MUTIARA WEDA : Ketidakjujuran Dulu dan Masa Kini
Seperti halnya kunang-kunang yang hendak menandingi bulan bersinar, seperti itu umpamanya. Sebab teramat bodohnya Kamalanātha ini, ingin meneladani ia yang telah besar.
Tulyā ning kukunang harep mamadahen sasadhara mapadang ya topama
Wetnyāntyānta wimudha ning kamalanātha tumulada ri sang ng huwus mahan
(Dharma Sunya Keling, 3).
Dari hasil penelitian mendalam yang dilakukan oleh Dr IBM Dharma Palguna terhadap teks Dharma Sunya Keling, yang ditemukannya di berbagai tempat, dinyatakan bahwa teks ini dibuat sekitar tahun 1463 M. Sampai saat itu, orang membuat karya, baik karya kecil maupun karya sebesar teks Dharma Sunya ini senantiasa merahasiakan namanya. Penulis tidak pernah secara terang-terangan menyebutkan bahwa karya tersebut adalah karyanya sendiri. Meskipun mereka menyebut, namanya dimuat dalam kata kiasan dan disebutkan di tengah-tengah karya, bukan di cover depan. Nama yang disebutkan adalah sejenis nama alias. Tidak jarang kita harus mengupas makna di balik kata tersebut untuk mencari siapa nama sebenarnya.
Itu yang pertama, kemudian yang kedua, karya tersebut sebagian besar dibuat untuk dipersembahkan kepada orang yang menjadi pujaannya (dalam hal ini adalah gurunya). Penulis memuliakan dan meninggikan guru dan orang-orang yang mumpuni lainnya, sementara dirinya sendiri dikecilkan sekecil-kecilnya. Seperti halnya teks di atas, si penulis menyebut dirinya sangat bodoh yang diandaikan tidak lebih seperti kunang-kunang ingin menyamai bulan. Bagaimana sinar bulan dan kunang-kunang bisa disandingkan? Bulan dan sinarnya itu adalah gurunya, sementara kunang-kunang adalah dirinya. Ia yang sekecil itu dan teramat bodoh ingin meniru kehebatan orang-orang mumpuni tersebut.
Seperti itulah karya-karya jaman dulu dibuat, tidak berani menampilkan dirinya apa adanya. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dewasa ini. Setiap orang yang menghasilkan karya, apapun itu, baik karya sastra, lukisan, arsitektur, karya-karya teknologi dan sains lainnya, selalu menampilkan nama dirinya. Bahkan dalam sampul buku misalnya, mereka bisa menulis namanya lebih besar dibandingkan judul bukunya, seolah-olah penulis lebih penting dibandingkan dengan apa yang ditulisnya. Semakin tenar seseorang, maka ia akan menampilkan namanya semakin besar di atas karya-karyanya. Bahkan tidak sedikit orang yang tidak menghasilkan karya apapun, numpang nama pada sebuah karya orang lain.
Kenapa bisa berbanding terbalik seperti itu? Mungkin jaman dulu merasa bahwa apa yang dihasilkannya bukanlah apa-apa, sebab semua telah ada dengan sempurna di alam. Apa yang mereka lakukan sebenarnya hanya menyampaikannya melalui kata-kata saja dan tidak pernah merasa sebagai karya dirinya. Atas dasar ini, mereka tidak merasa kalau karya tersebut adalah milik dirinya, melainkan milik semesta yang hadir melalui dirinya. Kalaupun harus menampilkan nama, ia tidak menyebut diri apa adanya, melainkan nama samaran yang bisa ditelusuri mengandung arti dari nama sebenarnya. Sementara dewasa ini, karya tersebut mesti menjadi milik mereka yang menghasilkannya, bahkan tidak jarang karya dipatenkan agar tidak ditiru dan diklaim orang lain. Menampilkan nama besar-besar juga berarti sebagai bentuk pertanggungjawaban dari karya itu sendiri.
Jadi, jaman dulu, orang tidak pernah benar-benar jujur kalau mereka menghasilkan karya. Sementara jaman ini, orang menulis namanya kadang-kadang melebihi dari apa yang menjadi karyanya. Oleh karena demikian dapat disimpulkan bahwa jaman dulu bisa dikatakan orang tidak jujur menghasilkan karya. Demikian juga di jaman ini, orang tidak jujur pula dengan menyebut dirinya lebih hebat dan lebih tinggi ketimbang karya yang sebenarnya. Tetapi, jika diterapkan ketidakjujuran itu di masyarakat akan melahirkan situasi yang berbeda. Jika ketidakjujuran orang dulu diterapkan, yang dirugikan hanya dirinya, sebab karya itu bisa saja besar, tetapi tidak meninggalkan jejak siapa di balik karya itu. Kebalikannya, jika ketidakjujuran jaman ini diterapkan, yang dirugikan adalah masyarakat, sebab masyarakat akan membeli kemasannya saja, bukan kualitas isinya. Belajar dari kedua jenis ketidakjujuran ini, semoga kita bisa menyebut diri (menampilkan diri) secara pantas di atas karya-karya kita sendiri.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
(Dharma Sunya Keling, 3).
