'Colors of Bali' Pamerkan Penggunaan Pewarna Alami pada Kerajinan Topeng hingga Kain Gringsing
CushCush Gallery
Seniman Bali
Colors Of Bali
Pameran
Lukisan Kamasan
Topeng Singapadu
Wayang Kulit Sukawati
Kain Gringsing Tenganan
Kain Cepuk Nusa Penida
Kain Songket Sidemen
DENPASAR, NusaBali.com - Sebuah penelitian dan eksplorasi dari CushCush Gallery bertajuk ‘Colors of Bali’ mengangkat kembali pemanfaatan pewarna dan pigmen alami pada sejumlah kerajinan Bali.
Penelitian dan eksplorasi dilakukan selama setahun dan puncaknya adalah enam jenis kerajinan yang pembuatannya memanfaatkan pewarna dan pigmen alami, dipamerkan di CushCush Gallery, 4-19 Desember 2021.
Keenam jenis kerajinan Bali yang dipamerkan di galeri berlokasi di Jalan Teuku Umar Gang Rajawali 1A Denpasar yakni, Lukisan Kamasan, Topeng Singapadu, Wayang Kulit Sukawati, Kain Gringsing Tenganan, Kain Cepuk Nusa Penida, dan Kain Songket Sidemen. Karya-karya tersebut menggunakan pewarna dan pigmen alami dalam proses pembuatannya.
Keenam jenis kerajinan Bali yang dipamerkan di galeri berlokasi di Jalan Teuku Umar Gang Rajawali 1A Denpasar yakni, Lukisan Kamasan, Topeng Singapadu, Wayang Kulit Sukawati, Kain Gringsing Tenganan, Kain Cepuk Nusa Penida, dan Kain Songket Sidemen. Karya-karya tersebut menggunakan pewarna dan pigmen alami dalam proses pembuatannya.
“Bali sangat bergantung pada pariwisata, dan kami melihat apakah ada opsi lain untuk ke depan. Kita sudah mengenal Bali sangat kaya akan keseniannya, kemudian kita telisik lagi kira-kira kerajinan apa saja yang akar-akarnya menggunakan warna alami. Karena kita melihat warna alami itu mulai dilihat orang lagi,” ungkap Manajer Program dan Kurator Colors of Bali, Suriawati Qiu, ditemui pada saat pembukaan pameran, Sabtu (4/12/2021) malam.
Colors of Bali, ujar Suriawati, ingin mengajak seniman dan masyarakat luas mempertanyakan kembali penggunaan pewarna alami pada kerajinan Bali, apa kelebihannya, dan sebaliknya bagaimana jika yang digunakan bukan pewarna alami. “Mau mengajak orang untuk melihat lagi ‘sustainable practice’ sebenarnya,” kata lulusan Desain Interior Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) Australia.
Suriawati bersama tim peneliti mendatangi sejumlah desa di Bali, berdialog dengan pengrajin yang menggunakan pewarna dan pigmen alami, dan melihat proses pembuatan kerajinan. Selain ngobrol langsung dengan perajin, penelitian dilengkapi dengan studi pustaka terkait sejarah pembuatan kerajinan di Bali.
Meski penelitian Colors of Bali telah berakhir, Suriawati mengaku masih akan terus melanjutkan penelusurannya terhadap perkembangan penggunaan pewarna dan pigmen alami pada kerajinan di Bali. “Saya sangat enjoyed untuk bertemu dengan berbagai orang untuk ngobrol, apalagi ini memang ada masih ada kaitannya dengan akar-akar tradisi Bali,” terang Founder CushCush Gallery tersebut.
Tetua Masyarakat Desa Adat Tenganan, I Nyoman Sadra, ditemui pada kesempatan yang sama mengapresiasi program yang dilakukan oleh CushCush Gellery. Dengan adanya Colors of Bali ia mengharap masyarakat Bali bisa melihat kembali akar budayanya.
Dikatakannya, Kain Gringsing Tenganan sampai saat ini masih menggunakan pewarna alami dalam pembuatannya. Sadra menyebut dengan menggunakan pewarna alami memberikan pesan kepada kita untuk melestarikan alam.
Kain Gringsing diwarnai sepenuhnya menggunakan pewarna alami, merah dari kulit akar morinda (mengkudu), hitam dari indigo (taum) yang dicelup lagi oleh warna merah, dan kuning dari proses meminyaki dengan minyak kemiri. “Tiga warna ini sebenarnya simbol, merah itu simbol dari api, hitam simbol dari air, kuning simbol dari udara,” ujar Nyoman Sadra.
