Viral Video Mesum Tejakula Disebut ‘Suka Sama Suka’, Ipung Protes Keras
DENPASAR, NusaBali.com – Aktivis Anak dan Perempuan, Siti Sapura, meminta kasus viral remaja putri digilir oleh empat remaja putra yang terjadi di Tejakula Buleleng, harus tetap diproses hukum.
Ipung, sapaan akrab Siti Sapura, khawatir jika kasus yang memprihatinkan sesama siswa yang masih duduk di bangku SMP mandeg. “Karena Kapolres Buleleng menyebutkan bahwa kasus ini terjadi atas dasar suka sama suka,” kata Ipung, Rabu (15/12/2021).
Oleh karena itu Ipung meminta Kapolres Buleleng AKBP Andrian Pramudianto mencabut pernyataan jika kasus dugaan perkosaan terhadap anak berusia 12 tahun dilakukan atas dasar suka sama suka. "Karena kalimat atas dasar suka sama suka tentu akan menyakitkan banyak kaum perempuan, atau keluarga korban, atau korban itu sendiri," ucap Ipung.
Menurutnya, statement Kapolres Buleleng ada indikasi memberikan edukasi yang tidak baik dan memunculkan stigma negatif. Ipung juga tidak sependapat dengan kemungkinan korban mendapat bayaran.
”Karena dalam kasus cabul dengan korban anak di bawah umur tidak ada istilah dibayar, dan tidak ada alasan pembenaran apapun untuk tidak menindaklanjuti,” ujar Ipung.
"Sekarang mari kita sama-sama belajar, saya tidak bermaksud menggurui bapak, tidak mengurangi rasa hormat saya kepada bapak dan kita sama-sama orang hukum," lanjut aktivis anak dan perempuan yang melejit saat mengungkap kasus kekerasan yang
menyebabkan kematian bocah berusia 8 tahun, Angeline, pada tahun 2015.
menyebabkan kematian bocah berusia 8 tahun, Angeline, pada tahun 2015.
Sebelumnya, pada Senin (13/12/2021), Kapolres Buleleng AKBP Andrian Pramudianto, mengatakan dari hasil penyelidikan Unit PPA Satreskrim, terungkap peristiwa mesum gadis 12 tahun digilir empat remaja ini terjadi di sebuah rumah kawasan Kecamatan Tejakula pada Selasa (7/12/2021) sekitar pukul 10.30 Wita.
AKBP Andrian pun mengungkapkan soal dasar ‘suka sama suka’ itu sebagaimana keterangan yang didapat dari empat remaja pelaku video mesum tersebut. Dan saat konferensi pers, AKBP Andrian sebenarya juga sudah menegaskan tetap akan dilakukan upaya hukum dengan mengedepankan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Tapi, pernyataan Kapolres yang menyebut bahwa dugaan awal kasus ini terjadi karena adanya latar belakang suka sama suka, tetap disayangkan Ipung. Ditambahkan Ipung, bahwa dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), diatur beberapa hal.
”Jika anak pelaku dan anak korban, atau anak pelaku saja berbuat pidana, anak pelaku disebut anak berhadapan dengan hukum (ABH). Sementara umurnya dari 0 hari sampai 18 tahun,” terang Ipung.
Jika anak melakukan tindak pidana dari 0 hari sampai 12 tahun, tambah Ipung, perkara tindak pidana tidak bisa diproses hukum oleh kepolisian, namun anak pelaku bisa diserahkan kepada orangtuanya. “Asalkan orangtuanya masih sanggup dan mampu mendidik, mengasuh dan melindungi anaknya. Dan harus ada surat pernyataan di atas materai,” ujar Ipung.
Namun jika orangtuanya sudah mengakui tidak sanggup, maka negara harus hadir di sini, melalui Bapas, UPTD PP, atau P2TP2A . “Setiap kota dan setiap kabupaten ada, termasuk di Bali,” katanya lagi.
Ada juga dinas sosial melalui Sakti Peksos nya. Lembaga ini yang harus turun mewakili negara yang punya tanggungjawab untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia, secara hukum adalah anak berhadapan dengan hukum jika anak berusia 0 hingga 12 tahun. "Jadi saat itu juga kasus harus dihentikan, tapi diserahkan kepada negara," jelas Ipung.
Sementara itu jika anak pelaku umur 12 tahun sampai 14 tahun, proses hukum harus tetap dilanjutkan namun tidak bisa dilakukan pidana badan. Dan persidangannya harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yaitu Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam sidang tersebut majelis hakim tidak boleh memakai toga, jaksa tidak boleh memakai seragam toga, penasihat hukum tidak boleh memakai toga, dan persidangan dilakukan secara tertutup untuk umum.
"Namun karena dia tidak bisa dipidana badan, di sini harus diserahkan kepada orangtuanya. Dan orangtuanya harus bersaksi di depan ruang siding, mengatakan bersedia mengasuh, mendidik dan tidak mengulangi perbuatan pidana lainnya, atau perbuatan yang sama. Orangtua harus berjanji di atas materai. Maka majelis hakim bisa menyerahkan kepada orangtuanya sesuai dengan putusan," ucapnya.
Lanjut Ipung, jika ancaman pidana ABH kurang dari 7 tahun atau bukan residivis itu bisa diversi atau mendapatkan restoratif justice. "Sehingga proses hukum tidak bisa dihentikan atas dasar suka sama suka. Jadi demi kepentingan terbaik anak, yang lebih diprioritaskan adalah penyelamatan hak atas diri korban. Baru kita lihat tersangka atau para pelaku. Kalau sampai pelaku lebih dari satu berarti di sana ada rayuan bujuk rayu tipu muslihat. Walaupun Korban bersedia," tambahnya.
Menurut Ipung, sebagaimana yang dimaksud pada pasal 81 tentang persetubuhan anak di bawah umur dan pasal 82 tentang perbuatan cabul disebutkan, “Barang siapa, mengajak melakukan membiarkan membiarkan melakukan Perbuatan cabul dan persetubuhan terhadap anak di bawah umur dengan tipu muslihat, bujuk rayu seperti uang dengan ancaman terhadap anak di bawah umur 0-18 tahun, ancaman hukumannya minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun, bahkan sampai hukuman mati,” pungkas Ipung menyitir bunyi undang-undang dimaksud.
Sebelumnya diberitakan, gadis berumur 12 tahun dalam video syur tersebut disetubuhi secara bergiliran oleh empat orang remaja pria yang masing-masing masih berusia 14 tahun (1 orang), berusia 15 tahun (2 orang), dan berusia 16 tahun (1 orang). Mirisnya, orang yang diduga merekam adegan mesum 34 detik tersebut juga anak masih bawah umur. *mao
1
Komentar