Sanghyang Jaran napak pertiwi guna menetralisir bumi yang sedang mengalami ketidakseimbanga," papar Gung Dharma Puyra.
Pentas Tari Sakral Sanghyang Jaran di Pura Puseh Sari, Desa Adat Banjarangkan umumnya berdurasi 1,5 jam, tergantung lamanya bara api hidup. Sedangkan jumlah penari 3 orang, selalu kaum lanang. Mereka yang dikasi atribut sanghyang untuk menari adalah 3 orang krama lanang yang pertama kali kerauhan.
“Yang dikasi sanghyang hanya tiga orang yang kerauhan paling awal. Sedangkanh krama lainnya yang menyusul kerauhab, akan langsung nginjang dan mengambil bara api. Terkadang, ada kaum istri yang ikut kerauhan,” tandas Gung Dharmja Putra. *wan
Komentar