Sementara seniman topeng Singapadu, Cokorda Raka Sedana (Cok Alit), menuturkan kelebihan penggunaan pewarna alami dalam pembutan topeng Bali (tapel). Salah satu kelebihannya menurut Cok Alit warna yang dihasilkan lebih tahan lama, bahkan semakin lama semakin bertaksu. “Warnanya lebih bagus, taksunya lebih bagus, dan warnanya sangat tajam,” ungkap seniman yang biasa membuat tapel untuk Pelawatan (Ida Sesuhunan) di pura.
Suriawati bersama tim peneliti mendatangi sejumlah desa di Bali, berdialog dengan pengrajin yang menggunakan pewarna dan pigmen alami, dan melihat proses pembuatan kerajinan. Selain ngobrol langsung dengan perajin, penelitian dilengkapi dengan studi pustaka terkait sejarah pembuatan kerajinan di Bali.
Meski penelitian Colors of Bali telah berakhir, Suriawati mengaku masih akan terus melanjutkan penelusurannya terhadap perkembangan penggunaan pewarna dan pigmen alami pada kerajinan di Bali. “Saya sangat enjoyed untuk bertemu dengan berbagai orang untuk ngobrol, apalagi ini memang ada masih ada kaitannya dengan akar-akar tradisi Bali,” terang Founder CushCush Gallery tersebut.
Tetua Masyarakat Desa Adat Tenganan, I Nyoman Sadra, ditemui pada kesempatan yang sama mengapresiasi program yang dilakukan oleh CushCush Gellery. Dengan adanya Colors of Bali ia mengharap masyarakat Bali bisa melihat kembali akar budayanya.
Dikatakannya, Kain Gringsing Tenganan sampai saat ini masih menggunakan pewarna alami dalam pembuatannya. Sadra menyebut dengan menggunakan pewarna alami memberikan pesan kepada kita untuk melestarikan alam.
Kain Gringsing diwarnai sepenuhnya menggunakan pewarna alami, merah dari kulit akar morinda (mengkudu), hitam dari indigo (taum) yang dicelup lagi oleh warna merah, dan kuning dari proses meminyaki dengan minyak kemiri. “Tiga warna ini sebenarnya simbol, merah itu simbol dari api, hitam simbol dari air, kuning simbol dari udara,” ujar Nyoman Sadra.
Sementara seniman topeng Singapadu, Cokorda Raka Sedana (Cok Alit), menuturkan kelebihan penggunaan pewarna alami dalam pembutan topeng Bali (tapel). Salah satu kelebihannya menurut Cok Alit warna yang dihasilkan lebih tahan lama, bahkan semakin lama semakin bertaksu. “Warnanya lebih bagus, taksunya lebih bagus, dan warnanya sangat tajam,” ungkap seniman yang biasa membuat tapel untuk Pelawatan (Ida Sesuhunan) di pura.
Adapun bahan pewarna alami yang kerap digunakan dalam pembuatan tapel meliputi, pere, kincu, mangsi (jelaga hitam), dan tulang untuk masing-masing warna primer coklat, merah, hitam, dan putih.
Namun, ia menambahkan, saat ini salah satu komponen pewarna alami, yakni ancur (binder) yang berfungsi sebagai perekat, sulit didapatkan. Secara tradisional, ancur yang digunakan berbentuk lembaran yang sudah terbukti keawetannya, namun kini sulit didapatkan. Sebagai gantinya kini muncul ancur berbentuk butiran, namun belum teruji keawetannya.
Berbeda dengan pembuatan tapel di Singapadu, pembuatan kain Cepuk menggunakan pewarna alami di Desa Tanglad, Nusa Penida sempat benar-benar ditinggalkan oleh para perajin di sana. Berbagai program dari pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat berusaha mengembalikan pembuatan kain Cepuk menggunakan pewarna dari bahan alami.
“Untuk sekarang setelah banyak melakukan pelatihan-pelatihan kemarin, mulai ibu-ibu di sana lebih paham bagaimana menggunakan warna alami,” ujar I Gede Agustinus Darmawan dari Yayasan Wisnu yang memberi pelatihan penggunaan pewarna alami di Desa Tanglad, Nusa Penida sejak 2018. Menurut Timbul, sapaan akrabnya, penggunaan pewarna alami lebih ramah lingkungan dan dari sisi kesehatan lebih aman daripada menggunakan pewarna sintetis.
Selama berlangsungnya pameran, CushCush Gallery juga akan mengelar beberapa kegiatan seperti workshop dan webinar yang masih terlait dengan penggunaan pewarna dan pigmen alami pada kerajinan Bali. *adi
1
Komentar