Dari hasil penelitian mendalam yang dilakukan oleh Dr IBM Dharma Palguna terhadap teks Dharma Sunya Keling, yang ditemukannya di berbagai tempat, dinyatakan bahwa teks ini dibuat sekitar tahun 1463 M. Sampai saat itu, orang membuat karya, baik karya kecil maupun karya sebesar teks Dharma Sunya ini senantiasa merahasiakan namanya. Penulis tidak pernah secara terang-terangan menyebutkan bahwa karya tersebut adalah karyanya sendiri. Meskipun mereka menyebut, namanya dimuat dalam kata kiasan dan disebutkan di tengah-tengah karya, bukan di cover depan. Nama yang disebutkan adalah sejenis nama alias. Tidak jarang kita harus mengupas makna di balik kata tersebut untuk mencari siapa nama sebenarnya.
Itu yang pertama, kemudian yang kedua, karya tersebut sebagian besar dibuat untuk dipersembahkan kepada orang yang menjadi pujaannya (dalam hal ini adalah gurunya). Penulis memuliakan dan meninggikan guru dan orang-orang yang mumpuni lainnya, sementara dirinya sendiri dikecilkan sekecil-kecilnya. Seperti halnya teks di atas, si penulis menyebut dirinya sangat bodoh yang diandaikan tidak lebih seperti kunang-kunang ingin menyamai bulan. Bagaimana sinar bulan dan kunang-kunang bisa disandingkan? Bulan dan sinarnya itu adalah gurunya, sementara kunang-kunang adalah dirinya. Ia yang sekecil itu dan teramat bodoh ingin meniru kehebatan orang-orang mumpuni tersebut.
Seperti itulah karya-karya jaman dulu dibuat, tidak berani menampilkan dirinya apa adanya. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dewasa ini. Setiap orang yang menghasilkan karya, apapun itu, baik karya sastra, lukisan, arsitektur, karya-karya teknologi dan sains lainnya, selalu menampilkan nama dirinya. Bahkan dalam sampul buku misalnya, mereka bisa menulis namanya lebih besar dibandingkan judul bukunya, seolah-olah penulis lebih penting dibandingkan dengan apa yang ditulisnya. Semakin tenar seseorang, maka ia akan menampilkan namanya semakin besar di atas karya-karyanya. Bahkan tidak sedikit orang yang tidak menghasilkan karya apapun, numpang nama pada sebuah karya orang lain.
Kenapa bisa berbanding terbalik seperti itu? Mungkin jaman dulu merasa bahwa apa yang dihasilkannya bukanlah apa-apa, sebab semua telah ada dengan sempurna di alam. Apa yang mereka lakukan sebenarnya hanya menyampaikannya melalui kata-kata saja dan tidak pernah merasa sebagai karya dirinya. Atas dasar ini, mereka tidak merasa kalau karya tersebut adalah milik dirinya, melainkan milik semesta yang hadir melalui dirinya. Kalaupun harus menampilkan nama, ia tidak menyebut diri apa adanya, melainkan nama samaran yang bisa ditelusuri mengandung arti dari nama sebenarnya. Sementara dewasa ini, karya tersebut mesti menjadi milik mereka yang menghasilkannya, bahkan tidak jarang karya dipatenkan agar tidak ditiru dan diklaim orang lain. Menampilkan nama besar-besar juga berarti sebagai bentuk pertanggungjawaban dari karya itu sendiri.
Jadi, jaman dulu, orang tidak pernah benar-benar jujur kalau mereka menghasilkan karya. Sementara jaman ini, orang menulis namanya kadang-kadang melebihi dari apa yang menjadi karyanya. Oleh karena demikian dapat disimpulkan bahwa jaman dulu bisa dikatakan orang tidak jujur menghasilkan karya. Demikian juga di jaman ini, orang tidak jujur pula dengan menyebut dirinya lebih hebat dan lebih tinggi ketimbang karya yang sebenarnya. Tetapi, jika diterapkan ketidakjujuran itu di masyarakat akan melahirkan situasi yang berbeda. Jika ketidakjujuran orang dulu diterapkan, yang dirugikan hanya dirinya, sebab karya itu bisa saja besar, tetapi tidak meninggalkan jejak siapa di balik karya itu. Kebalikannya, jika ketidakjujuran jaman ini diterapkan, yang dirugikan adalah masyarakat, sebab masyarakat akan membeli kemasannya saja, bukan kualitas isinya. Belajar dari kedua jenis ketidakjujuran ini, semoga kita bisa menyebut diri (menampilkan diri) secara pantas di atas karya-karya kita sendiri.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
Komentar